Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Hakim Bao dan Para Pendekar Penegak Keadilan (Bagian 3)

3 Juli 2016   13:33 Diperbarui: 15 Februari 2018   23:58 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu hari mereka tiba di sebuah penginapan di sebuah kota kecil. Mereka tuan dan pelayan berdua mencari rumah makan. Bao Xing mengurus kuda dan menyerahkannya kepada pelayan. Setelah menemukan tempat duduk, Bao Zheng duduk di depan, Bao Xing duduk di samping. Walaupun hubungan keduanya adalah tuan dan pelayan, tetapi karena pergi ke tempat lain dan tidak ada orang lain, mereka makan bersama-sama. Pelayan rumah makan datang meletakkan cangkir dan sumpit dan menyediakan hidangan pembuka. Bao Zheng memesan sebotol arak dan dua piring hidangan. Bao Xing menuangkan arak. Bao Zheng baru saja akan minum ketika melihat di meja seberang muncul seorang pendeta Taois duduk, memesan satu botol arak. Orang itu seperti sedang memikirkan sesuatu,  ketika mengambil botol untuk menuangkan arak tidak ke arah tengah cangkir sehingga jatuh dari meja menimbulkan suara gaduh. Ia menghela napas panjang dan tampaknya ada beban pikiran.

Bao Zheng sedang kebingungan. Tiba-tiba terlihat dari luar masuklah seseorang, yang berpakaian seperti orang dunia persilatan, menunjukkan semangat seorang pahlawan, dan wajahnya memancarkan sifat kepahlawanan. Pendeta Taois itu melihatnya segera berdiri dan berkata, “Tuan penolong silahkan duduk.” Orang itu tidak duduk, namun dari kantong dadanya mengeluarkan sekeping uang perak dan memberikannya kepada pendeta Taois tersebut, dengan berkata, “Untuk saat ini bawalah pergi uang perak ini, tunggu waktu malam bertemu lagi.” Pendeta Taois itu berdiri kemudian bersujud, pergi keluar dari penginapan.

Bao Zheng melihat orang itu kira-kira berusia dua puluh tahun. Pembawaannya bermartabat, yang membuat orang menghormatinya. Ia kemudian berdiri dan menjabat tangan di depan dada sambil berkata, “Saudara, silahkan. Jika berkenan, kenapa tidak mampir untuk berbincang bersama ke sini.” Orang itu melihat Bao Zheng dari atas ke bawah, tersenyum dan berkata, “Saya tidak berani menerima kebaikan anda.”

Bao Xing segera berdiri, menambah cangkir dan sumpit, memesan lagi satu botol arak dan dua piring hidangan, serta mengisi penuh arak pada sebuah cangkir. Bao Xing berada di samping menunggu perintah dan tidak berani duduk. Bao Zheng mempersilahkan orang itu duduk bersamanya, lalu bertanya, “Siapakah nama saudara?” Orang itu menjawab, “Saya bermarga Zhan bernama Zhao, yang disebut juga Xiongfei.” Kemudian Bao Zheng juga memperkenalkan marga dan namanya. Dua orang ini seorang sarjana dan seorang dari dunia persilatan, berbincang-bincang, sampai tak terasa menghabiskan beberapa botol arak.

Zhan Zhao kemudian berkata, “Saya memiliki beberapa urusan kecil, tidak dapat menemani senior lagi, lain hari kita bertemu kembali.” Setelah berkata demikian, ia membayar tagihan kepada pelayan. Bao Zheng tidak menolak, Bao Xing diam-diam berkata, “Tuan Ketiga kita mulutnya diolesi dengan kapur [orang yang hanya makan dan minum tanpa membayar].”Orang itu langsung pergi. Bao Zheng tidak dapat menebak ia orang yang seperti apa.

Selesai makan, kedua majikan dan pelayan itu melanjutkan perjalanannya lagi. Karena di dalam penginapan menghabiskan banyak waktu, hari pun menjelang malam dan mereka tidak mengetahui rute perjalanan lagi. Tiba-tiba melihat seorang anak penggembala lewat. Bao Xiang maju dan bertanya, “Kakak penggembala, di sini daerah apa?” Penggembala itu menjawab, “Melalui barat daya dua puluh li terdapat kota kecil Sanyuan, suatu tempat yang besar. Saat ini kalian berjalan di jalan yang salah. Di sini adalah Zhengxi. Jika kalian berbalik arah, masih ada tidak kurang tiga puluh li jaraknya!”

Bao Xing melihat hari sudah malam dan bertanya, “Di depan apakah ada penginapan?” Penggembala itu menjawab, “Di depan dikenal sebagai Desa Pasir Kecil, tidak ada penginapan sama sekali. Kalian terpaksa harus mencari rumah orang untuk beristirahat.” Setelah berkata demikian, penggembala itu segera pergi menghalau sapi dan kambingnya.

Bao Xing melaporkan hal ini kepada Bao Zheng. Mereka pun segera menuju Desa Pasir Kecil. Setelah berjalan lama, mereka melihat di samping jalan terdapat sebuah kuil. Papan nama yang terpasang bertuliskan: “Kuil Naga Emas yang didirikan atas perintah kaisar untuk melindungi negara”. Bao Zheng berkata, “Lebih baik daripada menginap di rumah orang, kita menginap di kuil ini satu malam. Besok kita berderma sejumlah uang ke kuil ini. Bukankah ini lebih baik.”

Bao Xing turun dari kuda dan mengetuk pintu kuil itu. Dari dalam keluarlah seorang bhiksu, yang menanyakan asal usul mereka, lalu mempersilahkan masuk. Bao Xing mengikatkan kudanya dan memberi makan kuda di atas palung kuda. Bhiksu itu mengizinkan masuk ke aula kecil Yuntang dan mempersilahkan mereka duduk lalu menawarkan teh. Bhiksu itu menanyakan tempat asal Bao dan nama keluarganya dan mengetahui ia adalah calon peserta ujian negara yang sedang menuju ibukota. Bao Zheng bertanya, “Siapakah nama bhiksu?” Bhiksu itu menjawab, “Nama Buddhis-ku adalah Fa Ben, selain itu terdapat adik seperguruanku bernama Fa Ming. Kami berdua mengurus kuil ini.” Setelah berkata demikian, ia memohon diri keluar ruangan.

Seketika seorang bhiksu kecil datang menyajikan makanan vegetarian yang hanya terdiri dari sayuran. Mereka berdua menghabiskan santapan tersebut. Hari pun sudah larut. Bao Zheng menyuruh Bao Xing membawa peralatan makan ke dapur agar bhiksu kecil itu tidak perlu berjalan bolak-balik. Bao Xing pun segera membawa pergi peralatan makan itu. Karena tidak mengetahui dapur di mana, ia keluar dari aula kecil Yuntang, masuk ke ruang meditasi, tak sengaja melihat beberapa wanita cantik yang berpakaian indah sedang bersama-sama tertawa sambil berkata, “Di sebelah barat aula kecil Yuntang ada tamu menginap, kita pergi lewat samping saja.” Bao Xing tidak dapat bersembunyi di mana pun, maka tidak ada jalan lain harus berbalik arah. Ketika mereka telah pergi, baru kemudian ia pergi ke dapur mengembalikan peralatan makan. Segera setelah kembali ke kamar, ia memberitahukan Bao Zheng dan khawatir kuil ini tidak aman.

Baru berkata demikian, datanglah bhiksu kecil membawa sebuah lentera pada tangan kirinya, sedangkan tangan kanan membawa sebuah kendi teh. Ia masuk ke dalam dengan mata penuh tipu daya, meletakkan lentera dan menaruh kendi teh di atas meja. Dengan penuh kelicikan ia melihat ke sekitarnya, lalu tanpa berkata apa-apa langsung pergi. Bao Xing melihat hal ini, berkata, “Gawat! Orang ini pasti pencuri kuil!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun