Situasi Plasa di Kantor Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan (Sumber: IDjakarta.com)
Ingat Hari Habitat Dunia (HHD), yang akan diperingati 5 Oktober 2015 nanti, ingat kepadatan tinggi lingkungan pemukiman kami. Kami tinggal di wilayah Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Kecamatan ini, sebagai sebuah habitat manusia, tergolong sangat padat.
Bayangkan, menurut hasil Sensus Penduduk 2010 kepadatan penduduk di Kecamatan Mampang Prapatan mencapai 18,238 jiwa/km2. Angka ini jauh di atas angka kepadatan rata-rata Jakarta Selatan yaitu 12,995 jiwa/km2.
Ada semacam “pemisahan halus” di wilayah ini, sebagaimana teramati di kelurahan tempat kami tinggal. Warga “pendatang” umumnya tinggal di rumah-rumah gedongan serba lega sepanjang kiri-kana jalan-jalan utama pemukiman. Atau di dalam koloni-koloni super eksklusif yang disebut town house.
Sedangkan warga “asli”, umumnya etnis Betawi, tinggal di balik rumah-rumah gedongan, atau di ujung-ujung jalan, membentuk komunitas-komunitas yang disebut “kampung”. Menyatu di situ, dengan status penyewa rumah atau kamar, adalah para migran sirkuler yang mayoritas berasal dari wetan, umumnya etnis Sunda dan Jawa.
Kami tinggal di salah satu dari banyak kampung di Pela Mampang. Bukan di barisan rumah gedongan atau di town house.
Konotasi kampungdi Jakarta adalah padat, kumuh, dan miskin. Dan itu benar belaka. Kami, atau tepatnya keluarga saya, adalah saksi sekaligus pelaku yang mengalami kondisi itu setiap hari.
Di kelurahan tempat kami tinggal tidak ada ruang publik. Itu jika ruang publik dimengerti sebagai tempat yang disediakan oleh pemerintah untuk dimanfaatkan masyarakat secara cuma-cuma.
Akibatnya, warga kampung kami tak punya tempat untuk sejenak membebaskan diri (katarsis) dari tekanan psikis akibat kepadatan populasi, sergapan kekumuhan, dan himpitan kemiskinan.
Lalu, sebagai bentuk ekspresi “pembebasan diri”, terjadilah ragam bentuk keributan sosial di kampung kami dan sekitarnya. Kendati bisa dipahami, ekspresi semacam itu jelas bersifat merusak. Krena itu, diperlukan solusi untuk mengatasinya.
“Ruang Publik Informal”
Warga kampung kami dan sekitarnya bukanlah tipe manusia apatis. Karena pemerintah tak menyediakan “ruang publik formal”, mereka mencari solusi sendiri.
Secara kreatif warga kampung dan sekitarnya menciptakan sendiri “ruang publik informal” baginya. Mreka menjadikan ruang lowong sempit di pertigaan jalan, di mulut gang, di depan warung, dan di depan pintu pagar rumah sebagai ruang sosialisasi.
Anak kecil, remaja, dan kaum ibu bergerombol di ruang-ruang publik informal itu. Mereka bermain, bercengkerama, dan bergosip di situ, untuk melepas segala ketegangan psikis dan, syukur-syukur, menghirup semangat baru.
Tapi itulah pangkal masalahnya. Para remaja khususnya memanfaatkan ruang itu sebagai wahana unjuk eksistensi. Unjuk eksistensi ini diwujudkan dalam dua bentuk yang sangat mengganggu dan bahkan merusak.
Bentuk pertama adalah aksi begadang dari sejak lepas magrib sampai azan subuh berkumandang dari mesjid yang jauhnya hanya sepelemparan batu dari rumah kami.
“Begadang boleh saja, asal ada gunanya,” senandung Bang Haji Rhoma Irama. Tapi, begadangnya para remaja kampung ini, bukan saja tak berguna, tapi sangat mengganggu ketenangan warga.
Mereka melepas ketegangan hidupnya dengan cara berteriak-teriak dan bernyanyi-nyanyi sepanjang malam. Akibatnya, warga sekitar, tidak bisa tidur nyenyak, terimbas ikut begadang juga.
Kami sekeluarga termasuk kelompok warga yang kehilangan hak untuk tidur nyenyak akibat aksi begadang para remaja kampung itu. Masalahnya, ruang publik informal tempat mereka beraksi itu adalah ruang kosong sempit persis di depan pintu pagar rumah kami.
Bentuk kedua adalah aksi tawur kelompok remaja antar kampung. Berteriak dan bernyanyi sepanjang malam rupanya tak cukup untuk melepas tekanan psikis. Maka perlu tawur untuk pelampiasan secara tuntas. Biasanya, minuman beralkohol ikut pula berperan di sini.
Celakanya, ruang publik informal lokasi tawur itu adalah pertigaan yang jaraknya sepelemparan batu juga dari rumah kami. Maka, hampir setiap malam Minggu kami dipaksa untuk menikmati keributan tawur antar remaja kampung. Benda tajam mengacung dan batu-batu terbang sudah pasti mewarnai tawuran itu.
Polisi sebenarnya tidak berdiam diri. Mereka selalu hadir untuk mengatasi tawuran. Tapi, masalahnya, kedatangan polisi selalu didahului dengan raungan sirene memecah malam. Jadi, bisa dipastikan, para remaja pelaku tawuran sudah kabur sebelum polisi turun dari motor dan mobil patrolinya.
Mungkin, karena rasa jeri dikejar-kejar polisi, aksi tawuran antar kelompok remaja kampung sudah mereda dalam sebulan terakhir. Aksi begadang para remaja di depan rumah kami, juga di kampung-kampung tetangga, agak mereda pula.
Tapi, seperti yang sudah-sudah, kondisi ini hanya semacam “tiarap temporer”. Satu atau dua bulan lagi ke depan, keadaan akan pulih lagi seperti sedia kala, remaja biang begadang dan tawur beraksi lagi.
“Area Penyangga Sosial”
Dalam tata-ruang Taman Nasional, dikenal konsep “area penyangga” (buffer zone). Itu adalah area sekeliling kawasan TamanNasional yang difungsikan sebagai sabuk pengaman.
Di area penyangga terjadi kompromi kepentingan antara warga sekitar dan pengelola Taman Nasional. Kepentingan warga untuk memanfaatkan sumberdaya alam diakomodasi di zona itu, sehingga penjarahan areal taman dapat dihindarkan.
Terinspirasi area penyangga Taman Nasional, muncul pikiran menerapkan konsep serupa di kelurahan atau kecamatan tempat kami tinggal. Hanya saja penerapannya bukan terutama dalam fungsi sebagai “area penyangga ekologis” (ecological buffer zone). Tapi sebagai “area penyangga sosial” (social buffer zone).
Ide dasarnya di sini, untuk kawasan pemukiman padat seperti kelurahan atau kecamatan kami di Jakarta, pemerintah membangun “ruang publik formal” dengan fungsi utama sebagai “area penyangga sosial”.
Ruang publik semacam itu dapat dirancang sebagai “zona damai”. Di situ berbagai komunitas kampung bebas hadir untuk melepas energi negative, atau melepaskan diri dari berbagai tekanan psikis, dengan cara yang sehat.
Kongkritnya, saya membayangkan sebuah ruang publik dalam bentuk “plasa sosialisasi”. Wujudnya sebidang lapangan terbuka di tengah kampung-kampung padat, kumuh, dan miskin. Lapangan itu tidak saja ditanami dengan ragam tumbuhan tetapi, dan ini paling penting, dilengkapi ragam sarana sosial untuk warga.
Saya bayangkan di plasa itu tersedia sarana olah raga ruang terbatas misalnya tenis meja, catur, dan senam kebugaran. Juga sarana kegiatan seni ruang terbatas misalnya tari, marawis, dan musik.
Selain itu juga sarana kegiatan pelatihan ekonomi kreatif misalnya kerajinan anyaman berbahan baku koran atau kemasan plastik. Serta sarana permainan tradisi seperti benteng dan gobak sodor.
Tentu tersedia juga sarana untuk menyendiri misalnya bangku-bangku taman, ruang baca, dan mushola mini.
Pertanyaannya kemudian, untuk kota Jakarta umumnya atau Kecamatan Mampang Prapatan khususnya, di mana bisa mendapatkan ruang untuk plasa sosialisasi semacam itu?
“Plasa Kecamatan”
Secara kebetulan, kemarin saya berkunjung ke Kantor Camat Mampang Prapatan untuk suatu urusan. Kantor Camat ini hanya berjarak sekitar 500 meter dari rumah kami. Saya terbiasa berjalan kaki ke sana melintasi gang berbelok-belok menembus perkampungan.
“Eurekaa …!” Saya berteriak dalam hati. Bukan karena berhasil tiba di Kantor Camat. Tapi karena tiba-tiba menyadari keberadaan plasa cukup luas di depan kantor itu. Selain untuk area parkir kendaraan, sebagian ruang plasa itu difungsikan untuk taman. Di samping kiri ada bangunan mushola kecil dan di samping kanan rumah dinas.
Saya pikir, plasa Kantor Camat Mampang Prapatan itu adalah potensi ruang publik yang belum digarap optimal. Pemanfaatannya masih sangat terbatas. Sepanjang pengamatan saya hari-hari sebelumnya, plasa ini hanya digunakan oleh anak kecil dan remaja sekitar untuk bermain di sore hari.
Jika potret fungsi plasa kecamatan di Kantor Camat Mampang Prapatan itu adalah tipikal plasa kecamatan di seluruh Propinsi DKI Jakarta, bayangkan seberapa luas potensi ruang publik yang telah disia-siakan selama ini.
Layak dipertanyakan mengapa Pemda DKI Jakarta berniat membeli tanah untuk keperluan ruang publik. Potensi ruang publik di kantor-kantor kecamatannya saja belum digarap optimal.
Dari perspektif sosiologi, antropologi, dan politik, pemanfaatan plasa kecamatan sebagai ruang publik sangat kontekstual. Kantor pemerintah pada dasarnya adalah ruang publik dengan aneka fungsi yang terbuka bagi semua warga. Bukan hanya fungsi administrasi dan pemerintahan, tapi mestinya juga fungsi-fungsi edukasi, informasi, rekreasi, kesehatan, dan lain-lain.
Saya berangan-angan, seandainya plasa Kecamatan Mampang Prapatan itu dirancang-ulang dan dibangun menjadi plasa sosialisasi seperti yang saya bayangkan. Tentulah para remaja di kampung kami dan kampung sekitar akan mendapatkan ruang fisik dan sosial untuk menetralisir energi negatif dalam diri mereka.
Energi anak-anak dan para remaja, serta hasrat mereka untuk eksis, akan tersalurkan secara positif di plasa kecamatan itu. Pemerintah, selain menyediakan ruang publik itu, hanya perlu mengundang sejumlah relawan untuk berbagi pengetahuan, keahlian, dan ketrampilan bidang tertentu, sesuai minat warga.
Maka saya membayangkan, di plasa kecamatan akan tumbuh dan berkembang berbagai kelompok atau komunitas kreatif yang bersifat konstruktif. Para remaja yang sedang mencari identitas dan ingin eksis akan sibuk di situ membentuk karakter dirinya. Tidak lagi sibuk di ruang-ruang publik informal melakukan tindakan-tindakan destruktif.
Bukankah itu semua jauh lebih baik ketimbang ulah para remaja yang begadang dan bahkan tawuran saban malam di depan rumah kami?
Tapi tentu saja ini hanya harapan saya, sebagai selah seorang warga Jakarta, yang menjadi “korban” akibat langkanya ruang publik di tengah perkampungan padat, kumuh, dan miskin di Kecamatan Mampang Prapatan sana.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H