Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Anies Baswedan Keliru, BUMD Cari Untung di TIM

28 Februari 2020   14:52 Diperbarui: 28 Februari 2020   20:44 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Saat menjelaskan revitalisasi TIM di hadapan Komisi X DPR RI hari Kamis,  27 Februari 2020 di Senayan, Gubernur Jakarta Anies Baswedan memberi penekanan bahwa BUMD tidak untuk mencari untung, tapi untuk menjalankan fungsi-fungsi pembangunan daerah.

Pernyataan itu disampaikan sebagai justifikasi penugasan pada  PT Jakarta Propertindo (Perseroda), disingkat Jakpro, sebagai pelaksana kegiatan revitalisasi TIM. Jakpro adalah BUMD yang bergerak di bidang bisnis properti, infrastruktur dan utilitas.  

Benarkah BUMD tidak mencari untung tapi semata menjalankan fungsi pembangunan daerah (agent of development)? Khususnya terkait peran PT Jakpro sebagai kontraktor pelaksana revitalisasi TIM Jakarta?

Dua Jenis Perusahaan Milik Daerah

Saya akan menjawab pertanyaan itu melalui pemaparan  dua jenis perusahaan yang lazim dimiliki pemerintah daerah.

Secara garis besar ada dua jenis perusahaan milik daerah yaitu Perusahaan Umum Daerah (Perumda), biasa disingkat PD (Perusahaan Daerah) dan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) yang berbentuk Perusahaan Perseroan (Persero), biasa disingkat Perseroan Terbatas (PT).

Perbedaaannya begini.  Pada Perumda (PD) seluruh (100%) modal perusahaan adalah milik Pemerintah Daerah (Pemda).  Bisnis intinya adalah pelayanan umum (publik), lazimnya di bidang jasa vital, misalnya air minum, listrik, pangan pokok, dan angkutan.

Secara struktural,  bisnis Perumda diarahkan langsung oleh Kepala Daerah dengan bantuan Dewan Pengawas.  Karena itu direksi sebagai pengurus Perumda bertanggungjawab langsung kepada Kepala Daerah.   Pegawainya berstatus pegawai negeri pada posisi penugasan.  

Walaupun Perumda dibentuk untuk menjalankan pemenuhan kepentingan umum, sebagai entitas usaha (bisnis), dia dituntut untuk menghasilkan keuntungan.   

Keuntungan tersebut untuk sebagian dikembalikan sebagai modal Perumda, sebagian lain disetorkan sebagai deviden kepada Pemda.   Deviden digunakan oleh Pemda untuk pembiayaan pembangunan.

Contohnya Perumda di Jakarta adalah PD Dharma Niaga (pemasaran daging) dan PD Pasar (pengadaan prasarana dan sarana pasar daerah).

Pada Persero (PT) , atau BUMD  modal perusahaan berbentuk saham.  Proporsi kepemilikan saham oleh Pemda bisa 100%, atau lebih kecil dari itu, dengan catatan sedikitnya 51% (saham mayoritas).  Bisnis intinya bisa bergerak di bidang pemenuhan kepentingan umum maupun di bidang bisnis komersil.  

Secara struktural, direksi Persero/BUMD bertanggungjawab kepada pemegang saham (Rapat Umum Pemegang Saham), bisa Pemda sendiri (kalau saham 100%) bisa juga beberapa pihak pemilik saham. Pegawai BUMD bukan pegawai negeri tapi setara pegawai swasta.

Sedikit berbeda dibanding Perumda, Persero dituntut untuk menghasilkan laba, sekaligus juga dituntut sebagai agen pembangunan. 

Dengan mengambil bentuk Persero, maka suatu perusahaan secara sengaja dimaksudkan untuk menciptakan laba.  Sebagian laba akan disetor kepada pemda untuk digunakan membiayai pembangunan daerah.

Contoh Persero di Jakarta adalah PT Jakarta Propertindo (properti, infrastruktur, utilitas), PT Food Station Cipinang (pengadaan pangan pokok), PT Bank DKI (keuangan), dan PT Transjakarta (transportasi umum).

Jadi, baik Perumda (PD) maupun Persero (PT) sama-sama menjalankan bisnis terkait dengan pemenuhan kepentingan umum dan sama-sama dituntut untuk menghasilkan laba.  

Tapi tuntutan untuk menghasilkan laba lebih tinggi pada Persero ketimbang Perum karena suatu Persero dimaksudkan untuk menghasilkan laba.

Peraturan Pemerintah Mewajibkan Laba

Keharusan BUMD untuk menghasilkan laba secara eksplisit sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Badan Usaha Milik Daerah.  

Pasal 7 PP 54/2017 itu menetapkan tiga tujuan pendirian BUMD sebagai berikut.

Pertama, memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian.

Kedua, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik dan potensi daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik.

Ketiga, memperoleh laba dan/atau keuntungan.

Sementara Pasal 8 mengatur bahwa pendirian Perumda diprioritaskan dalam rangka menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik dan potensi Daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik.  

Indikator  "tata kelola perusahaan yang baik" adalah transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan kewajaran. 

Responsibilitas secara khusus adalah kesesuaian pengelolaan perusahaan terhadap peraturan dan prinsip korporasi yang sehat. Salah satu ciri korporasi yang sehat adalah membukukan laba usaha.

Suatu perusahaan milik daerah, baik Perumda maupun BUMD, diharuskan mencatatkan laba karena harus mampu membiayai diri sendiri. Tidak tergantung pada APBD, baik dalam bentuk penyertaan modal, pinjaman, ataupun hibah. 

Dengan demikian, keberadaan perusahaan milik daerah justru harus meringankan tugas pembangunan baik secara teknis operasional maupun secara pembiayaan.

Tapi memang benar bahwa jika berkaitan dengan kepentingan umum, perusahaan milik daerah "boleh" melakukan kegiatan usaha yang tidak menguntungkan atau bahkan merugi, berdasar penugasan dari pemerintah selaku pemegang saham.  

Penugasan semacam itu dikenal sebagai PSO (Public Service Obligation). Misalnya operasi pasar berupa penjualan beras murah atau daging murah untuk warga miskin.

Namun jika kegiatan PSO itu terlalu merugikan perusahaan, direksi sebenarnya boleh menolak untuk melaksanakannya.  Atau meminta dukungan pembiayan dalam bentuk penyertaan modal daerah dari Pemda.  Agar perusahaan terhindar dari kerugian besar.

Perusahaan PD Dharma Jaya bisa menjadi contoh. Sampai tahun 2015 perusahaan pemasok daging dan ayam ini nyaris bangkrut akibat tindak koruptif.   

Prinsip "boleh rugi" demi kepentingan umum, memang menjadi kelemahan pada Perum, cenderung menjadi sumber "moral hazard". Perum rugi bukan karena berkorban untuk umum, tapi karena dikorupsi pejabatnya.

Melalui penerapan manajemen bisnis professional, di bawah Dirut Marina waktu itu, Dharma Jaya sukses melakukan revitalisasi dan "turn around" sehingga  mampu mencatatkan laba.

Tapi pada tahun 2017, usulan penyertaan modal daerah (PMD) bagi Dharma Jaya  untuk 2018 ditolak Pemda, dengan alasan perusahaan daerah harus mandiri (Dharma Jaya masih berstatus Perumda).    

Direksi Dharma Jaya menilai penolakan itu tidak adil karena memaksa perusahaan untuk mencari modal untuk membeli daging/ayam subsidi.  Padahal program tersebut adalah program Pemda (PSO, penugasan), bukan program bisnis perusahaan.

Karena Dirut Marina tidak setuju melakukan kegiatan PSO dengan dana non-PMD, sebab pasti merugikan perusahaan, maka dia kemungkinan mengundurkan diri dari jabatan sebagai Direktur Utama.  

Kasus pengunduran diri Dirut Dharmajaya itu menunjukkan bahwa sekalipun Perumda berorientasi pada penyelenggaraan kemanfaatan umum, dia tetap harus menunjukkan kinerja sebagai perusahaan yang sehat dalam arti tidak boleh rugi.

Jakpro dan Revitalisasi TIM

Lantas bagaimana dengan keterlibatan Jakpro sebagai kontraktor pelaksana revitalisasu TIM Jakarta?

Menurut Gubernur Anies, Jakpro ditunjuk (langsung) sebagai kontraktor pelaksana revitalisasi TIM karena BUMD itu tidak mencari keuntungan tetapi menjalankan fungsi pembangunan daerah (Perda/RJPMD).

Pernyataan itu jelas keliru karena sebagai sebuah Persero , sudah pasti orientasi pertama Jakpro dalam berbisnis adalah penciptaan laba (keuntungan).   Jakpro hanya akan menjalankan proyek-proyek properti, infrastruktur dan utilitas jika analisis bisnisnya menunjukkan penciptaan laba.

Secara khusus, dalam laman resminya, Jakpro menegaskan langkahnya untuk "terus berekspansi dan mengukuhkan diri bukan hanya menjadi perusahaan yang menghasilkan profit, tapi juga agen development yang memberi kontribusi ke masyarakat luas." 

Artinya, laba ya, agen pembangunan ya.  Jika fungsi agen pembangunan merugikan, atau secara bisnis tidak layak, maka boleh ditolak.

Perlu dicatat, walaupun bidang kebudayaan, revitalisasi TIM itu bukanlah kegiatan PSO. Sebab tidak menyangkut hajat hidup orang banyak (warga Jakarta secara umum).  Karena bukan PSO, maka jelas tidak ada alasan untuk boleh rugi. Sekurangnya mesti impas, atau kalau terpaksa rugi, jangan sugnifikan.

Proyek revitalisasi TIM itu adalah sebuah proyek properti yang sudah diperhitungkan kelayakan bisnisnya.  Sudah dipastikan proyek itu akan memberikan keuntungan jangka panjang bagi Jakpro. 

Menurut rencana pengelolaan TIM akan diserahkan (BOT) kepada Jakpro selama sekitar 30 tahun. Setelah itu barulah diserahkan kembali ke Pemda.   Break event point diperkirakan cercapai pada tahun ke-23. Tujuh tahun berikutnya adalah masa menangguk laba.  

Jelas proyek revitalisasi TIM adalah sebuah proyek komersil yang menguntungkan secara bisnis.  Itu bukan sebuah proyek sosial (budaya) semacam PSO atau CSR. Direksi Jakpro pasti menolak penugasan revitalisasi TIM jika proyek itu dinilai merugikan perusahaan.

Pasti sudah ada perhitungan pendapatan dan laba dalam 30 tahun pengoperasian oleh Jakpro. Sewa wisma (hotel), sewa ruangan, sponsorship, tiket pertunjukan, dan tarif parkir adalah beberapa dari sejumlah sumber pendapatan bagi Jakpro.

Akhirnya, sesuai judul tulisan ini, saya harus katakan bahwa Anies telah melakukan kekeliruan ganda dengan klaim BUMD bertujuan menjalankan fungsi pembangunan daerah, bukan cari untung.

Pertama, keliru karena perusahaan milik daerah, baik Perseroda maupun Perumda, adalah entitas bisnis yang harus mencatatkan laba dan menjadi agen pembangunan pada saat bersamaan.  

Kedua, keliru karena PT Jakpro adalah sebuah Perseroda yang jelas-jelas berorientasi bisnis. Proyek revitalisasi TIM sudah pasti lolos dari studi kelayakan bisnis. Sudah dipastikan akan memberi keuntungan untuk Jakpro.

Beruntung Anies berbicara di depan Komisi X (Pendidikan, Olahraga, Sejarah).  Bukan di depan Komisi VI (Industri, Investasi, Persaingan Usaha).  Karena itu dia selamat  dari "pembantaian".

Sebenarnya tidak masuk akal jika Anies sampai tidak paham bahwa perusahaan milik daerah itu wajib mencatatkan laba.  

Barangkali Anies hanya bermaksud menjustifikasi penunjukan Jakpro sebagai kontraktor pelaksana revitalisasi TIM. 

Masalahnya implisit di situ Jakpro boleh rugi dalam kegiatan revitalisasi TIM.  Ini berbahaya. Di atas sudah saya katakan tadi bahwa ijin "boleh rugi" itu adalah sumber moral hazard.

Demikian sekadar catatan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, pernah sekali nonton teater anak sekolahan di TIM.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun