Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kisah Hakim Bao dan Para Pendekar Penegak Keadilan (Bagian 5)

1 Februari 2018   21:47 Diperbarui: 11 September 2018   13:04 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sampai di pintu gerbang rumah Zhao, ia melihat bangunannya sepenuhnya baru dan tidak berani mengetuk pintu. Setelah bertanya kepada tetangga, ia baru menyadari bahwa Zhao Da telah menjadi orang kaya dan dikenal sebagai "Tuan Zhao Da". Orang tua itu merasa tidak senang dan berpikir, "Anak muda Zhao Da ini mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain dengan cara tidak membayar kembali uang kayu bakarnya. Bagaimana ia bisa menjadi kaya?" Lalu ia mengetuk pintu gerbang itu dan memanggil, "Zhao Da! Zhao Da!" Dari dalam terdengar suara orang menjawab, "Siapa? Ini bukan rumah Zhao Da, tetapi rumah Zhao Er." Ketika pintu terbuka, Zhang San melihat Zhao Da yang memakai pakaian dan penutup kepala yang begitu cerah, berbeda dengan kondisinya yang dulu. Zhao melihat Zhang dan mengenalinya, "Ternyata kakak Zhang."

Zhang berkata, "Walaupun dulu kamu sedikit dekat denganku sehingga dianggap sebagai saudara, tetapi kamu berhutang uang kayu bakar padaku. Kamu harus membayarnya sekarang." Zhao menjawab, "Kenapa begitu terburu-buru? Silahkan kakak duduk dulu di dalam." "Tidak perlu, aku tidak membawa uang." "Apa maksud kakak?" "Jika aku kaya, mungkinkah aku datang menagih hutang?"

Saat itu dari dalam tampak seorang wanita yang berpakaian sangat menawan muncul dan bertanya, "Tuan, kamu berbicara dengan siapa?" Melihatnya, Zhang berseru, "Cukup, Zhao Da, ternyata kamu melakukan pekerjaan kotor untuk menjadi kaya." "Jangan berkata yang tidak-tidak. Ia adalah istriku," protes Zhao lalu ia mengenalkan Zhang kepada istrinya, "Ia bukan orang lain, melainkan kakak Zhang San yang datang berkunjung." Wanita itu maju ke depan memberikan penghormatan, tetapi Zhang berkata, "Maaf, punggungku sakit sehingga aku tidak bisa membalas sopan santun anda." Zhao pun berkata, "Ini adalah kesalahan istriku, kakak masuk dan duduklah dulu."

Zhang masuk ke dalam rumah dan melihat banyak sekali pot bertumpuk di dalam. Setelah masing-masing mengambil tempat duduknya, Zhao menyuruh istrinya menuangkan teh. Namun Zhang menolak, "Aku tidak minum teh, kamu tidak usah repot-repot. Kamu cukup bayar kembali hutang empat ratus mata uang kepadaku." "Kakak tenang saja, aku tidak mungkin tidak membayarnya," kata Zhao yang kemudian memberikan empat ratus mata uang kepada Zhang. Zhang mengambil uang tersebut lalu memasukkannya ke dalam bajunya. Ia berdiri dan berkata, "Bukannya aku menginginkan hal kecil, tetapi aku sudah tua dan sering terbangun tengah malam untuk buang air. Kamu berikan aku sebuah pot kecil sebagai ganti rugi. Mulai sekarang kita putus hubungan, tidak saling mengenal lagi, bagaimana?"  "Mengapa kamu melakukan ini? Ambillah salah satu pot ini," jawab Zhao. Lalu Zhang mengambil sebuah pot hitam yang menarik menurutnya dan memasukkannya ke dalam bajunya. Seketika ia langsung pergi tanpa berpamitan kepada tuan rumah.

Rawa Dong Ta berjarak tiga li jauhnya dari daerah Xiao Sha. Hati Zhang tidak tenang sepanjang perjalanan, apalagi sekarang memasuki akhir musim gugur dan matahari akan terbenam di balik gunung. Zhang memasuki sebuah hutan ketika telinganya mendengar suara angin musim gugur mendesir dan menyebabkan dedaunan berguguran. Tiba-tiba angin topan bertiup membuat Zhang menggigil kedinginan sampai semua rambut tubuhnya berdiri. Ia menarik lehernya dan membungkukkan punggungnya sambil berkata, "Dinginnya." Tanpa sengaja pot hitam dalam bajunya pun terjatuh ke tanah. Terdengar samar-samar suara menggerutu yang menyedihkan: "Aduh, patahlah punggungku." Mendengar hal ini, Zhang meludah dua kali lalu mengambil pot hitam tersebut dan ingin segera berlari pergi dari sana, tetapi ia terlalu tua untuk berlari.

Dari belakang terdengar suara, "Paman Zhang, tunggu aku." Ketika melihat ke belakang, ia tidak melihat siapa-siapa dan bergumam, "Bagaimana mungkin siang begini ada hantu? Pasti ini pertanda hidupku tak lama lagi." Sambil berjalan ia berpikir demikian. Dengan susah payah akhirnya ia sampai di gubuknya kemudian segera membuka kunci pintu dan masuk ke dalam. Di dalam rumah, merasa kelelahan ia berkata pada dirinya sendiri, "Tidak peduli apakah itu hantu atau bukan, aku ingin tidur saja." Tiba-tiba terdengar suara meratap sedih, "Paman, kematianku sangat menyedihkan!" Zhang berseru, "Bagaimana mungkin bisa ada hantu di rumah ini?"

Orang tua aneh itu memiliki watak yang jujur dan lurus dan tidak takut akan hantu. Ia bertanya, "Kamu ceritakan saja, aku akan mendengarkan." Samar-samar suara itu bercerita, "Margaku Liu namaku Shichang. Aku tinggal di desa Ba Bao (Delapan Permata) di luar pintu gerbang prefektur Suzhou. Aku memiliki seorang ibu bermarga Zhou, istri bermarga Wang, dan anak berumur tiga tahun bernama Baisui. Aku berjualan kain sutra. Suatu hari dalam perjalanan pulang menaiki seekor keledai dengan bawaan yang berat, karena hari sudah malam aku menginap di rumah Zhao. Tak disangka suami istri Zhao sangat kejam, mereka membunuhku untuk mendapatkan harta bendaku, lalu mencampur daging dan darahku ke dalam lumpur yang kemudian dipanaskan untuk dibuat menjadi sebuah pot. Sekarang aku meninggalkan ibuku dan anak istri, tidak bisa bertemu mereka lagi. Di akhirat aku menjadi arwah penasaran yang tidak tenang. Mohon Paman mewakili diriku di hadapan Tuan Bao agar mengungkapkan ketidakadilan ini. Walaupun aku menjadi arwah penasaran di akhirat, aku akan sangat berterima kasih kepada Paman." Setelah berkata demikian, ia pun menangis keras.

Mendengar kisah sedih tersebut, Zhang merasa terpanggil jiwa ksatrianya dan dengan berani berkata, "Pot Hitam." "Iya, Paman." "Aku akan pergi melaporkan ketidakadilan yang kamu alami, namun karena takut Tuan Bao tidak meloloskan dakwaan, kamu harus ikut denganku." "Baik, mohon Paman segera pergi." Dalam hati Zhang sangat gembira lalu berpikir, "Aku pergi untuk melaporkan ketidakadilan, tetapi tidak khawatir Tuan Bao tidak percaya. Namun aku sudah tua dan ingatan mulai melemah, harus tetap mengingat nama dan tempat tinggalnya dengan baik." Oleh sebab itu, dengan berbagai cara ia berusaha mengingatnya.

Orang tua itu sangat bersemangat sehingga malamnya ia tidak bisa tidur dan sebelum matahari terbit, ia membawa pot hitam dengan bertumpu pada tongkat bambunya. Setelah menutup pintu rumahnya, ia berangkat menuju kabupaten Dingyuan. Begitu keluar rumah, angin dingin bertiup dan menggigilkan tubuhnya, apalagi matahari baru terbit. Jika bukan karena kebaikan hati Zhang, ia tidak akan menembus cuaca dingin untuk melaporkan ketidakadilan demi orang lain. Sesampainya di Dingyuan, hari masih terlalu pagi dan kantor pemerintah belum buka. Karena menggigil kedinginan, ia mencari tempat berlindung lalu duduk di atas lantai. Setelah berkali-kali menarik napas dengan mulutnya, barulah ia merasa hangat di tubuhnya. Orang tua itu merasa kembali bersemangat, lalu mengambil tongkat bambunya dan mengetukkannya pada pot hitam yang tergeletak di atas tanah sambil bernyanyi-nyanyi. Dengan suara keras ia menyanyikan "Bulan bersinar terang pada bulan kedelapan hari kelima belas." Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan Bao Zheng masuk ke ruang pengadilan.

Zhang segera membawa pot hitamnya dan berlari sambil berteriak, "Ketidakadilan!" Petugas yang sedang berjaga langsung melapor ke atasannya dan membawa Zhang masuk. Bao sambil duduk di kursinya bertanya, "Kamu mengalami ketidakadilan apakah? Katakanlah." Zhang mengatakan ia mendapatkan sebuah pot hitam dari keluarga Zhao di rawa Dong Ta dan bertemu dengan hantu yang menceritakan kisah hidupnya. "Pot hitam ini buktinya," katanya. Mendengar hal ini, Bao tidak menganggapnya sebagai cerita yang tidak jelas. "Pot hitam," panggilnya. Namun tidak ada jawaban. Bao memanggil kedua kalinya juga tidak dijawab. Melihat bahwa Zhang sudah tua dan mungkin agak pikun, Bao tidak menjadi marah. Ia kemudian menyuruh petugas mengusirnya keluar.

Di luar Zhang memanggil, "Pot hitam." "Ya, Paman." "Kamu menyuruhku melapor, tetapi kenapa kamu tidak ikut masuk?" "Karena di depan pintu, ada dewa pintu menghalangi, saya tidak berani masuk. Mohon Paman mewakili diriku menjelaskan hal ini," kata si pot hitam. Zhang kembali berteriak, "Ketidakadilan!" Petugas yang berjaga keluar dan memarahinya, "Orang tua, kamu masih tidak pergi juga! Kamu mau melaporkan apa lagi?" Zhang berkata, "Mohon kamu mewakiliku melaporkan kepada Tuan Bao: 'Pot hitam dihalangi dewa pintu sehingga tidak berani masuk'."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun