Dari perspektif sosiologi, antropologi, dan politik, pemanfaatan plasa kecamatan sebagai ruang publik sangat kontekstual. Kantor pemerintah pada dasarnya adalah ruang publik dengan aneka fungsi yang terbuka bagi semua warga. Bukan hanya fungsi administrasi dan pemerintahan, tapi mestinya juga fungsi-fungsi edukasi, informasi, rekreasi, kesehatan, dan lain-lain.
Saya berangan-angan, seandainya plasa Kecamatan Mampang Prapatan itu dirancang-ulang dan dibangun menjadi plasa sosialisasi seperti yang saya bayangkan. Tentulah para remaja di kampung kami dan kampung sekitar akan mendapatkan ruang fisik dan sosial untuk menetralisir energi negatif dalam diri mereka.
Energi anak-anak dan para remaja, serta hasrat mereka untuk eksis, akan tersalurkan secara positif di plasa kecamatan itu. Pemerintah, selain menyediakan ruang publik itu, hanya perlu mengundang sejumlah relawan untuk berbagi pengetahuan, keahlian, dan ketrampilan bidang tertentu, sesuai minat warga.
Maka saya membayangkan, di plasa kecamatan akan tumbuh dan berkembang berbagai kelompok atau komunitas kreatif yang bersifat konstruktif. Para remaja yang sedang mencari identitas dan ingin eksis akan sibuk di situ membentuk karakter dirinya. Tidak lagi sibuk di ruang-ruang publik informal melakukan tindakan-tindakan destruktif.
Bukankah itu semua jauh lebih baik ketimbang ulah para remaja yang begadang dan bahkan tawuran saban malam di depan rumah kami?
Tapi tentu saja ini hanya harapan saya, sebagai selah seorang warga Jakarta, yang menjadi “korban” akibat langkanya ruang publik di tengah perkampungan padat, kumuh, dan miskin di Kecamatan Mampang Prapatan sana.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H