Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kisah Hakim Bao dan Para Pendekar Penegak Keadilan (Bagian 5)

1 Februari 2018   21:47 Diperbarui: 11 September 2018   13:04 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

KISAH HAKIM BAO DAN PARA PENDEKAR PENEGAK KEADILAN

BAGIAN 5 – PENGGARIS SAKU TUKANG KAYU MENGUNGKAPKAN PELAKU KEJAHATAN, POT HITAM MENGADUKAN KETIDAKADILAN

Mendengar pelayan menjawab bahwa baru saja ada seseorang yang kepalanya mengeluarkan banyak darah datang mengikuti dan seketika itu juga tidak terlihat lagi, orang itu tampak pucat mukanya dan menjadi salah tingkah. Tidak seperti penampilannya pada waktu baru saja datang tadi yang tampak sombong. Baru saja ia duduk, tidak lama kemudian berbalik menatap dengan tatapan kosong. Belum menghabiskan botol araknya, ia segera membayar tagihan dan pergi.

Bao Zheng melihat kejadian ini dan bertanya kepada pelayan, "Siapakah orang itu?" Pelayan itu menjawab, "Orang itu bermarga Pi dan bernama Xiong, ketua dari dua puluh empat orang pedagang kuda." Bao mengingat nama orang itu dan setelah selesai makan, menyuruh Bao Xing pergi ke kantor pemerintah daerah Dingyuan untuk menyampaikan perintah kerajaan. Ia pun segera pergi. Bao tak lama kemudian keluar dari rumah makan. Belum sampai di kantor pemerintah, terlebih dulu tiga orang petugas pemerintah menyambutnya. Di dalam kantor, seorang petugas menyerahkan stempel pemerintahan dan segala sesuatunya diserahterimakan kepadanya.

Bao langsung memeriksa dengan seksama buku catatan kasus-kasus pengadilan. Di antaranya terdapat kasus Shen Qing yang membunuh seorang bhiksu di aula Qielan [Sangharama], tetapi rincian kasusnya membingungkan. Kemudian ia mengeluarkan perintah segera ke ruang pengadilan memeriksa kasus Shen Qing. Ketiga orang petugas itu telah mengetahui sebelumnya kabar bahwa Bao sudah diam-diam sepanjang perjalanan menyelidiki keadaan. Mereka mengetahui kehebatan orang ini sehingga masing-masing berhati-hati dan teliti dalam mempersiapkan laporan tersebut. Ketika mendengar panggilan, satu tim petugas masuk ke ruang sidang dan memisahkan diri ke kedua sisi, meneriakan kekuasaan pengadilan. Bao mengambil tempat duduknya dan memanggil petugas penjara dengan memerintahkan, "Bawa masuk Shen Qing."

Tak lama kemudian Shen Qing dibawa keluar penjara menuju ruang sidang. Takut menerima hukuman, ia bersujud. Bao dengan cermat melihat bahwa ternyata orang ini baru berusia tiga puluh tahun. Bergemetar ketakutan, ia merangkak di atas lantai dan tidak tampak seperti seorang penjahat. Bao bertanya, "Shen Qing, mengapa engkau membunuh orang? Katakan yang sebenarnya!"

Shen Qing seraya meratap menjawab, "Hamba pulang dari mengunjungi keluarga, tetapi hari sudah terlalu malam dan juga hujan gerimis sehingga tanah berlumpur dan sangat sulit dilewati. Hamba adalah seorang yang penakut dan tidak berani berjalan pada malam hari. Di kabupaten ini kurang lebih tiga li ke selatan terdapat sebuah kuil kuno. Di sana hamba sementara berlindung dari angin dan hujan. Keesokannya ketika hari belum terang, ada seorang petugas di jalan. Melihat di belakang badan hamba ada noda darah, petugas itu bertanya hamba datang dari mana. Hamba menceritakan bagaimana kemarin pulang dari mengunjungi keluarga ketika hari sudah terlalu malam dan singgah di dalam kuil di aula Qielan berlindung dari hujan. Setelah mengatakan demikian, tidak disangka petugas itu menghentikan dan tidak melepaskan hamba. Dengan segala cara ia membawa hamba ke dalam kuil. Aiya, Tuan! Ketika hamba bersama dengan petugas itu sampai di kuil, ternyata di samping patung Buddha terdapat seorang bhiksu yang tewas terbunuh. Hamba tidak mengetahui siapakah yang membunuh bhiksu itu. Akibatnya hamba dibawa dengan paksa ke kantor pemerintah dan dituduh membunuh bhiksu itu. Hamba benar-benar diperlakukan dengan tidak adil, mohon Tuan Langit Cerah [yaitu, pejabat yang bersih dan jujur] menyelidikinya!"

Bao bertanya, "Kapan kamu keluar dari kuil itu?" Shen Qing menjawab, "Sewaktu hari belum terang." Bao bertanya lagi, "Kenapa bajumu terkena noda darah?" Shen Qing menjawab, "Hamba sebelumnya berada di bawah meja altar, ada darah mengalir membasahi baju hamba." Bao setelah mendengarkannya menganggukkan kepala dan memerintahkan agar Shen Qing kembali dibawa ke dalam penjara. Lalu ia memerintahkan agar tandu dipersiapkan untuk membawanya ke aula Qielan. Bao Xing melayani tuannya naik ke atas tandu dengan baik. Kemudian ia mengikuti tandu dengan menunggangi kuda.

Bao berada di dalam tandu seraya berpikir, "Jika ia telah merencanakan pembunuhan ini, kenapa seluruh bajunya sama sekali tidak berlumuran darah, hanya bagian belakang badannya saja? Selain itu, walaupun ada luka akibat pisau pada tubuh bhiksu tersebut, pisaunya sama sekali tidak ditemukan." Sepanjang perjalanan ia memikirkan hal ini. Sesampainya di aula Qielan, Bao turun dari tandu dan memerintahkan para petugas tidak mengikuti masuk ke dalam, hanya membawa Bao Xing masuk ke dalam kuil. Di depan aula melihat patung Buddha yang hancur dan kedua sisinya sepenuhnya runtuh. Ia berbalik ke belakang patung Buddha, memeriksa bagian atas dan bawahnya, dan diam-diam menganggukkan kepala. Ia membalikkan badan memeriksa di bawah meja altar. Di atas lantai ada buah yang terkena noda darah yang membingungkan. Tiba-tiba ia menemukan di atas lantai suatu benda. Ia mengambilnya dan tidak mengatakan satu kata pun. Setelah memasukkannya ke dalam lengan baju, ia segera kembali ke kantor pemerintah.

Sampai di ruang baca, Bao Xing memberikan teh dan mengatakan bahwa Li Bao telah kembali setelah menggadaikan barang bawaan. Mendengar hal ini, Bao menyuruhnya masuk. Li Bao masuk dan memberikan penghormatan kepada Bao. Bao menyuruh Bao Xing memanggil masuk kepala petugas yang sedang bertugas. Tak lama kemudian, datanglah kepala petugas itu menghadap dan memberi penghormatan, "Hamba, Hu Cheng, memberi penghormatan kepada Tuan." Bao bertanya, "Di kabupaten kita apakah ada tukang kayu?" Hu Cheng menjawab, "Ada." Bao berkata, "Kamu panggilkan beberapa orang ke sini, saya memiliki pekerjaan penting untuk dikerjakan. Besok pagi mereka harus datang ke sini." Hu Cheng mengiyakan lalu pergi.

Keesokan harinya Hu Cheng datang berkata, "Hamba telah mengumpulkan para tukang kayu. Sekarang mereka sedang menunggu di luar." Bao berkata, "Persiapkan meja pendek, alat tulis dan batu tinta. Suruh para tukang kayu itu ke ruang tamu, jangan ada yang salah. Pergilah." Hu Cheng segera pergi mempersiapkan barang-barang yang diminta. Setelah mandi, Bao segera bersama dengan Bao Xing pergi ke ruang tamu, memerintahkan tukang kayu datang satu per satu. Masuklah sembilan orang yang masing-masing memberikan penghormatan dengan berkata, "Tuan, hamba memberi penghormatan." Bao berkata, "Hari ini aku ingin membuat rak untuk pot bunga, yang memiliki corak unik yang beranekaragam. Kalian masing-masing membuat gambarnya untukku. Aku akan memilih yang paling bagus untuk digunakan, dan yang terpilih akan mendapatkan banyak hadiah."

Setelah berkata demikian, Bao memerintahkan membawakan meja pendek, alat tulis dan batu tinta. Para petugas lalu menyiapkan yang diminta. Tampak kesembilan orang tukang kayu itu masing-masing berusaha memikirkan model yang bagus. Siapakah yang tidak mau memenangkan hadiah tersebut! Di antara para tukang kayu itu terdapat orang yang sudah terbiasa menggunakan ranting bambu, namun tidak memegang alat tulis di bagian atasnya; ada juga yang dengan gemetaran berusaha menggambar dengan baik sebelum akhirnya bisa menenangkan diri dan menyelesaikan gambarnya. Bao duduk mengawasi mereka dengan cermat. Tak lama kemudian, seluruh gambar telah diselesaikan dan satu per satu dikumpulkan. Bao memeriksanya satu per satu, sampai melihat sebuah gambar dan bertanya kepada tukang kayu yang menggambarnya: "Siapakah nama kamu?" Orang itu menjawab, "Nama hamba Wu Liang."  Bao berkata kepada para tukang kayu lainnya, "Kalian boleh pergi, tetapi Wu Liang harus dibawa ke ruang sidang." Para petugas mengiyakan dan memukul genderang sebagai tanda Bao naik ke atas meja pengadilan.

Bao mengambil tempat duduknya, memukul meja dengan sebatang kayu [yaitu palu hakim pada masa itu] satu kali untuk menakuti tersangka, dan berseru, "Wu Liang, mengapa kamu membunuh bhiksu itu? Katakan sejujurnya! Jika tidak, kamu akan mendapatkan hukuman siksaan." Wu Liang dengan ketakutan berkata, "Hamba mencari nafkah dengan menjadi seorang tukang kayu dan merasa berkecukupan dengan pekerjaan hamba, mengapa hamba harus membunuh orang? Mohon Tuan menyelidikinya dengan seksama." Bao berkata, "Tampaknya kamu tidak akan mengakuinya. Petugas, kalian segera pergi ke aula Qielan membawa dewa Qielan dengan hati-hati ke sini!" Para petugas pengadilan segera melaksanakan perintah dan pergi ke aula Qielan.

Tak lama kemudian, mereka membawa patung dewa Qielan ke ruang pengadilan. Orang-orang melihat patung dewa Qielan dari tanah liat diangkut ke kantor pemerintahan kabupaten untuk diadili, siapa yang tidak mau melihat hal yang aneh tersebut. Kemudian Bao meninggalkan kursinya, menyambut kedatangan patung tersebut, lalu menanyainya mengenai perkara ini. Para petugas pengadilan melihat hal ini, tidak dapat menahan tawanya, termasuk Bao Xing yang dalam hati bertanya, "Apa yang sedang dilakukan Tuan kami?"

Bao kembali ke kursinya dan berkata, "Wu Liang, baru saja dewa memberitahu bahwa kamu pada waktu melakukan kejahatan meninggalkan jejak di belakangnya. Pergilah melihatnya." Para petugas membawa Wu Liang melihatnya. Terlihat di belakang patung dewa itu di bagian bawah bahunya ada jejak telapak tangan kiri berjari enam. Siapa sangka ternyata tangan kanan Wu Liang memiliki enam jari dan setelah dibandingkan, sedikit pun tidak salah. Wu Liang ketakutan setengah mati. Orang-orang sangat keheranan dan bertanya-tanya, "Pejabat ini benar-benar seorang dewa, bagaimana mungkin ia mengetahui Wu Liang adalah pembunuhnya?" Mereka tidak tahu bahwa pada waktu Bao berada di kuil itu untuk menyelidiki, di lantai ia menemukan sebuah benda yang tak lain adalah sebuah penggaris saku tukang kayu. Ia juga melihat di belakang patung dewa Qielan terdapat jejak berlumuran darah dari telapak tangan berjari enam. Oleh sebab itu, terpikirkan olehnya pasti jejak tangan dari seorang tukang kayu.

Para petugas membawa kembali Wu Liang dan membuatnya berlutut di hadapan Bao. Bao memukul meja satu kali dan berseru, "Sekarang sudah ada bukti yang jelas, masihkah kamu tidak mengaku?" Para petugas yang kembali ke tempatnya menakut-nakuti dengan berteriak, "Segera mengakulah! Segera mengakulah!" Wu Liang langsung berkata, "Tuan jangan marah, hamba akan mengaku." Petugas pencatat kasus pengadilan yang berada pada satu sisi menuliskan pengakuannya.

Wu Ling bercerita, "Hamba dulu berteman baik dengan bhiksu dari kuil itu. Bhiksu itu suka minum dan hamba juga seorang pemabuk. Hari itu sang bhiksu mengajak hamba minum, siapa sangka ia langsung mabuk. Hamba menyarankannya menerima seorang murid agar kelak tidak kesulitan ketika menerima buah karma buruknya. Ia berkata, 'Sekarang sangat sulit bagiku untuk mendapatkan seorang murid. Bahkan jika karma burukku berbuah kelak, aku tidak takut karena selama beberapa tahun berusaha, aku telah menyimpan lebih dari dua puluh uang perak.' Ia karena mabuk dan tidak sadar mengucapkan hal ini. Hamba pun bertanya, 'Di mana kamu telah menyimpan uang perakmu? Jika hilang, bukankah akan menyia-nyiakan beberapa tahun usahamu?'. Ia menjawab, 'Uang perakku itu tidak akan hilang, karena disimpan di tempat yang tidak akan diduga orang-orang.' Hamba bertanya kembali, 'Sebenarnya kamu menyimpannya di mana?' Ia berkata, 'Kita berdua adalah teman baik. Aku memberitahu kamu, tetapi kamu tidak boleh memberitahu orang lain.' Ia mengatakan telah menyembunyikan uang peraknya di dalam kepala patung dewa Qielan. Hamba seketika memikirkan rencana jahat ketika mendengar tentang uang itu. Melihat ia semakin mabuk, hamba ingin menggunakan kapak hamba untuk membunuhnya. Tuan, hamba hanya pernah memotong kayu dengan kapak itu sebelumnya dan tidak pernah menggunakannya untuk memotong orang. Hantaman pertama tidak membunuhnya karena baru pertama kali melakukannya sehingga genggaman tanganku tidak kuat. Ia berusaha merebut kapak itu dari tangan hamba. Hamba menjatuhkannya dan memukulnya bertubi-tubi dengan kapak hingga ia tewas. Tangan hamba berlumuran darah. Hamba naik ke atas meja altar, tangan kiri berpegangan pada belakang patung, dan tangan kanan mencungkil keluar uang perak dari kepala patung. Hamba tidak menyadari telah meninggalkan jejak tangan kiri pada patung tersebut. Sekarang para dewa telah mengungkapkannya, hamba benar-benar sial."

Setelah mendengarkan pengakuan Wu Liang, Bao seketika mengeluarkan sebuah penggaris saku dan memperlihatkannya kepada Wu Liang. Ia mengenali itu sebagai barangnya yang ia jatuhkan ketika mengeluarkan kapak. Bao memerintahkan ia dihukum dan dimasukkan ke penjara. Shen Qing yang telah mendapatkan tuduhan salah dibebaskan dan mendapat ganti rugi sepuluh uang perak.

Ketika Bao akan menutup persidangan, tiba-tiba terdengar suara pukulan genderang yang disertai teriakan menuntut keadilan. Bao segera memerintahkan orang itu masuk. Dari pintu samping datanglah dua orang, yang satu berusia sekitar dua puluh tahun, satu lagi kurang lebih empat puluhan tahun. Masuk ke ruang sidang, keduanya berlutut. Yang muda berkata, "Hamba bernama Kuang Bizheng, memiliki seorang paman yang membuka toko kain sutera bernama Kuang Tianyou. Paman hamba memiliki sebuah gantungan batu karang yang beratnya delapan qian*, yang hilang tiga tahun yang lalu dan tidak ditemukan. Tak disangka hari ini hamba bertemu orang ini yang di pinggangnya mengenakan barang yang sama persis. Hamba mulanya ingin meminjam dan melihatnya karena takutnya salah mengenali barang tersebut. Namun orang ini bukan hanya tidak meminjamkan, tetapi juga menuduh hamba mengancam dirinya dan tidak melepaskan hamba. Mohon Tuan menyelidikinya."

Orang yang lebih tua berkata, "Saya bermarga Lu dan bernama Pei, hari ini bertemu dengan anak muda ini yang menghentikanku di tengah jalan. Ia mengatakan gantungan batu karang di pinggangku adalah miliknya. Di siang bolong ia menghadang jalan orang lain dan memukuliku, anak muda ini benar-benar kurang ajar! Mohon Tuan memberikan keadilan bagi diriku."

Bao setelah mendengarkan hal ini, mengambil gantungan batu karang itu dan melihatnya. Benda itu benar-benar terbuat dari batu karang merah yang bercahaya cemerlang. Bao kemudian bertanya kepada Kuang Bizheng, "Kamu baru saja mengatakan berat gantungan ini berapa qian?" Kuang menjawab, "Beratnya delapan qian. Banyak barang yang sangat mirip dan mungkin hamba salah mengenalinya sebagai barang milik paman hamba, tetapi hamba tidak pernah mengancam orang." Bao bertanya kepada Lu Pei, "Kamu tahu barang ini berapakah beratnya?" Lu menjawab, "Gantungan ini pemberian teman saya, saya tidak tahu beratnya."

Bao menyuruh Bao Xing membawakan timbangan dan menimbang beratnya, ternyata benar beratnya delapan qian. Ia berkata kepada Lu Pei, "Gantungan ini beratnya persis seperti yang dikatakan anak muda ini dan pasti adalah miliknya." Lu Pei memprotes, "Aiya, Tuan! Gantungan ini benar-benar milik saya, teman saya yang memberikannya. Mengapa saya harus memberikannya kepada orang ini? Saya tidak akan berbohong."

Bao bertanya, "Jika memang pemberian teman baik kamu, siapakah namanya? Katakan sejujurnya!" Lu Pei menjawab, "Teman baik saya bermarga Pi dan bernama Xiong, ia adalah ketua para pedagang kuda. Semua orang mengenalnya." Mendengar nama Pi Xiong, Bao teringat dengan kejadian di rumah makan sebelumnya dan menyuruh dua orang petugas pengadilan membawa Pi Xiong ke pengadilan. Kemudian ia menutup sidang sementara untuk makan siang.

Tak lama kemudian para petugas datang berseru, "Pi Xiong tiba!" Bao segera membuka sidang: "Hadirkan Pi Xiong!" Pi Xiong memasuki ruang sidang dan berlutut sambil berkata, "Tuan memanggil hamba ada apakah gerangan?" Bao berkata, "Dengar-dengar kamu memiliki sebuah gantungan batu karang, benarkah?" "Benar, tiga tahun yang lalu hamba menemukannya." "Apakah kamu memberikan gantungan itu kepada orang lain?" "Hamba tidak tahu siapa pemilik yang kehilangan barang itu, bagaimana mungkin memberikannya kepada orang lain?" "Gantungan itu sekarang ada di mana?" "Hamba menyimpannya di dalam rumah." Bao memerintahkan Pi Xiong pergi membawa gantungan tersebut kemudian memanggil Lu Pei.

Bao berkata, "Baru saja aku bertanya kepada Pi Xiong, ia tidak memberikan gantungan ini kepadamu, bagaimana mungkin gantungan ini berada di tanganmu? Cepat katakan!" Lu Pei dalam kebingungan akhirnya mengatakan bahwa istri Pi Xiong, yang bermarga Liu, memberikan barang itu kepadanya. Bao mendengar perkataan ini menyadari ada sesuatu yang tidak beres lalu bertanya, "Mengapa Liu memberikan kamu gantungan tersebut? Katakan sejujurnya!" Lu Pei pun terdiam. Bao memerintahkan, "Tampar dia!" Para petugas akan maju ketika melihat Lu Pei melambaikan tangan dan berkata, "Tuan jangan marah, saya akan mengatakannya." Ternyata ia dan Liu berselingkuh; Liu yang memberikan gantungan tersebut kepadanya diam-diam.

Pi Xiong yang telah datang ke ruang sidang dan mengetahui istrinya berselingkuh dengan Lu Pei melihatnya dengan perasaan tidak tenang. Bao segera memanggil Liu datang. Siapa sangka Liu yang membenci suaminya karena memiliki wanita lain dan tidak mencintainya sepenuh hati, datang ke pengadilan. Tanpa perlu ditanyai, Liu mengatakan suaminya Pi Xiong berselingkuh dengan istri Yang Dacheng yang bermarga Bi. "Gantungan ini berasal dari milik Bi, yang kemudian diberikan kepada suami hamba dua atau tiga tahun yang lalu. Ia memberikannya kepada hamba dan hamba memberikannya secara diam-diam kepada Lu Pei." Bao segera mengeluarkan perintah memanggil Bi ke pengadilan.

Ketika Bao sedang menanyai para terdakwa, tiba-tiba terdengar suara pukulan genderang. Bao menyuruh orang yang memukul genderang itu masuk ruang sidang. Orang itu berusia lima puluh tahun dan ternyata adalah paman Kuang Bizheng yang bernama Kuang Tianyou. Karena mendengar ada orang yang melaporkan keponakannya ke kantor pemerintahan, segera ia datang untuk melapor: "Tiga tahun yang lalu, hamba mempercayakan Yang Dacheng mengambil kain sutera ke toko kain sutera lain dan memberikan gantungan itu sebagai jaminannya. Setelah beberapa hari, hamba tidak melihat Yang datang ke toko lagi, juga tidak melihat gantungan itu lagi. Kemudian hamba mendatangi rumah Yang. Ternyata Yang sudah meninggal dunia pada malam hari itu dan keberadaan gantungan itu tidak diketahui lagi. Dalam hati hamba hanya bisa menahan amarah. Tidak disangka hari ini keponakan hamba melihat gantungan itu dan diperkarakan oleh orang ini di pengadilan Tuan. Hamba hanya memohon Tuan memberikan keputusan yang adil dan membersihkan tuduhan salah ini!" Kemudian ia bersujud tidak mengangkat kepalanya sedikit pun.

Bao akhirnya paham dan segera memanggil Pi Xiong dan Bi. Ia bertanya kepada Bi, "Suami kamu bagaimana bisa meninggal dunia?" Sebelum Bi dapat menjawabnya, Pi Xiong di sampingnya berseru, "Ia meninggal akibat serangan jantung." Bao memukul meja dan berkata, "Anjing keparat! Suaminya meninggal karena serangan jantung, mengapa kamu bisa mengetahuinya? Pasti ini rencana jahat kamu. Cepat katakan sejujurnya bagaimana kamu membunuh Yang!" 

Para petugas di kedua sisi berseru, "Mengakulah! Mengakulah! Mengakulah!" Pi Xiong menjawab dengan ketakutan, "Hamba benar berselingkuh dengan Bi, tetapi hamba tidak merencanakan membunuh Yang." "Kamu penjilat! Ingatkah kamu sebelumnya ingin makan di rumah makan. Belum selesai makan dan minum arak, raut wajahmu pucat dan salah tingkah. Hari ini kamu sudah datang ke pengadilan, tetapi masih berani membantah! Petugas, berikan hukuman!" perintah Bao.

Pi Xiong ketakutan setengah mati, tidak dapat berkata apa-apa dan berpikir, "Tuan ini demikian mengetahui, tidak ada yang dapat disembunyikan darinya. Aku sebaiknya mengatakan yang sebenarnya untuk menghindari hukuman." Kemudian ia berulang kali bersujud sampai kepalanya mengenai lantai dan memohon, "Tuan jangan marah, hamba akan mengaku." Bao berseru, "Mengakulah!" Pi Xiong pun bercerita, "Karena hamba berselingkuh dengan Bi, saling terikat erat satu sama lain, kami takut Yang tahu hubungan kami dan memisahkan kami. Kemudian kami mengatur rencana membuatnya mabuk dan membunuhnya dengan pisau, lalu diam-diam mempersiapkan peti mati untuk jenazahnya, dan mengatakan kepada orang-orang bahwa ia tiba-tiba terkena serangan jantung dan meninggal dunia. Waktu itu hamba menemukan sebuah gantungan batu karang dan membawanya pulang ke rumah. Kemudian hamba memberikannya kepada istri hamba. Demikianlah kejadian yang sebenarnya." Lalu Bao memerintahkan ia menandatangani pengakuan.

Akhirnya diputuskan bahwa Bi dihukum mati dengan dipotong-potong tubuhnya, Pi Xiong dihukum penggal, Lu Pei menerima hukuman empat puluh kali pukulan, Liu diserahkan ke rumah bordil, serta paman dan keponakan Kuang mendapatkan kembali gantungan batu koral miliknya. Demikianlah semua orang mengetahui bahwa Bao Zheng memecahkan kasus bagaikan seorang dewa dan ini tersebar luas ke segala penjuru sampai terdengar oleh seorang kakek dari Shangyi yang berjiwa ksatria dan pemberani.

Di daerah Xiao Sha (Pasir Kecil) hiduplah seorang kakek bernama Zhang San yang bersifat jujur, berperilaku baik, serta berjiwa ksatria dan pemberani. Oleh sebab itu, orang-orang memanggilnya sebagai "Bie Guo", yang berarti orang tua (guo) yang berbeda dari orang kebanyakan (bie). Ia mencari nafkah dengan mengumpulkan kayu bakar. Karena sudah cukup berumur, ia tidak bisa mengangkat kayu bakarnya sendirian, maka ia menyuruh orang-orang membantunya membawa kayu bakar dan menimbangnya. Setelah mendapatkan hasilnya, ia berbagi keuntungan kepada orang-orang yang membantunya. Ini adalah kebaikan hatinya terhadap orang-orang.

Suatu hari ketika sedang tidak ada pekerjaan, ia teringat, "Tiga tahun yang lalu Zhao Da dari daerah rawa Dong Ta (Pagoda Timur) berhutang padaku satu pikul kayu bakar seharga empat ratus mata uang. Jika aku tidak menagihnya, ini akan membuat teman-temanku berkecil hati. Aku benar-benar tidak tenang dan merasa bersalah. Karena hari ini tidak ada pekerjaan, mengapa aku tidak pergi jalan-jalan saja?" Kemudian bertumpu pada tongkat bambunya, ia mengunci pintunya dan pergi menuju rawa Dong Ta.

Sampai di pintu gerbang rumah Zhao, ia melihat bangunannya sepenuhnya baru dan tidak berani mengetuk pintu. Setelah bertanya kepada tetangga, ia baru menyadari bahwa Zhao Da telah menjadi orang kaya dan dikenal sebagai "Tuan Zhao Da". Orang tua itu merasa tidak senang dan berpikir, "Anak muda Zhao Da ini mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain dengan cara tidak membayar kembali uang kayu bakarnya. Bagaimana ia bisa menjadi kaya?" Lalu ia mengetuk pintu gerbang itu dan memanggil, "Zhao Da! Zhao Da!" Dari dalam terdengar suara orang menjawab, "Siapa? Ini bukan rumah Zhao Da, tetapi rumah Zhao Er." Ketika pintu terbuka, Zhang San melihat Zhao Da yang memakai pakaian dan penutup kepala yang begitu cerah, berbeda dengan kondisinya yang dulu. Zhao melihat Zhang dan mengenalinya, "Ternyata kakak Zhang."

Zhang berkata, "Walaupun dulu kamu sedikit dekat denganku sehingga dianggap sebagai saudara, tetapi kamu berhutang uang kayu bakar padaku. Kamu harus membayarnya sekarang." Zhao menjawab, "Kenapa begitu terburu-buru? Silahkan kakak duduk dulu di dalam." "Tidak perlu, aku tidak membawa uang." "Apa maksud kakak?" "Jika aku kaya, mungkinkah aku datang menagih hutang?"

Saat itu dari dalam tampak seorang wanita yang berpakaian sangat menawan muncul dan bertanya, "Tuan, kamu berbicara dengan siapa?" Melihatnya, Zhang berseru, "Cukup, Zhao Da, ternyata kamu melakukan pekerjaan kotor untuk menjadi kaya." "Jangan berkata yang tidak-tidak. Ia adalah istriku," protes Zhao lalu ia mengenalkan Zhang kepada istrinya, "Ia bukan orang lain, melainkan kakak Zhang San yang datang berkunjung." Wanita itu maju ke depan memberikan penghormatan, tetapi Zhang berkata, "Maaf, punggungku sakit sehingga aku tidak bisa membalas sopan santun anda." Zhao pun berkata, "Ini adalah kesalahan istriku, kakak masuk dan duduklah dulu."

Zhang masuk ke dalam rumah dan melihat banyak sekali pot bertumpuk di dalam. Setelah masing-masing mengambil tempat duduknya, Zhao menyuruh istrinya menuangkan teh. Namun Zhang menolak, "Aku tidak minum teh, kamu tidak usah repot-repot. Kamu cukup bayar kembali hutang empat ratus mata uang kepadaku." "Kakak tenang saja, aku tidak mungkin tidak membayarnya," kata Zhao yang kemudian memberikan empat ratus mata uang kepada Zhang. Zhang mengambil uang tersebut lalu memasukkannya ke dalam bajunya. Ia berdiri dan berkata, "Bukannya aku menginginkan hal kecil, tetapi aku sudah tua dan sering terbangun tengah malam untuk buang air. Kamu berikan aku sebuah pot kecil sebagai ganti rugi. Mulai sekarang kita putus hubungan, tidak saling mengenal lagi, bagaimana?"  "Mengapa kamu melakukan ini? Ambillah salah satu pot ini," jawab Zhao. Lalu Zhang mengambil sebuah pot hitam yang menarik menurutnya dan memasukkannya ke dalam bajunya. Seketika ia langsung pergi tanpa berpamitan kepada tuan rumah.

Rawa Dong Ta berjarak tiga li jauhnya dari daerah Xiao Sha. Hati Zhang tidak tenang sepanjang perjalanan, apalagi sekarang memasuki akhir musim gugur dan matahari akan terbenam di balik gunung. Zhang memasuki sebuah hutan ketika telinganya mendengar suara angin musim gugur mendesir dan menyebabkan dedaunan berguguran. Tiba-tiba angin topan bertiup membuat Zhang menggigil kedinginan sampai semua rambut tubuhnya berdiri. Ia menarik lehernya dan membungkukkan punggungnya sambil berkata, "Dinginnya." Tanpa sengaja pot hitam dalam bajunya pun terjatuh ke tanah. Terdengar samar-samar suara menggerutu yang menyedihkan: "Aduh, patahlah punggungku." Mendengar hal ini, Zhang meludah dua kali lalu mengambil pot hitam tersebut dan ingin segera berlari pergi dari sana, tetapi ia terlalu tua untuk berlari.

Dari belakang terdengar suara, "Paman Zhang, tunggu aku." Ketika melihat ke belakang, ia tidak melihat siapa-siapa dan bergumam, "Bagaimana mungkin siang begini ada hantu? Pasti ini pertanda hidupku tak lama lagi." Sambil berjalan ia berpikir demikian. Dengan susah payah akhirnya ia sampai di gubuknya kemudian segera membuka kunci pintu dan masuk ke dalam. Di dalam rumah, merasa kelelahan ia berkata pada dirinya sendiri, "Tidak peduli apakah itu hantu atau bukan, aku ingin tidur saja." Tiba-tiba terdengar suara meratap sedih, "Paman, kematianku sangat menyedihkan!" Zhang berseru, "Bagaimana mungkin bisa ada hantu di rumah ini?"

Orang tua aneh itu memiliki watak yang jujur dan lurus dan tidak takut akan hantu. Ia bertanya, "Kamu ceritakan saja, aku akan mendengarkan." Samar-samar suara itu bercerita, "Margaku Liu namaku Shichang. Aku tinggal di desa Ba Bao (Delapan Permata) di luar pintu gerbang prefektur Suzhou. Aku memiliki seorang ibu bermarga Zhou, istri bermarga Wang, dan anak berumur tiga tahun bernama Baisui. Aku berjualan kain sutra. Suatu hari dalam perjalanan pulang menaiki seekor keledai dengan bawaan yang berat, karena hari sudah malam aku menginap di rumah Zhao. Tak disangka suami istri Zhao sangat kejam, mereka membunuhku untuk mendapatkan harta bendaku, lalu mencampur daging dan darahku ke dalam lumpur yang kemudian dipanaskan untuk dibuat menjadi sebuah pot. Sekarang aku meninggalkan ibuku dan anak istri, tidak bisa bertemu mereka lagi. Di akhirat aku menjadi arwah penasaran yang tidak tenang. Mohon Paman mewakili diriku di hadapan Tuan Bao agar mengungkapkan ketidakadilan ini. Walaupun aku menjadi arwah penasaran di akhirat, aku akan sangat berterima kasih kepada Paman." Setelah berkata demikian, ia pun menangis keras.

Mendengar kisah sedih tersebut, Zhang merasa terpanggil jiwa ksatrianya dan dengan berani berkata, "Pot Hitam." "Iya, Paman." "Aku akan pergi melaporkan ketidakadilan yang kamu alami, namun karena takut Tuan Bao tidak meloloskan dakwaan, kamu harus ikut denganku." "Baik, mohon Paman segera pergi." Dalam hati Zhang sangat gembira lalu berpikir, "Aku pergi untuk melaporkan ketidakadilan, tetapi tidak khawatir Tuan Bao tidak percaya. Namun aku sudah tua dan ingatan mulai melemah, harus tetap mengingat nama dan tempat tinggalnya dengan baik." Oleh sebab itu, dengan berbagai cara ia berusaha mengingatnya.

Orang tua itu sangat bersemangat sehingga malamnya ia tidak bisa tidur dan sebelum matahari terbit, ia membawa pot hitam dengan bertumpu pada tongkat bambunya. Setelah menutup pintu rumahnya, ia berangkat menuju kabupaten Dingyuan. Begitu keluar rumah, angin dingin bertiup dan menggigilkan tubuhnya, apalagi matahari baru terbit. Jika bukan karena kebaikan hati Zhang, ia tidak akan menembus cuaca dingin untuk melaporkan ketidakadilan demi orang lain. Sesampainya di Dingyuan, hari masih terlalu pagi dan kantor pemerintah belum buka. Karena menggigil kedinginan, ia mencari tempat berlindung lalu duduk di atas lantai. Setelah berkali-kali menarik napas dengan mulutnya, barulah ia merasa hangat di tubuhnya. Orang tua itu merasa kembali bersemangat, lalu mengambil tongkat bambunya dan mengetukkannya pada pot hitam yang tergeletak di atas tanah sambil bernyanyi-nyanyi. Dengan suara keras ia menyanyikan "Bulan bersinar terang pada bulan kedelapan hari kelima belas." Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan Bao Zheng masuk ke ruang pengadilan.

Zhang segera membawa pot hitamnya dan berlari sambil berteriak, "Ketidakadilan!" Petugas yang sedang berjaga langsung melapor ke atasannya dan membawa Zhang masuk. Bao sambil duduk di kursinya bertanya, "Kamu mengalami ketidakadilan apakah? Katakanlah." Zhang mengatakan ia mendapatkan sebuah pot hitam dari keluarga Zhao di rawa Dong Ta dan bertemu dengan hantu yang menceritakan kisah hidupnya. "Pot hitam ini buktinya," katanya. Mendengar hal ini, Bao tidak menganggapnya sebagai cerita yang tidak jelas. "Pot hitam," panggilnya. Namun tidak ada jawaban. Bao memanggil kedua kalinya juga tidak dijawab. Melihat bahwa Zhang sudah tua dan mungkin agak pikun, Bao tidak menjadi marah. Ia kemudian menyuruh petugas mengusirnya keluar.

Di luar Zhang memanggil, "Pot hitam." "Ya, Paman." "Kamu menyuruhku melapor, tetapi kenapa kamu tidak ikut masuk?" "Karena di depan pintu, ada dewa pintu menghalangi, saya tidak berani masuk. Mohon Paman mewakili diriku menjelaskan hal ini," kata si pot hitam. Zhang kembali berteriak, "Ketidakadilan!" Petugas yang berjaga keluar dan memarahinya, "Orang tua, kamu masih tidak pergi juga! Kamu mau melaporkan apa lagi?" Zhang berkata, "Mohon kamu mewakiliku melaporkan kepada Tuan Bao: 'Pot hitam dihalangi dewa pintu sehingga tidak berani masuk'."

Petugas itu tidak punya pilihan lain selain melapor kembali kepada Bao. Bao kemudian menuliskan kata-kata pada selembar kertas lalu menyuruh petugas membakarnya di depan pintu. Zhang dipersilakan masuk kembali. Ia menaruh pot hitam di lantai lalu bersujud satu kali. Bao bertanya, "Kali ini bisakah ia menjawab?" "Bisa, Tuan." "Petugas, dengarkan kesaksiannya," perintah Bao. Petugas mengiyakan dan memasang telinga untuk mendengarkan. Kemudian ia memanggil, "Pot hitam." Namun tidak ada jawaban juga. Kali ini Bao naik pitam, "Kamu anjing keparat! Mulanya melihat kamu sudah tua, maka aku tidak menghukum kamu. Sekarang kamu masih berani melakukan hal ini, bukankah ingin mempermainkan aku?" Lalu ia memerintahkan memberi hukuman sepuluh kali pukulan. Tanpa banyak bicara, petugas menjalankan perintah tersebut. Sambil menggertakkan gigi, orang tua itu menahan hukuman pukulan. Kemudian dengan tertatih-tatih ia keluar sambil mendekap pot hitam dan memegang tongkat bambunya.

Berjalan melalui bayangan tembok, ia melempar pot hitam itu lalu berteriak, "Aiya, kakiku bengkak!" kemudian bertanya kepada pot hitam, "Aneh! Kamu kenapa tidak masuk lagi?" "Karena aku sama sekali telanjang, tidak baik bertemu dengan Dewa Bintang dalam keadaan telanjang demikian. Mau tidak mau, mohon sekali lagi Paman mewakiliku untuk menjelaskannya." Zhang berkata, "Aku sudah mewakili kamu menderita sepuluh pukulan. Sekarang jika mau pergi lagi, kedua kakiku ini pasti tidak bisa digunakan lagi." Pot hitam memohon dengan penuh iba. Zhang adalah orang yang lembut hatinya sehingga mau tidak mau kembali membawa pot hitam itu.

Namun ia tidak berani meneriakkan ketidakadilan, melainkan diam-diam menyelinap masuk dari pintu samping. Tampak seorang tukang masak datang dan melihat ia masuk lalu berteriak, "Ketua Hu, Ketua Hu, orang tua itu datang lagi." Ketua Hu sedang berbincang-bincang di penjara mengenai peristiwa tadi sambil tertawa terbahak-bahak. Ketika mendengar orang tua itu datang lagi, ia segera berlari keluar menarik si orang tua. Tetapi Zhang memiliki rencana, ia duduk di atas lantai dan berteriak bahwa ia diperlakukan semena-mena.

Bao mendengarnya lalu menyuruh ia dibawa masuk dan bertanya, "Orang tua, kamu ini kenapa datang lagi? Apakah kamu tidak takut dihukum pukul?" Ia menjawab, "Baru saja hamba keluar dan bertanya kepada pot hitam. Ia menjawab bahwa ia sama sekali telanjang dan tidak berani muncul di hadapan Dewa Bintang. Mohon Tuan memberikan pakaian untuk menutupi tubuhnya. Baru kemudian ia akan datang." Mendengar hal itu, Bao menyuruh Bao Xing membawakan pakaian dan Bao Xing segera membawakan sebuah mantel linen kemudian memberikannya kepada Zhang. Zhang lalu membawa pakaian itu keluar untuk dipakaikan. Petugas yang berjaga berkata, "Awasi dia! Jangan sampai ia mencuri pakaian itu!"

Tampak ia membungkus pot hitam dengan pakaian itu lalu membawanya dan dengan hati tidak tenang berkata, "Pot hitam, ikut aku masuk." Terdengar suara menjawab, "Ya, Paman, saya di sini." Mendengar hal ini, tenanglah hati si orang tua dan ia menyuruhnya masuk. Di dalam ruang pengadilan, ia menaruh pot hitam di tengah lalu ia menuju ke samping dan bersujud. Bao memerintahkan para petugas mendengarkan dengan seksama dan para petugas mengiyakan. Di antara para petugas itu ada yang mengatakan orang tua itu gila, ada yang mengatakan tuan mereka terlalu baik, dan ada yang menertawai. Termasuk Bao Xing yang berada di samping tidak dapat menahan tawa: "Tuan kami ikutan menjadi gila juga."

Bao memanggil, "Pot hitam!" Tak disangka dari dalam pakaian itu terdengar suara: "Ya, Dewa Bintang." Semua orang terkejut. Mendengar pot hitam dapat menjawab, Zhang tiba-tiba berdiri dan sangat gelisah ingin naik ke atas meja pengadilan. Petugas di kedua sisi menegurnya dan ia segera kembali berlutut. Bao menanyai Zhang dan ia menjawab seakan-akan menghafal pelajaran: ia bermarga apa dan bernama apa, tinggal di mana, keluarganya ada siapa saja, menjalankan usaha apa, bagaimana dibunuh, siapa yang mencelakainya, ia mengucapkannya dengan lancar tiada hentinya. Para petugas yang mendengarnya semua menghela napas panjang. Bao menyuruh Bao Xing memberikan sepuluh uang perak kepada Zhang lalu menyuruhnya pulang. Zhang mengucapkan banyak terima kasih kepada Bao lalu berjalan pulang.

Bao segera menyuruh seorang petugas membawa surat untuk memberitahukan keluarga Liu di Suzhou agar datang. Ia juga memerintahkan menangkap suami istri Zhao, namun keduanya walaupun ditanyai dengan keras tetap tidak mengaku. Bao bergumam sangat lama kemudian memerintahkan, "Bawa Zhao Da keluar, jangan pertemukan dengan istrinya Diao." Lalu ia memerintahkan Diao dibawa masuk ke ruang pengadilan dan berkata kepadanya, "Suamimu telah mengakui menjebak Liu Shichang dan semuanya adalah rencana kamu." Diao pun marah terhadap suaminya dan mengatakan Zhao menggunakan tali mencekik Liu. Ia juga mengatakan uang milik Liu belum dihabiskan dan masih ada di rumah mereka. Kemudian ia disuruh menandatangani pengakuan dan petugas diperintahkan untuk mengambil uang tersebut ke rumah Liu.

Zhao dibawa masuk kembali dan ditanyai tentang pengakuan istrinya, tetapi ia berhati keras dan tidak mengaku dengan mengatakan bahwa uang itu adalah hasil simpanannya. Bao marah dan memerintahkan membawa alat hukuman berupa sepasang kayu untuk menjepit kedua kakinya, tetapi ia masih tidak mengaku ketika ditanyai. Bao pun berteriak: "Lakukan!", tetapi tak disangka Zhao tidak dapat menahan tekanannya dan akhirnya tewas. Bao memerintahkan petugas mengurus jenazahnya dan membuat laporan ke prefektur yang kemudian meneruskannya ke ibukota.

Ketika keluarga Liu datang, Bao memberikan sisa uang yang belum digunakan kepada ibu dan istri Liu. Ia juga menjual harta benda Zhao dan uangnya diserahkan kepada keduanya untuk digunakan menyokong kehidupan mereka. Ibu dan istri Liu mengingat kebaikan kakek Zhang yang melaporkan ketidakadilan tersebut dan berharap dapat membawanya ke Suzhou untuk membalas budi dan merawatnya di masa tuanya serta untuk membesarkan anak Liu yang sekarang tidak punya ayah. Ketika semuanya telah dibicarakan dan disepakati, mereka pun bersama-sama berangkat menuju Suzhou.

(Bersambung)

Catatan kaki:

 * Satuan berat yang juga menjadi satuan mata uang terkecil pada masa Cina kuno, kira-kira sama dengan 3,8 gram dan senilai dengan 1/10 nilai mata uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun