Contoh terbaik untuk yang terakhir ini adalah pipa perdamaian etnis Indian. Mengisap pipa, tembakau, bersama adalah tanda saling terima antara dua pihak.
Tapi tak usah jauh-jauh ambil contoh orang Indian sebenarnya. Di Jakarta, jagoan mulut gang bisa diakrabi dengan sebungkus rokok. Pertikaian dua kelompok preman lontong diakhiri dengan pesta pengasapan paru-paru.
***
Tak perlu poster, Â spanduk, dan baliho kampanye anti-rokok itu. Rokok bukan calon presiden kubu lain yang perlu didiskreditkan.
Kalau percaya merokok itu soal budaya, maka kendalikanlah secara budaya. Coret eksistensinya sebagai norma sosial aras kebiasaan dalam masyarakat.
Ganti dengan norma baru: kebiasaan tanpa-rokok. Ingat, tanpa-rokok, bukan anti-rokok. Sebab norma anti-rokok akan memicu kebencian pada perokok. Itu benih konflik sosial.
Sosialisasi hidup tanpa rokok, itu kuncinya. Mulai dari kelompok primer, keluarga. Baiklah jika ibu, pemuka reproduksi, didaulat sebagai agen sosialisasi terdepan dalam keluarga. Khususnya sosialisasi pada anak. Â Pastikan itu dalam wejangan pernikahan. Â
Lalu di aras kelompok sekunder. Sekolah, tingkat dasar sampai menengah. Pastikan kehidupan tanpa-rokok sebagai norma sosial di sekolah. Guru tampil sebagai agen sosialisasi terdepan di situ.
Cara sosialisasinya harus keren. Steril dari ujaran ataupun ekspresi kebencian atau permusuhan. Katakan, misalnya, "Naruto Tidak Merokok." Â "Cinta Rokok, No. Cinta Laura, Yes." Â
Jadikan isu tanpa-rokok sebagai proyek kelas. Bisa dalam format tiktok, youtube, instagram, komik, dan film pendek.Â
Di aras masyarakat, para influencer di medsos, novelis, dan sutradara film/sinetron mesti didorong sebagai agen sosialisasi hidup tanpa-rokok. Â Mereka tak perlu diajari caranya. Sebab mereka adalah dewa-dewi kreativitas.