Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kisah Hakim Bao dan Para Pendekar Penegak Keadilan (Bagian 5)

1 Februari 2018   21:47 Diperbarui: 11 September 2018   13:04 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Setelah berkata demikian, Bao memerintahkan membawakan meja pendek, alat tulis dan batu tinta. Para petugas lalu menyiapkan yang diminta. Tampak kesembilan orang tukang kayu itu masing-masing berusaha memikirkan model yang bagus. Siapakah yang tidak mau memenangkan hadiah tersebut! Di antara para tukang kayu itu terdapat orang yang sudah terbiasa menggunakan ranting bambu, namun tidak memegang alat tulis di bagian atasnya; ada juga yang dengan gemetaran berusaha menggambar dengan baik sebelum akhirnya bisa menenangkan diri dan menyelesaikan gambarnya. Bao duduk mengawasi mereka dengan cermat. Tak lama kemudian, seluruh gambar telah diselesaikan dan satu per satu dikumpulkan. Bao memeriksanya satu per satu, sampai melihat sebuah gambar dan bertanya kepada tukang kayu yang menggambarnya: "Siapakah nama kamu?" Orang itu menjawab, "Nama hamba Wu Liang."  Bao berkata kepada para tukang kayu lainnya, "Kalian boleh pergi, tetapi Wu Liang harus dibawa ke ruang sidang." Para petugas mengiyakan dan memukul genderang sebagai tanda Bao naik ke atas meja pengadilan.

Bao mengambil tempat duduknya, memukul meja dengan sebatang kayu [yaitu palu hakim pada masa itu] satu kali untuk menakuti tersangka, dan berseru, "Wu Liang, mengapa kamu membunuh bhiksu itu? Katakan sejujurnya! Jika tidak, kamu akan mendapatkan hukuman siksaan." Wu Liang dengan ketakutan berkata, "Hamba mencari nafkah dengan menjadi seorang tukang kayu dan merasa berkecukupan dengan pekerjaan hamba, mengapa hamba harus membunuh orang? Mohon Tuan menyelidikinya dengan seksama." Bao berkata, "Tampaknya kamu tidak akan mengakuinya. Petugas, kalian segera pergi ke aula Qielan membawa dewa Qielan dengan hati-hati ke sini!" Para petugas pengadilan segera melaksanakan perintah dan pergi ke aula Qielan.

Tak lama kemudian, mereka membawa patung dewa Qielan ke ruang pengadilan. Orang-orang melihat patung dewa Qielan dari tanah liat diangkut ke kantor pemerintahan kabupaten untuk diadili, siapa yang tidak mau melihat hal yang aneh tersebut. Kemudian Bao meninggalkan kursinya, menyambut kedatangan patung tersebut, lalu menanyainya mengenai perkara ini. Para petugas pengadilan melihat hal ini, tidak dapat menahan tawanya, termasuk Bao Xing yang dalam hati bertanya, "Apa yang sedang dilakukan Tuan kami?"

Bao kembali ke kursinya dan berkata, "Wu Liang, baru saja dewa memberitahu bahwa kamu pada waktu melakukan kejahatan meninggalkan jejak di belakangnya. Pergilah melihatnya." Para petugas membawa Wu Liang melihatnya. Terlihat di belakang patung dewa itu di bagian bawah bahunya ada jejak telapak tangan kiri berjari enam. Siapa sangka ternyata tangan kanan Wu Liang memiliki enam jari dan setelah dibandingkan, sedikit pun tidak salah. Wu Liang ketakutan setengah mati. Orang-orang sangat keheranan dan bertanya-tanya, "Pejabat ini benar-benar seorang dewa, bagaimana mungkin ia mengetahui Wu Liang adalah pembunuhnya?" Mereka tidak tahu bahwa pada waktu Bao berada di kuil itu untuk menyelidiki, di lantai ia menemukan sebuah benda yang tak lain adalah sebuah penggaris saku tukang kayu. Ia juga melihat di belakang patung dewa Qielan terdapat jejak berlumuran darah dari telapak tangan berjari enam. Oleh sebab itu, terpikirkan olehnya pasti jejak tangan dari seorang tukang kayu.

Para petugas membawa kembali Wu Liang dan membuatnya berlutut di hadapan Bao. Bao memukul meja satu kali dan berseru, "Sekarang sudah ada bukti yang jelas, masihkah kamu tidak mengaku?" Para petugas yang kembali ke tempatnya menakut-nakuti dengan berteriak, "Segera mengakulah! Segera mengakulah!" Wu Liang langsung berkata, "Tuan jangan marah, hamba akan mengaku." Petugas pencatat kasus pengadilan yang berada pada satu sisi menuliskan pengakuannya.

Wu Ling bercerita, "Hamba dulu berteman baik dengan bhiksu dari kuil itu. Bhiksu itu suka minum dan hamba juga seorang pemabuk. Hari itu sang bhiksu mengajak hamba minum, siapa sangka ia langsung mabuk. Hamba menyarankannya menerima seorang murid agar kelak tidak kesulitan ketika menerima buah karma buruknya. Ia berkata, 'Sekarang sangat sulit bagiku untuk mendapatkan seorang murid. Bahkan jika karma burukku berbuah kelak, aku tidak takut karena selama beberapa tahun berusaha, aku telah menyimpan lebih dari dua puluh uang perak.' Ia karena mabuk dan tidak sadar mengucapkan hal ini. Hamba pun bertanya, 'Di mana kamu telah menyimpan uang perakmu? Jika hilang, bukankah akan menyia-nyiakan beberapa tahun usahamu?'. Ia menjawab, 'Uang perakku itu tidak akan hilang, karena disimpan di tempat yang tidak akan diduga orang-orang.' Hamba bertanya kembali, 'Sebenarnya kamu menyimpannya di mana?' Ia berkata, 'Kita berdua adalah teman baik. Aku memberitahu kamu, tetapi kamu tidak boleh memberitahu orang lain.' Ia mengatakan telah menyembunyikan uang peraknya di dalam kepala patung dewa Qielan. Hamba seketika memikirkan rencana jahat ketika mendengar tentang uang itu. Melihat ia semakin mabuk, hamba ingin menggunakan kapak hamba untuk membunuhnya. Tuan, hamba hanya pernah memotong kayu dengan kapak itu sebelumnya dan tidak pernah menggunakannya untuk memotong orang. Hantaman pertama tidak membunuhnya karena baru pertama kali melakukannya sehingga genggaman tanganku tidak kuat. Ia berusaha merebut kapak itu dari tangan hamba. Hamba menjatuhkannya dan memukulnya bertubi-tubi dengan kapak hingga ia tewas. Tangan hamba berlumuran darah. Hamba naik ke atas meja altar, tangan kiri berpegangan pada belakang patung, dan tangan kanan mencungkil keluar uang perak dari kepala patung. Hamba tidak menyadari telah meninggalkan jejak tangan kiri pada patung tersebut. Sekarang para dewa telah mengungkapkannya, hamba benar-benar sial."

Setelah mendengarkan pengakuan Wu Liang, Bao seketika mengeluarkan sebuah penggaris saku dan memperlihatkannya kepada Wu Liang. Ia mengenali itu sebagai barangnya yang ia jatuhkan ketika mengeluarkan kapak. Bao memerintahkan ia dihukum dan dimasukkan ke penjara. Shen Qing yang telah mendapatkan tuduhan salah dibebaskan dan mendapat ganti rugi sepuluh uang perak.

Ketika Bao akan menutup persidangan, tiba-tiba terdengar suara pukulan genderang yang disertai teriakan menuntut keadilan. Bao segera memerintahkan orang itu masuk. Dari pintu samping datanglah dua orang, yang satu berusia sekitar dua puluh tahun, satu lagi kurang lebih empat puluhan tahun. Masuk ke ruang sidang, keduanya berlutut. Yang muda berkata, "Hamba bernama Kuang Bizheng, memiliki seorang paman yang membuka toko kain sutera bernama Kuang Tianyou. Paman hamba memiliki sebuah gantungan batu karang yang beratnya delapan qian*, yang hilang tiga tahun yang lalu dan tidak ditemukan. Tak disangka hari ini hamba bertemu orang ini yang di pinggangnya mengenakan barang yang sama persis. Hamba mulanya ingin meminjam dan melihatnya karena takutnya salah mengenali barang tersebut. Namun orang ini bukan hanya tidak meminjamkan, tetapi juga menuduh hamba mengancam dirinya dan tidak melepaskan hamba. Mohon Tuan menyelidikinya."

Orang yang lebih tua berkata, "Saya bermarga Lu dan bernama Pei, hari ini bertemu dengan anak muda ini yang menghentikanku di tengah jalan. Ia mengatakan gantungan batu karang di pinggangku adalah miliknya. Di siang bolong ia menghadang jalan orang lain dan memukuliku, anak muda ini benar-benar kurang ajar! Mohon Tuan memberikan keadilan bagi diriku."

Bao setelah mendengarkan hal ini, mengambil gantungan batu karang itu dan melihatnya. Benda itu benar-benar terbuat dari batu karang merah yang bercahaya cemerlang. Bao kemudian bertanya kepada Kuang Bizheng, "Kamu baru saja mengatakan berat gantungan ini berapa qian?" Kuang menjawab, "Beratnya delapan qian. Banyak barang yang sangat mirip dan mungkin hamba salah mengenalinya sebagai barang milik paman hamba, tetapi hamba tidak pernah mengancam orang." Bao bertanya kepada Lu Pei, "Kamu tahu barang ini berapakah beratnya?" Lu menjawab, "Gantungan ini pemberian teman saya, saya tidak tahu beratnya."

Bao menyuruh Bao Xing membawakan timbangan dan menimbang beratnya, ternyata benar beratnya delapan qian. Ia berkata kepada Lu Pei, "Gantungan ini beratnya persis seperti yang dikatakan anak muda ini dan pasti adalah miliknya." Lu Pei memprotes, "Aiya, Tuan! Gantungan ini benar-benar milik saya, teman saya yang memberikannya. Mengapa saya harus memberikannya kepada orang ini? Saya tidak akan berbohong."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun