Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Plasa Kecamatan, Potensi Ruang Publik yang Belum Digarap di Jakarta

30 September 2015   21:12 Diperbarui: 30 September 2015   21:27 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ruang Publik Informal”

Warga kampung kami dan sekitarnya bukanlah tipe manusia apatis. Karena pemerintah tak menyediakan “ruang publik formal”, mereka mencari solusi sendiri.

Secara kreatif warga kampung dan sekitarnya menciptakan sendiri “ruang publik informal” baginya. Mreka menjadikan ruang lowong sempit di pertigaan jalan, di mulut gang, di depan warung, dan di depan pintu pagar rumah sebagai ruang sosialisasi.

Anak kecil, remaja, dan kaum ibu bergerombol di ruang-ruang publik informal itu. Mereka bermain, bercengkerama, dan bergosip di situ, untuk melepas segala ketegangan psikis dan, syukur-syukur, menghirup semangat baru.

Tapi itulah pangkal masalahnya. Para remaja khususnya memanfaatkan ruang itu sebagai wahana unjuk eksistensi. Unjuk eksistensi ini diwujudkan dalam dua bentuk yang sangat mengganggu dan bahkan merusak.

Bentuk pertama adalah aksi begadang dari sejak lepas magrib sampai azan subuh berkumandang dari mesjid yang jauhnya hanya sepelemparan batu dari rumah kami.

“Begadang boleh saja, asal ada gunanya,” senandung Bang Haji Rhoma Irama. Tapi, begadangnya para remaja kampung ini, bukan saja tak berguna, tapi sangat mengganggu ketenangan warga.

Mereka melepas ketegangan hidupnya dengan cara berteriak-teriak dan bernyanyi-nyanyi sepanjang malam. Akibatnya, warga sekitar, tidak bisa tidur nyenyak, terimbas ikut begadang juga.

Kami sekeluarga termasuk kelompok warga yang kehilangan hak untuk tidur nyenyak akibat aksi begadang para remaja kampung itu. Masalahnya, ruang publik informal tempat mereka beraksi itu adalah ruang kosong sempit persis di depan pintu pagar rumah kami.

Bentuk kedua adalah aksi tawur kelompok remaja antar kampung. Berteriak dan bernyanyi sepanjang malam rupanya tak cukup untuk melepas tekanan psikis. Maka perlu tawur untuk pelampiasan secara tuntas. Biasanya, minuman beralkohol ikut pula berperan di sini.

Celakanya, ruang publik informal lokasi tawur itu adalah pertigaan yang jaraknya sepelemparan batu juga dari rumah kami. Maka, hampir setiap malam Minggu kami dipaksa untuk menikmati keributan tawur antar remaja kampung. Benda tajam mengacung dan batu-batu terbang sudah pasti mewarnai tawuran itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun