Bagi para perokok, merokok bukan soal bahaya, tapi soal budaya.Â
Karena itu sia-sialah kampanye "Bahaya Merokok". Sebab jika benar merokok itu berbahaya, maka para perokok semakin tertantang melakukannya. Menantang bahaya itu, wow, keren banget.
***
Kebiasaan merokok itu buah sosialisasi. Bukan hari ini kamu lahir, lalu besok jadi perokok.
Merokok itu soal budaya. Menyangkut norma sosial. Lazim dianggap sebagai kebiasaan (folkways). Suatu perilaku yang dinilai sudah sewajarnya dalam komunitas atau masyarakat.
Sosialisasi bermula dalam kelompok primer. Keluarga. Anak melihat bapak dan kakek merokok. Ibu dan nenek tidak merokok. Pada anak tertanamlah norma: lelaki merokok, perempuan tidak.
Lanjut, sosialisasi di lingkup kelompok sekunder. Kelompok gaul. Remaja melihat remaja lelaki dibolehkan merokok, perempuan tidak. Maka remaja lelaki mulai belajar menyedot asap tembakau.
Begitulah. Merokok jadi kebiasaan bagi lelaki dalam komunitas atau masyarakat. Kalau tak merokok, berarti perempuan. Tapi kalau perempuan merokok, berarti "gak genah dia tuh".
Beranjak dewasa, merokok jadi penanda kemandirian. Â Bisa merokok, tanda sudah mampu cari duit buat dibakar. Merokok tapi gak kerja, berarti benalu, parasit.
Kebiasaan merokok itu dilegitimasi juga pada aras komunitas. Ambil contoh etnis Batak Toba. Dalam rapat adat, lazim tuan rumah menyediakan rokok untuk tua-tua adat. Juga untuk "seksi repot". Â Kalau tak begitu, tuan rumah akan ditegur atau dicela.
Dalam masyarakat yang lebih luas, legitimasi tampil dalam wujud "uang rokok". Itu indikasi rokok telah menjadi item budaya. Dia menjadi item ekspresi rasa terimakasih, penerimaan, ataupun penghormatan.Â