Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Anies Menjegal Jokowi di Batas Kota

18 Mei 2020   05:21 Diperbarui: 18 Mei 2020   09:41 4961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekompakan Jokowi dan Anies Baswedan (Foto: tempo.com/antara)


Dalam perang lawan Covid-19, silang pendapat dan langkah antar pejabat pemerintahan itu lazim di banyak negara. Ya, namanya juga alam demokrasi. Beda sikap boleh-boleh saja. Walau tak jarang kebablasan.

Di Indonesia juga begitu. Banyak silang pendapat dan langkah antar pejabat pemerintah. Bahkan terkesan saling jegal dan tebas.

Berikut ini adalah cerita silang pendapat dan langkah yang paling seru. Seperti tak akan ada ujungnya. Tapi harus berujung.

Dua Kepala Dua Kebijakan
Rambut sama hitam tapi isi kepala beda. Kendati soal yang dipikirkan masalah serupa.  

Itulah yang terjadi pada dua kepala pemerintahan di Indonesia. Dua kepala yang kerap beda pandangan.

Begini cerita dua kepala itu.

Kepala Pertama. Ini Kepala Pemerintah RI Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Pada Ratas Kabinet tanggal 21 April 2020, Presiden Jokowi mengambil kebijakan pelarangan kegiatan mudik dalam rangka Idul Fitri 2020. (1)

Menteri Perhubungan menindaklanjuti kebijakan itu dengan mengeluarkan Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 tanggal 23 Mei 2020. Pernenhub ini mengatur pengendalian transportasi selama masa mudik Idul Fitri 1441 H. (2)

Intinya, dalam rangka pencegahan penyebaran COVID-19, Permenhub itu melarang pengoperasian semua moda transportasi untuk tujuan mudik. Larangan itu berlaku tanggal 24 April sampai 31 Mei 2020. Tapi bisa diperpanjang sesuai tuntutan kondisi.

Kepala Kedua. Ini Kepala Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, Gubernur Anies Baswedan.  Per tanggal 14 Mei 2020, Anies mengeluarkan Pergub Nomor 47/2020 tentang pembatasan kegiatan bepergian keluar dan/atau masuk Povinsi DKI Jakarta, dalam upaya pencegahan penyebaran Covid-19. (3, 4, 5)

Melalui Pergub itu, Anies secara formal menutup pintu masuk Jakarta bagi migran yang ingin pulang kampung ataupun mudik. Juga menutup pintu bagi pemudik atau pelaku pulang kampung untuk kembali ke Jakarta.  Itu berlaku selama status bencana pandemi Covid-19 belum dicabut pemerintah.

Mobilitas fisik hanya dimungkinkan antar daerah Jabodetabek. Itupun terbatas untuk warga ber-e-KTP DKI Jakarta.  Pemegang e-KTP non-Jakarta, berarti termasuk kelompok migran sirkuler, dilarang keluar-masuk Jakarta.

Untuk menegakkan Pergub itu, Anies sudah menyiapkan 49 titik pemeriksaan (check point) di batas kota.  Orang-orang yang dulu dibolehkan Jokowi untuk "pulang kampung" akan dicegat di sana. Demikian pula dengan arus-balik para "pemudik liar".  Tidak boleh masuk Jakarta. Sampai status pandemi Covid-19 sebagai bencana non-alam nasional dicabut.

Begitulah. Dengan Pergub 47/2020 itu Anies telah menunaikan tekadnya melarang orang keluar-masuk Jakarta. Persis seperti telah dikatakannya kepada James Massola, wartawan The Sidney Morning Herald. (6)

Dua Cerita Keras Kepala
Keras kepala itu "kepala batu". Gak bisa dibilangin. Semaunya sendiri.  

Nah, di masa pandemi Covid-19 ini banyak cerita "kepala batu".  Gak mau ikut protokol PSBB.  Ngeyelan.

Berikut ini dua di antaranya.

Cerita Orang Tambora. Ini kasus "kepala batu" Pak O, seorang warga Tambora, Jakarta Barat. Pak O itu bukan warga biasa.  Dia tokoh masyarakat. Selain Ketua RW, dia juga imam salat di mushola Baitul Muslimin di kampungnya.

Berdasar hasil test SWAB di Puskesmas Kelurahan Jembatan Besi, tanggal 8 Mei 2020 Pak O dinyatakan positif Covid-19. Tanggal 9 Mei petugas kelurahan dan Puskesmas datang untuk mengevakuasi Pak O ke Rumah Sakit. Tapi dia menolak dengan alasan, "Ini cuma gejala tifus."

Cilakanya, Pak O tidak mengisolasi diri. Tapi tetap aktif keluar.  Antara lain menjadi imam shalat tarawih di mushola Baitul Muslimin tanggal 7, 8 dan 9 Mei.  Jamaahnya ada 28 orang, sebagian tak pakai masker.

Akhir cerita, petugas kelurahan dan Puskesmas berhasil mengevakuasi Pak O ke RSUD Tarakan pada 10 Mei 2020.  Sementara 28 orang jamaah Baitul Muslimin dinyatakan berstatus ODP. Mereka harus isolasi mandiri 14 hari. (7,8)

Cerita Orang Madura. Ini cerita "kepala batu" 8 orang migran Jakarta asal Madura. Di Jakarta mereka cari nafkah sebagai pedagang beras.

Pada tanggal 14 Mei 2020 kedelapan migran itu ditangkap polisi di pintu keluar tol Ngawi. Pasalnya mereka nekad pulang kampung ke Sumenep, Madura. Caranya naik mobil yang digendong truk derek. Truk itu disewa Rp 6 juta.

Akhir cerita,  8 orang Warga Sumenep itu dipaksa kembali ke Jakarta. Mereka naik mobil yang tadinya digendong truk derek. Para migran itu diarahkan ke Gugus Tugas Covid-19 di alamat pemberangkatannya. Sedangkan truk derek ditahan polisi. (9, 10)

Begitulah. Sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu jatuh juga. Maksud hati mengelabui petugas, akhirnya kepergok juga.  

Jegal Daku Kau Kutebas
Dinamika politik antara Presiden Jokowi dan Gubernus Anies  itu, kalau dalam sepakbola kampung,  semacam permainan " jegal dan tebas" yang menggelikan. Menggelikan karena sia-sia.  

Pola mainnya, "jegal daku kau kutebas".  Anies "menjegal",  Jokowi "menebas". "Kaki presiden" lebih kuat dari "kaki gubernur". Karena itu Anies senantiasa menjadi pemain yang "menepi terpincang-pincang".  

Begitu terus-menerus, sejak keduanya bergabung ke Tim Politik yang berseberangan tahun 2017.  

Apakah rakyat Indonesia bingung? Tidak. Mayoritas terhibur dengan permainan "jegal dan tebas" itu. Bisa tertawa sambil mencerca salah satunya.

Yang bingung itu orang Jakarta. Baik penduduk maupun migran.  Ikut kata Jokowi, eh, kena aturan Anies. Ikut kata Anies, eh, kena aturan Jokowi.

Di ranah penanganan pandemi Covid-19 begitu juga.  Awalnya Anies mengajukan langkah karantina wilayah (lock down) untuk Jakarta. Jokowi tak setuju. Gagasan itu "ditebas" dengan PSBB.  

Anies maunya warga Jakarta dilarang mudik sejak awal.  Tapi Jokowi membolehkan "pulang kampung" sampai 23 April 2020. Setelah itu, dengan berlakunya Permenhub 25/2020, semua arus warga dari kota ke desa didefinisikan "mudik". Terlarang sampai 31 Mei 2020.

Nah, dengan Pergub 47/2020 Anies mencoba "menjegal Jokowi di batas kota". Semua orang Jakarta, penduduk tetap dan migran, dilarang keluar/masuk Jakarta.

Larangan itu bukan sampai 31 Mei 2020, seperti ditenggatkan Permenhub 25/2020. Tapi sampai status bencana nasional pandemi Covid-19 dicabut. Itu artinya sampai Keppres Nomor 12/2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional dicabut. (11)

Anies sudah menyiapkan 49 titik "penjegalan" migran, entah itu mudik/pulang kampung atau arus-balik, di batas kota Jakarta.  Migran dilarang keluar/masuk.  Atau, kalau mau masuk, harus karantina 14 hari dulu.

Dengan begitu, mereka yang dulu didefinisikan Jokowi "pulang kampung" tidak boleh lagi masuk Jakarta. Atau sekurangnya, dalam bahasa Anies, "tidak akan mudah masuk Jakarta". Bahkan setelah Lebaran 2020 usai.

Tapi warga Jakarta itu, khususnya migran, adalah orang-orang kreatif. Seribu satu cara ditempuh untuk ngadalin larangan keluar/masuk Jakarta. Cerita 8 orang Madura yang pulang kampung atau "mudik liar" adalah contoh kreativitas "out of the box".  

Cerita orang Madura itu jelas bukan satu-satunya inovasi modus pulang kampung atau "mudik liar" yang sudah terjadi. Sudah pasti juga ada yang berhasil lolos.

Mengapa migran Jakarta nekad pulang kampung atau mudik kendati sudah dilarang? Mau Lebaran di kampung? Bukan itu yang utama.  Tapi karena di masa pandemi Covid-19 ini Jakarta adalah kota yang "paling menakutkan". 

Jakarta adalah pemuncak Indonesia untuk jumlah orang positif Covid-19 dan jumlah korban meninggal.  

Jadi peluang seseorang terkena Covid-19 paling tinggi di Jakarta dibanding daerah lain. Apalagi kalau taksiran Anies tentang jumlah orang positif Covid-19, 15,000-30,000 orang, di Jakarta benar.(6)

Mengapa Jakarta menjadi daerah pandemi Covid-19 terparah?  Faktor "Jakarta titik kumpul nasional dan internasional" hanya satu penjelasan. Kelemahan Anies dalam penegakan protokol PSBB adalah faktor serius.  

Kisah orang-orang Tambora itu adalah penanda kelemahan manajemen PSBB Jakarta.  Orang yang keras kepala macam Pak O itu banyak di Jakarta. Orang-orang yang abai, egois, menyebabkan orang lain jadi ODP, PDP atau bahkan korban meninggal.

Lihatlah betapa sulit menjaga jarak fisik di pasar-pasar tradisionil dan pasar-pasar PD Jaya.  Betapa anak-anak muda dan ibu-ibu masih bergerombol di gang-gang kampung. Warga lalu-lalang tanpa masker di wajah. Air dan sabun cuci tangan kosong di minimart.  

Dengan mutu PSBB seperti itu, pantaslah Anies pesimis pandemi  Covid-19 mereda di Jakarta Juni atau Juli ini. Itu sebabnya larangan keluar/masuk Jakarta tak punya batas waktu yang tegas.  Pokoknya jegal terus di batas kota.

dan Pemenangnya adalah ...
Sejauh ini pemenang di Jakarta masih Covid-19. Tapi ada titik harapan Jokowi akan tampil sebagai "pemenang".  Melalui penerapan strategi "hidup berdamai dengan Covid-19".  Ditandai dengan pelonggaran PSBB secara bertahap.

Akan halnya Anies, sejah ini masih sibuk "menjegal Jokowi".  Gubernur satu ini, meminjam tamsil Isaiah Berlin, masih tetap seperti "rase yang surplus ide tapi minus capaian".  Masih sibuk memerangi Covid-19. Sementara warganya sibuk keras kepala abai protokol PSBB. Juga sibuk ngakali larangan keluar/masuk Jakarta.

Tapi begini saja.  Dalam konteks penangan Covid-19,  ibaratkan Jakarta itu "tempurung" dan Indonesia "belanga". Mungkinkah "penguasa tempurung" mengatasi "penguasa belanga"? Nyaris mustahil. Yang ada "tempurung" berisiko jadi episentrum Covid-19 berkelanjutan". Warga Jakarta lalu kelojotan terus.

Indonesia harus menang! Maka Anies juga harus membawa Jakarta ke meja "perdamaian dengan Covid-19".  

Pelonggaran PSBB itu "trade-off" kesehatan dan ekonomi.  Percuma bebas Covid-19 tapi busung lapar karena ekonomi ambruk. Mati karena Covid-19 itu memilukan. Tapi mati karena busung lapar itu memalukan.

Jadi, demi suksesnya "hidup berdamai dengan Covid-19",  presiden dan gubernur berhenti dululah main "jegal daku kau kutebas".  Lebih baik kompak bermain galasin melawan Covid-19.  Ini namanya mengatasi pandemi dengan gembira.  

Ya, gembira. Sebab rakyat gembira adalah kunci "kemenangan" dalam mengatasi Covid-19. Sedangjan rakyat yang takut dan lapar adalah kunci revolusi.

Emangnye siape sih nyang demen revolusi di mari?(*)
 

Rujukan:
(1)    "Jokowi resmi melarang mudik, Kemenhub siapkan aturan detailnya", tempo.com, 21/04/2020.  
(2)    Permenhub RI Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19.
(3)    Pergub Provinsi DKI Jakarta  Nomor 47 Tahun 2020 tentang Pembatasan Kegiatan Experian Keluar dan/atau Masuk Provinsi DKI Jakarta dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19.
(4)    "Larangan warga Jakarta tak boleh keluar Jabodetabek berlaku sejak 14 Mei", kompas.com, 15/05/2020.
(5)    "13 pertanyaan dan jawaban seputar Pergub keluar masuk Jakarta", kompas.com, 16/05/2020.
(6)    "Not allowed to do testing: govetnor days Jakarta was tracking COVID-19 cases in January", The Sidney Morning Herald, 07/05/2020.
(7)    "Imam salat tarawih di Tambora positif corona, jemaah jadi ODP", kompas.com, 14/05/2020.
(8)    "28 warga Tambora jadi ODP gegara imam musala positif COVID nekat pimpin tarawih", detik.com, 13/05/2020.
(9)    "Mau ke Madura, 8 Pemudik dari Jakarta sembunyi dalam mobil di atas truk derek", kompas.com, 15/05/2020.
(10)    "Rela sewa truk towing Rp 6 juta untuk mudik, tapi kepergok polisi di Ngawi", tribunnews.com, 15/05/2020.
(11)    Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 (13/4/2020) tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional.  
 
 
 
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun