Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Hakim Bao dan Para Pendekar Penegak Keadilan (Bagian 3)

3 Juli 2016   13:33 Diperbarui: 15 Februari 2018   23:58 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bao Xing menjawab, “Karena kami berdua terburu-buru mengadakan perjalanan, berangkat pagi-pagi sekali, sehingga tidak dapat mengenali jalan. Sekarang kami mendatangi rumah kakek untuk menginap dan menanti hari terang baru melanjutkan perjalanan lagi.” Kakek tua itu melihat Bao Zheng adalah seorang sarjana, juga melihat Bao Xing berpakaian seperti pelajar, kemudian berkata, “Jika demikian, silahkan duduk di dalam.”

Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah tersebut, yang di dalamnya terdapat sebuah gerinda, beserta penampung yang untuk mengumpulkan sesuatu. Ternyata kakek itu bekerja menjual tahu. Di sebelahnya ada tempat tidur dari batu bata yang bisa dihangatkan. Kakek itu menyuruh Bao Zheng duduk di sana.

Bao Zheng bertanya, “Siapakah nama kakek?” Kakek itu menjawab, “Aku bermarga Meng, memiliki seorang istri, tidak memiliki anak, bekerja menjual tahu.”

Bao Xing berkata, “Apakah kakek ada air panas, saya meminta secangkir untuk minum.” Kakek itu menjawab, “Kami di sini hanya ada air tahu yang sudah selesai dibuat dan baru keluar dari ketel.”

Bao Xing berkata, “Itu lebih baik daripada tidak ada.” Kakek Meng pun berkata, “Tunggu saya membawakan lentera dan memberikan kalian secangkir air tahu.”

Setelah berkata demikian, dari dalam dinding mengeluarkan sebuah meja berkaki tiga dan meletakkannya di tempat tidur, lalu menggunakan batu bata untuk mengganjal kaki satunya lagi. Kemudian ia membuka kain tirai tua di sampingnya, masuk ke dalam mengambil sebuah tempat lilin dari tanah liat kuning, lalu mencari sesuatu dari dalam sebuah keranjang dan tak lama kemudian menemukan sebuah lilin, menyalakan lampu minyak, menempatkannya pada meja kecil itu. Bao Xing berkomentar, “Di desa kecil ini ternyata ada lilin sebesar lengan tangan.”

Ia melihat dengan seksama lilin itu, yang secara samar-samar berwarna hijau, di atasnya terdapat tulisan “Jalan Gelap”, dan baru memahami kakek itu memakai lilin bekas upacara kematian. Kakek Meng mau tidak mau harus memakainya untuk menyambut tamu tersebut.

Kemudian kakek Meng dari dapur membawakan sebuah mangkuk dari tanah liat kuning, membersihkannya dengan air, mengambil semangkuk air tahu yang berwarna putih bersih dan masih hangat, memberikannya kepada Bao Xing. Ketika Bao Xing ingin memberikannya kepada Bao Zheng, air tahu itu berbau wangi dan manis tiada bandingnya. Bao Xing melihatnya tidak dapat menahan diri sangat menginginkannya. Kemudian kakek Meng memberikan satu mangkuk lagi kepada Bao Xing. Bao Xing segera menerimanya dan meminum minuman manis itu. Kedua orang itu sangat kelelahan semalaman, juga ketakutan, sekarang berada di dalam rumah gubuk jerami itu, seakan-akan seperti di surga, meminum air tahu itu tidak ada bedanya seperti meminum minuman surgawi.

Tak lama kemudian mereka menghabiskan air tahu itu. Kakek Meng membuatkan air garam dan memberikan mereka masing-masing semangkuk. Setelah kelaparan dan kehausan, mereka dapat makan dan menghangatkan diri dan merasa sangat bergembira. Mereka berbincang-bincang dengan kakek Meng, lalu menanyakan jalan, dan mengetahui dari kota Sanyuan masih ada kurang lebih dua puluh li jaraknya.

Ketika sedang berbincang-bincang, tiba-tiba melihat nyala api dari langit. Kakek Meng keluar untuk melihat. Dari arah tenggara muncul cahaya merah, yang menurut arahnya tampaknya Kuil Naga Emas mengalami kebakaran. Bao Zheng dan Bao Xing juga keluar melihat, dalam hati mengetahui bahwa itu pasti perbuatan sang pahlawan, kemudian bertanya kepada kakek Meng, “Ini ada kebakaran di mana?”

Kakek Meng menjawab, “Kalian berdua tidak mengetahui, Kuil Naga Emas ini setelah kematian bhiksu tua, meninggalkan dua orang murid yang tidak bermoral, sering membunuh orang, dan merampas para wanita. Dibandingkan para perampok yang membunuh dan membakar, mereka masih lebih kejam! Tak disangka hari ini mereka mendapatkan ganjarannya.” Setelah berkata demikian, mereka masuk ke dalam rumah untuk beristirahat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun