Anies says there are normally 3000 funerals a month in Jakarta, suggesting up to 1500 more deaths per month than average.
"These excess deaths are high probability COVID cases, and then if we say five to 10 per cent [mortality rate], perhaps out there, there are 15 to 30,000 infections [in Jakarta]. We think the number [of deaths and infections] is way higher than what is reported by the Ministry of Health."
Ringkasnya, menurut Anies begini. Dalam kondisi normal rata-rata penguburan di Jakarta adalah 3,000 jenazah per bulan. Faktanya pada paruh kedua Maret terdapat  4,300 jenazah dan April sebanyak 4,590 jenazah. Â
Menurut Anies, Â selisih 1,300 jenazah pada Mei atau 1,590 jenazah bulan April, dibulatkan rata-rata 1,500 jenazah, Â kemungkinan besar adalah korban Covid-19. Angka ini jauh di atas angka kematian 414 jiwa (6/5/2020) versi Pemerintah Pusat.
Anies kemudian berasumsi tingkat kematian akibat Covid-19 adalah 5-10%. Â Jika angka kematian adalah 1,500 jiwa, berarti jumlah warga Jakarta yang terinfeksi diperkirakan 15,000-30,000 jiwa. Sekali lagi angka ini jauh di atas angka 4,770 jiwa (6/5/2020) menurut Pemerintah Pusat.
Ada dua masalah di sini. Masalah pertama, klaim Anies tentang jumlah korban Covid-19, meninggal dan terinfeksi, jauh dari saintifik. Â
Penjelasannya begini. Klaim Anies tersebut dapat disederhanakan sebagai berikut: Â (1) Terjadi pandemi Covid-19 yang bersifat mematikan pada periode Maret-April 2020 di Jakarta; (2) Pada periode Maret-April 2020 jumlah kematian di Jakarta meningkat rata-rata 1,500 jiwa per bulan. Kesimpulan: Peningkatan kematian 1,500 jiwa per bulan di Jakarta terjadi akibat pandemi Covid-19. Â
Logis? Ya, logis. Â Sah? Â Nah, di sini letak masalahnya. Â Peningkatan angka kematian rata-rata 1,500 jiwa per bulan itu, atau 3,000 jiwa dalam dua bulan (Maret-April), tidak punya dasar sains. Â
Dikatakan tidak punya dasar sains karena angka 3,000 jiwa itu tidak merujuk pada hasil tes atau diagnosa saintifik. Tidak bisa ditunjukkan hubungan sebab-akibat antara pandemi Covid-19 (sebab) dan peningkatan angka kematian (akibat) di Jakarta.
Klaim Anies hanya didasarkan pada koinsidensi kejadian pandemi Covid-19 dan peningkatan angka kematian. Itu sama saja dengan menyimpulkan tingkat kelahiran meningkat tajam pada bulan September karena frekuensi pemadaman listrik tinggi pada bulan Januari. Klaim seperti ini disebut pseudo-sains, sains palsu.
Bandingkan dengan angka akumulasi kematian 414 jiwa menurut Pemerintah Pusat. Â Angka itu berasal dari populasi pasien yang, berdasar tes corona, positif terinfeksi Covid-19 di Jakarta. Karena tes corona itu adalah prosedur sains kedokteran, maka angka korban meninggal 414 jiwa itu sah secara sains.