Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pak Anies, Percayakah Anda pada Sains?

13 Mei 2020   14:51 Diperbarui: 13 Mei 2020   18:54 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta (Foto: kompas.com/nursita sari)

"This is the time in which policymakers need to trust science." (Kini saatnya para pengambil kebijakan percaya pada sains.)
Anies Baswedan
The Sidney Morning Herald, 7 Mei 2020

 
Pembangunan berbasis sains.  Itu salah satu prinsip Anies Baswedan sejak kampanye sampai terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Sejalan dengan latar-belakangnya sebagai saintis.

Masih ingat kritik Anies pada 10 proyek infrastruktur DKI yang tak dilengkapi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan lalu lintas (Amdal Lalin) di awal pemerintahannya? [1]

Kritik yang dilontarkan pada 1 November 2017 itu, dua minggu setelah dilantik sebagai gubernur (16 /10/2020), mengirim pesan keseriusan Anies menjalankan prinsip "pembangunan berbasis sains".

Di awal Mei 2020 ini, dalam sebuah pemberitaan The Sidney Morning Herald (SMH, 07/05/2020), kembali Anies menekankan perlunya pengambilan kebijakan berbasis sains. [2]

Hal itu diungkapkannya sebagai kritik kepada Pemerintahan Jokowi yang dinilainya tidak mendasarkan kebijakan penanggulangan Covid-19 pada rekomendasi-rekomendasi sains.

Prinsip "pembangunan berbasis sains" memang seksi. Tapi, khusus terkait penanggulangan Covid-19 di Jakarta, benarkah Anies Baswedan telah mendasarkan kebijakannya pada rekomendasi sains?
 
Penanggulangan Covid-19 Berbasis Sains?

Untuk  menguji prinsip "pembangunan berbasis sains" itu, saya tidak akan memverifikasi seluruh kebijakan Pemerintah Jakarta dalam  penanggulangan Covid-19.  

Mengikuti prinsip falsifikasi Popperian, saya hanya akan berupaya menunjukkan kepalsuan pernyataan "pembangunan berbasis sains" untuk konteks penanggulangan Covid-19 di Jakarta.

Sebagai bahan untuk analisis falsifikasi, saya cukup ambil klaim Anies tentang jumlah korban Covid-19 dalam pemberitaan SMH tersebut di atas.  

Paragraf selengkapnya terkait klaim tersebut adalah sebagai berikut:  

To back his claim that Jakarta has many more cases than the capital's official figure of 4770 infections and 414 deaths, Anies cited a sharp rise in the number of funerals - 4300 services in the second half of March, 4590 in April.

Anies says there are normally 3000 funerals a month in Jakarta, suggesting up to 1500 more deaths per month than average.

"These excess deaths are high probability COVID cases, and then if we say five to 10 per cent [mortality rate], perhaps out there, there are 15 to 30,000 infections [in Jakarta]. We think the number [of deaths and infections] is way higher than what is reported by the Ministry of Health."

Ringkasnya, menurut Anies begini. Dalam kondisi normal rata-rata penguburan di Jakarta adalah 3,000 jenazah per bulan. Faktanya pada paruh kedua Maret terdapat  4,300 jenazah dan April sebanyak 4,590 jenazah.  

Menurut Anies,  selisih 1,300 jenazah pada Mei atau 1,590 jenazah bulan April, dibulatkan rata-rata 1,500 jenazah,  kemungkinan besar adalah korban Covid-19. Angka ini jauh di atas angka kematian 414 jiwa (6/5/2020) versi Pemerintah Pusat.

Anies kemudian berasumsi tingkat kematian akibat Covid-19 adalah 5-10%.  Jika angka kematian adalah 1,500 jiwa, berarti jumlah warga Jakarta yang terinfeksi diperkirakan 15,000-30,000 jiwa. Sekali lagi angka ini jauh di atas angka 4,770 jiwa (6/5/2020) menurut Pemerintah Pusat.

Ada dua masalah di sini. Masalah pertama, klaim Anies tentang jumlah korban Covid-19, meninggal dan terinfeksi, jauh dari saintifik.  

Penjelasannya begini. Klaim Anies tersebut dapat disederhanakan sebagai berikut:  (1) Terjadi pandemi Covid-19 yang bersifat mematikan pada periode Maret-April 2020 di Jakarta; (2) Pada periode Maret-April 2020 jumlah kematian di Jakarta meningkat rata-rata 1,500 jiwa per bulan. Kesimpulan: Peningkatan kematian 1,500 jiwa per bulan di Jakarta terjadi akibat pandemi Covid-19.  

Logis? Ya, logis.  Sah?  Nah, di sini letak masalahnya.  Peningkatan angka kematian rata-rata 1,500 jiwa per bulan itu, atau 3,000 jiwa dalam dua bulan (Maret-April), tidak punya dasar sains.  

Dikatakan tidak punya dasar sains karena angka 3,000 jiwa itu tidak merujuk pada hasil tes atau diagnosa saintifik. Tidak bisa ditunjukkan hubungan sebab-akibat antara pandemi Covid-19 (sebab) dan peningkatan angka kematian (akibat) di Jakarta.

Klaim Anies hanya didasarkan pada koinsidensi kejadian pandemi Covid-19 dan peningkatan angka kematian. Itu sama saja dengan menyimpulkan tingkat kelahiran meningkat tajam pada bulan September karena frekuensi pemadaman listrik tinggi pada bulan Januari. Klaim seperti ini disebut pseudo-sains, sains palsu.

Bandingkan dengan angka akumulasi kematian 414 jiwa menurut Pemerintah Pusat.  Angka itu berasal dari populasi pasien yang, berdasar tes corona, positif terinfeksi Covid-19 di Jakarta. Karena tes corona itu adalah prosedur sains kedokteran, maka angka korban meninggal 414 jiwa itu sah secara sains.

Masalah kedua, kebijakan Anies dalam penanggulangan pandemi Covid-19 sejauh ini tidak didasarkan pada klaim angka terinfeksi 15,000-30,000 jiwa dan angka kematian rata-rata akibat Covid-19 sebesar 1,500 jiwa per bulan.

Pada tanggal 16 Maret 2020, sebagai contoh, Anies malahan mengambil kebijakan pembatasan frekuensi dan jam operasi MRT dan Transjakarta.  Akibatnya terjadi penumpukan penumpang di halte, menabrak anjuran "social distancing" (kemudian "physical distancing") sebagai upaya pencegahan perluasan penularan Covid-19. [3]

Pada tingkat satuan RT, khususnya di "kampung-kampung" Jakarta, kebijakan "social/physical distancing" itu juga tidak ditegakkan secara ketat.   Warga masih tetap kumpul-kumpul tanpa masker di gang-gang pemukiman, seolah pandemic Covid-19 hanya "angin lalu".

Terbaru, kebijakan bantuan sosial untuk warga miskin  terdampak pandemi Covid-19 juga bermasalah.  Mulai dari data kelompok sasaran yang tidak valid, anggaran bantuan sosial yang tak mencukupi, sampai implementasi yang salah sasaran atau tumpang-tindih.

Sederhananya, jika Anies sungguh yakin bahwa dampak mematikan Covid-19 separah yang dia klaim, harusnya dari awal dia sudah menerapkan kebijaksanaan "social/physical distancing" secara ketat, tanpa perlu pakai "efek kejut" segala.  

Juga, jika dia yakin dampaknya separah itu, maka dari awal dia mestinya sudah merealokasi anggaran untuk keperluan dana bantuan sosial masyarakat terdampak Covid-19 secara memadai. Data kelompok sasaran seharusnya juga sudah tersedia secara akurat pada bulan Maret 2020.

Jika Anies kemudian berdalih ruang geraknya dibatasi oleh Pemerintah Pusat, maka itu alasan pembenaran diri saja.  Sudah kerap terbukti, bukan karakter Anies untuk tunduk pada Pemerintah Pusat.

Berdasar analisis atas klaim jumlah korban Covid-19 ini menjadi jelas bahwa Anies bukanlah tipe birokrat yang konsisten mendasarkan kebijakannya pada rekomendasi sains.  Ada kecenderungan Anies justru menggunakan argumen-argumen pseudo-sains, semata untuk membangun narasi pencitraan positif.
 
Sains Ada Batasnya

Prinsip "pembangunan berbasis sains" itu baik. Tapi perlu diingat sains itu ada batasnya. Spesialisasi disiplin sains adalah batas pertama, lalu ada batas keberlakuan teori dan kekuatan metode.  

Karena itu kebijakan penanggulangan pandemi Covid-19 mesti didasarkan pada rekomendasi-rekomendasi sains lintas disiplin.  Tidak cukup hanya mendengarkan rekomendasi sains Epidemologi, misalnya.  Tapi juga rekomendasi sains Ekonomi, Sosiologi, Antropologi dan Politik.

Itupun tidak cukup.  Harus memasukkan pertimbangan-pertimbangan politik praktis juga.  "Perilaku politik Anies Baswedan" misalnya, mungkin menjadi salah satu faktor politis yang perlu dipertimbangkan juga.

Jika hanya memperturutkan kata saintis Epidemologi, mungkin benar Pemerintah Pusat terlalu lamban dan santuy dalam mengambil keputusan-keputusan penanggulangan Covid-19.  Semisal penetapan waktu PSBB dan pelarangan mudik.  

Juga perkiraan pemberlakuan fase "normal baru" mungkin masih terlalu dini.  Meski ada banyak pandangan Epidemolog tentang titik awal fase "normal baru", mulai dari beda bulan sampai beda tahun.

Pemerintah Pusat pasti telah mempertimbangkan rekomendasi dari berbagai disiplin sains.  Jika fase "normal baru" ditetapkan pertengahan Juni atau paling lambat Agustus tahun ini, maka pertimbangannya bukan semata-mata rekomendasi sains Epidemologi.  Tapi juga Ekonomi, Politik, Sosiologi dan Antropologi.

Itu sebabnya Presiden Jokowi menggunakan "berdamai dengan corona", bukan "bebas dari corona". Itu karena Pemerintah Pusat percaya pada rekomendasi sains.
 
Saran untuk Anies

Prinsip "pembangunan berbasis sains" sejatinya adalah nilai tambah seorang Anies Baswedan.  Sayangnya, dalam praktek, dia tidak konsisten dengan prinsip itu.  Malah tergelincir pada penggunaan argumen-argumen pseudo-sains.

Agar tidak dianggap fitnah, ambillah program naturalisasi sungai sebagai contoh.   Program ini, seperti sudah saya tunjukkan lewat sebuah artikel, sama sekali tidak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sains, semisal Hidrologi dan Ekologi. Dasarnya hanya argumen pseudo-sains yang telah dibangun sejak masa kampanye. [4]

Hal serupa dapat dikatakan dengan program revitalisasi trotoar Jakarta yang mengurangi bidang serapan air dan tegakan hijau untuk serapan karbon dioksida.  

Tentu saja ada program-program pembangunan Jakarta yang didasarkan pada kajian-kajian tertentu.  Walaupun tetap harus dipertanyakan fungsi dan mutu kajian itu. Apakah fungsinya sekadar justifikasi atas kebijakan yang ditetapkan berdasar pseudo-sains?  Jika demikian maka mutunya tidak laik.

Secara khusus, terkait penanggulangan pandemi Covid-19, ada baiknya jika, pertama, Pak Anies merumuskan kebijakan daerah berdasar rekomendasi-rekomendasi lintas disiplin sains.  Tidak hanya berdasarkan rekomendasi Epidemolog dan Matematikawan. Penting juga memperhatikan integritas saintisnya.

Kedua, Pak Anies sebaiknya berada dalam satu tim orkestra nasional penanggulangan pandemi Covid-19.  Sebab sebuah penyimpangan dalam orkestra akan merusak keseluruhan kinerja.  Suatu deviasi kebijakan di Jakarta, karena didasarkan pada pseudo-sains misalnya, bisa berakibat Jakarta menjadi episentrum Covid-19 berkelanjutan.

Saya ingin menutup artikel ini dengan mengutip pernyataan Anies di pemberitaan SMH:

"I'm not worried about what social media says about our policy, I'm more worried about what the historians will be writing in the future about our policy."

Ya, saya khawatir juga Pak Anies, sejarawan akan mencatat nama Anda sebagai gubernur yang hanya pintar membangun narasi pembangunan berdasar pseudo-sains.  Saya sedih kalau ini benar. (*)  

Rujukan:

(1) AF Indrawan, "Anies: 10 Titik Pembangunan Infrastruktur di DKI Tak Ada Amdal Lalin", detik.com, 1/11/2019.

(2) James Massola, "Not allowed to do testing: governor says Jakarta was tracking COVID-19 cases in January", Sidney Morning Herarld, 7/5/2020.

(3) "Anies: Pembatasan Transportasi Massal Beri Effek Kejut bagi Warga", kompas.com, 18/3/2020.

(4)  Felix Tani, "Anies Baswedan Salah apaham tentang Naturalisasi Sungai di Singapura", kompasiana.con, 8/1/2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun