Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Hakim Bao dan Para Pendekar Penegak Keadilan (Bagian 3)

3 Juli 2016   13:33 Diperbarui: 15 Februari 2018   23:58 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

KISAH HAKIM BAO DAN PARA PENDEKAR PENEGAK KEADILAN

BAGIAN 3 – BAO DISELAMATKAN SEORANG PAHLAWAN DI KUIL NAGA EMAS

Mulailah Bao bersekolah pada hari itu. Setelah melakukan tata krama, Guru Ning masuk dan duduk di posisi guru, sedangkan Bao duduk di posisi murid. Sang guru menuliskan kalimat sambil berkata, “Jalan pembelajaran besar....” Bao pun menjawab, “Adalah untuk menerangi kebajikan terang.” Sang guru kembali berkata, “Aku mengatakan ‘Jalan pembelajaran besar…’.” Bao menjawab lagi, “Benar, bukankah kata-kata berikutnya adalah ‘adalah untuk menerangi kebajikan terang’?”

“Katakan lagi,” perintah Guru Ning. Bao pun menjawab, “Untuk memperbaiki orang-orang, untuk sampai pada kebaikan.” Sang guru sangat terkejut lalu menyuruhnya meneruskannya lagi dan semuanya tidak ada yang salah satu huruf pun.* Ia mencurigai ada orang yang mengajari Bao di rumah atau pernah mendengar orang dalam keluarganya mempelajarinya. Siapa yang menyangka apa pun buku yang diajarkan kepadanya semuanya dapat diketahui oleh Bao. Ketika diajarkan satu kalimat, ia mengetahui kalimat selanjutnya seakan-akan mengulangi buku yang pernah ia baca.

Ini membuat sang guru sangat terheran-heran dan bergumam sendiri, “Di dunia ini sangat banyak anak yang cerdas, sekarang ada anak ini yang kelak akan menjadi terkemuka. Ini seperti yang dikatakan Mencius (Mengzi atau Meng-tse): ‘Memiliki anak muda berbakat sebagai murid untuk diajarkan dan dididik adalah suatu kebahagiaan’.” Ia kemudian memberikan nama resmi “Zheng” kepada Bao, yang berarti kelak akan menyelamatkan (zheng) orang-orang dari kesengsaraan. Ia juga memberikan nama “Wenzheng” yang terdiri dari kata “baik” (wen) dan “jujur” (zheng) yang membentuk kata “pemerintah” dalam bahasa Mandarin, yang bermakna kelak akan menjadi seorang pejabat jujur yang mengurus pemerintahan dengan baik.

Tak terasa lima tahun telah berlalu. Bao Zheng kini sudah berusia empat belas tahun dan telah menguasai semua ilmu pemerintahan, tidak perlu dikatakan tentang kemampuannya dalam hal kesusasteraan. Gurunya selalu mendorongnya mengikuti ujian, tetapi ayahnya Tuan Bao sangat berhemat dan takut harus menghabiskan banyak uang untuk membiayai Bao Zheng ikut ujian. Oleh karena itu, kakak pertama Bao Shan sering berkata kepada Tuan Bao, “Biarkanlah San Hei mengikuti ujian, jika ia bisa naik satu tingkat juga adalah sesuatu yang bagus.” Tuan Bao tetap tidak mengizinkannya. Akhirnya kakak pertama menemui Guru Ning dan berkata, “Umur adik ketiga masih muda, menunda waktu sampai menjelang periode ujian berikutnya juga tidak apa-apa.”

Beberapa tahun berlalu, kini Bao sudah berusia enam belas tahun. Tahun ini kebetulan diadakan ujian kecil. Sang guru benar-benar tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan mendesak Bao Shan dengan berkata, “Kali ini jika kalian tidak mengizinkannya ikut ujian, aku ingin memohon kepada kalian agar mengizinkannya.” Kakak pertama segera menemui ayahnya dan mendesaknya dengan berkata, “Ini tidak lebih Guru Ning ingin memperlihatkan kemampuan adik ketiga dengan menyuruh San Hei pergi pertama kali ini. Jika kali ini tidak lulus, ia juga tidak akan mengurusnya lagi.”

Mendengar perkataan kakak pertama, Tuan Bao berpikir sejenak lalu berubah pikiran dan menyetujuinya. Kakak pertama merasa sangat senang lalu memberitahukan kepada Guru Ning. Sang guru segera menuliskan nama untuk dibawa mengikuti ujian.

Menjelang hari ujian, semuanya diurus oleh kakak pertama, Tuan Bao sama sekali tidak mempedulikan. Kakak pertama sangat berharap. Tibalah waktunya pengumuman. Hari belum terang, hanya terdengar suara keramaian, Tuan Bao berpikir pasti petugas dari pemerintah kabupaten datang, tetapi sebenarnya petugas umum yang mengendarai kereta. Tuan Bao tidak percaya sewaktu melihat seorang petugas dari sekolah itu datang mengumumkan, “Tuan Ketiga sudah lulus menjadi sarjana yang akan mengikuti ujian negara.” Tuan Bao mendengar hal ini menarik napas lalu berkata, “Baiklah, baiklah! Aku akan pergi ke tempat guru. Ini juga adalah takdir keluarga yang menyebabkan hal ini. Benar-benar adalah karma yang tidak bisa dihindari.” Kemudian merasa terganggu, ia bersembunyi di kamar dan tidak menemui sanak keluarga dan teman yang datang memberi selamat. Demikian juga, ia tidak berterima kasih kepada sang guru. Untungnya kakak pertama mengurus semuanya dan menyelesaikan semua masalah.

Hanya saja sang guru diam-diam berpikir, “Aku sejak mengajar di sini selama beberapa tahun, tidak pernah melihat Tuan Besar. Sekarang sudah mengajar anaknya menjadi seorang sarjana, kenapa tidak bertemu dengan beliau? Bahkan sebuah ucapan terima kasih pun tidak ada. Sebenarnya hal ini tidak masuk akal dan benar-benar membuat orang bingung, marah, dan kesal!”

Ia menemui Bao Shan dan menyatakan kemarahan ini. Bao Shan segera meminta maaf dan berkata, “Ayah kami sedang banyak urusan. Saya mewakili beliau memohon maaf kepada guru.” Guru Ning adalah  seorang yang memegang etika, ketika mendengar hal ini, ia tidak berkata apa-apa lagi. Untungnya kakak pertama segera memberitahukan kepada ayahnya dan berulang kali memberitahukannya hingga akhirnya Tuan Bao pun mengirimkan undangan perjamuan untuk berterima kasih kepada guru.

Pada hari yang ditentukan Guru Ning diundang ke ruang tamu dan disambut oleh Tuan Bao yang mempersilahkannya masuk dan duduk bersama. Tuan Bao lebih lanjut mengucapkan terima kasih, kemudian mengadakan perjamuan. Sang guru duduk di tempat duduk kehormatan dan Tuan Bao menjamunya sebagai tuan rumah. Arak telah disajikan tiga kali, masakan dengan berbagai rasa yang lezat. Wajah Tuan Bao tampak khawatir; ia takut mengalami kerugian dan tidak dapat meminum araknya. Guru melihat hal ini tidak dapat menahan diri bertanya, ”Saya di rumah anda mengganggu selama enam sampai tujuh tahun. Walaupun sedikit bekerja keras menunjukkan pencerahan, juga memberikan bakat kecerdasan kepada anak anda. Oleh sebab itu hanya dapat melanjutkan satu langkah ini.”

Tuan Bao mendengar hal ini terdiam sejenak lalu berkata, “Benar.” Kemudian sang guru berkata, “Jika membicarakan pengetahuan anak anda saat ini, jangankan sarjana lulusan ujian kabupaten, bahkan lulusan ujian propinsi, lulusan ujian negara, juga memiliki banyak masa depan yang cerah. Ini juga adalah suatu integritas moral keluarga anda.”

Tuan Bao mengerutkan kedua alisnya kemudian berkata, “Apanya yang integritas moral? Kesialan keluarga melahirkan anak yang pemboros ini. Kelak ia hanya dapat menghabiskan kekayaan keluarga dan tidak bisa mengembangkannya.”

Guru Ning terkejut mendengarnya, berkata, “Tuan rumah mengapa berkata demikian? Di dunia ini tidak ada orang yang tidak berharap anak cucu lulus ujian menjadi pejabat? Mengatakan hal ini benar-benar tidak dapat dibenarkan.”

Tuan Bao pun menceritakan mimpi buruknya ketika Bao Zheng lahir, dengan berkata, “Saat ini menceritakannya pun masih menakutkan.” Tuan Ning adalah seorang yang terpelajar dan ketika mendengar tentang penampakan dalam mimpi itu, yang tampak seperti dewa Kuixing. Ia juga melihat perilaku Bao Zheng yang jujur dan pada saat yang sama juga kecerdasannya melampaui orang lain. Ia pun mengetahui hal ini merupakan pertanda bahwa ia kelak pasti sangat berguna dan diam-diam menganggukkan kepala.

Tuan Bao berkata, “Kelak berharap guru tidak perlu mengajarkan anak saya dengan mendalam. Ini adalah gaji guru sepuluh tahun yang juga tidak kecil. Anda beristirahat saja.”

Mendengar hal ini, muka Tuan Ning memerah lalu berkata: “Apakah ini mengatakan anak anda tidak perlu ujian lagi?” Tuan Bao berulang-ulang berkata, “Tidak perlu ujian lagi, tidak perlu ujian lagi!”

Tuan Ning dengan sangat marah berkata, “Awalnya anak anda menyuruh saya mengajarnya, sebelumnya ia mengikuti keinginanmu; sekarang ia adalah muridku, menyuruhnya ikut ujian adalah mengikuti keinginanku. Kelak tidak perlu anda urus lagi, aku memiliki pandangan sendiri.”

Dengan marah ia tidak menyelesaikan makanannya dan langsung pergi. Mengapa Tuan Ning melakukan hal ini? Karena Tuan Bao adalah orang yang berpikiran sempit dan tidak berpengetahuan, jika dinasehati, ia sama sekali tidak mendengarkan. Bukan hanya murid sendiri layak mendapatkan kehormatan, tetapi juga diri sendiri mendekati ayahnya agar tidak lagi menunda Bao Zheng dan menghindari Bao Shan mendapatkan kesulitan. Ini adalah upaya seorang sarjana yang bersusah payah.

Tibalah ujian provinsi yang diadakan tiga tahun sekali. Semua telah diatur oleh Tuan Ning, bersama-sama dengan Bao Shan mengajukan dan dengan susah payah mendorong Bao Zheng pergi mengikuti ujian. Akhirnya pengumuman calon peserta ujian digantungkan dan ditempatkan di tengah-tengah desa. Bao Shan sangat senang, tetapi Tuan Bao yang khawatir tidak henti-hentinya dan bersembunyi tidak mau bertemu dengan orang-orang. Kakak pertama mempersiapkan perjamuan, mengundang guru duduk dalam perjamuan. Semuanya saling memberi selamat kepada sesama penduduk desa. Mereka bersenang-senang dengan meriah dalam perjamuan itu seharian. Setelah semua urusan selesai, ia menyuruh Bao Zheng pergi ke ibukota untuk mengikuti ujian negara dan menjelaskan hal ini kepada Tuan Bao. Tuan Bao mengetahui hal ini tidak berkata apa-apa. Hanya tidak mengizinkan membawa banyak pengikut karena khawatir akan menghabiskan banyak biaya perjalanan. Maka satu-satunya yang menemani Bao Zheng hanyalah Bao Xing seorang.

Pada hari keberangkatan Bao Zheng memohon diri kepada kedua orang tuanya dan kakak serta kakak iparnya. Bao Shan diam-diam memberikannya biaya perjalanan. Bao Zheng juga pergi ke ruang belajar menemui gurunya. Sang guru banyak memberi wejangan kepada Bao dan juga memberikan sedikit biaya dari gajinya kepada Bao Zheng. Bao Xing mempersiapkan kuda untuk ditunggangi. Kakak pertama Bao Shan mengantar sampai ke tempat peristirahatan bagi para pelancong yang berjarak sepuluh li jauhnya. Kakak beradik itu tampak enggan berpisah selama beberapa lama, baru kemudian mereka berpisah. Bao Zheng menunggangi kuda, yang dituntun oleh Bao Xing. Mereka akhirnya pergi menuju ibukota. Dalam perjalanan, mereka berjalan pada siang hari dan berhenti untuk beristirahat pada malam hari selain berhenti untuk makan dan minum.

Pada suatu hari mereka tiba di sebuah penginapan di sebuah kota kecil. Mereka tuan dan pelayan berdua mencari rumah makan. Bao Xing mengurus kuda dan menyerahkannya kepada pelayan. Setelah menemukan tempat duduk, Bao Zheng duduk di depan, Bao Xing duduk di samping. Walaupun hubungan keduanya adalah tuan dan pelayan, tetapi karena pergi ke tempat lain dan tidak ada orang lain, mereka makan bersama-sama. Pelayan rumah makan datang meletakkan cangkir dan sumpit dan menyediakan hidangan pembuka. Bao Zheng memesan sebotol arak dan dua piring hidangan. Bao Xing menuangkan arak. Bao Zheng baru saja akan minum ketika melihat di meja seberang muncul seorang pendeta Taois duduk, memesan satu botol arak. Orang itu seperti sedang memikirkan sesuatu,  ketika mengambil botol untuk menuangkan arak tidak ke arah tengah cangkir sehingga jatuh dari meja menimbulkan suara gaduh. Ia menghela napas panjang dan tampaknya ada beban pikiran.

Bao Zheng sedang kebingungan. Tiba-tiba terlihat dari luar masuklah seseorang, yang berpakaian seperti orang dunia persilatan, menunjukkan semangat seorang pahlawan, dan wajahnya memancarkan sifat kepahlawanan. Pendeta Taois itu melihatnya segera berdiri dan berkata, “Tuan penolong silahkan duduk.” Orang itu tidak duduk, namun dari kantong dadanya mengeluarkan sekeping uang perak dan memberikannya kepada pendeta Taois tersebut, dengan berkata, “Untuk saat ini bawalah pergi uang perak ini, tunggu waktu malam bertemu lagi.” Pendeta Taois itu berdiri kemudian bersujud, pergi keluar dari penginapan.

Bao Zheng melihat orang itu kira-kira berusia dua puluh tahun. Pembawaannya bermartabat, yang membuat orang menghormatinya. Ia kemudian berdiri dan menjabat tangan di depan dada sambil berkata, “Saudara, silahkan. Jika berkenan, kenapa tidak mampir untuk berbincang bersama ke sini.” Orang itu melihat Bao Zheng dari atas ke bawah, tersenyum dan berkata, “Saya tidak berani menerima kebaikan anda.”

Bao Xing segera berdiri, menambah cangkir dan sumpit, memesan lagi satu botol arak dan dua piring hidangan, serta mengisi penuh arak pada sebuah cangkir. Bao Xing berada di samping menunggu perintah dan tidak berani duduk. Bao Zheng mempersilahkan orang itu duduk bersamanya, lalu bertanya, “Siapakah nama saudara?” Orang itu menjawab, “Saya bermarga Zhan bernama Zhao, yang disebut juga Xiongfei.” Kemudian Bao Zheng juga memperkenalkan marga dan namanya. Dua orang ini seorang sarjana dan seorang dari dunia persilatan, berbincang-bincang, sampai tak terasa menghabiskan beberapa botol arak.

Zhan Zhao kemudian berkata, “Saya memiliki beberapa urusan kecil, tidak dapat menemani senior lagi, lain hari kita bertemu kembali.” Setelah berkata demikian, ia membayar tagihan kepada pelayan. Bao Zheng tidak menolak, Bao Xing diam-diam berkata, “Tuan Ketiga kita mulutnya diolesi dengan kapur [orang yang hanya makan dan minum tanpa membayar].”Orang itu langsung pergi. Bao Zheng tidak dapat menebak ia orang yang seperti apa.

Selesai makan, kedua majikan dan pelayan itu melanjutkan perjalanannya lagi. Karena di dalam penginapan menghabiskan banyak waktu, hari pun menjelang malam dan mereka tidak mengetahui rute perjalanan lagi. Tiba-tiba melihat seorang anak penggembala lewat. Bao Xiang maju dan bertanya, “Kakak penggembala, di sini daerah apa?” Penggembala itu menjawab, “Melalui barat daya dua puluh li terdapat kota kecil Sanyuan, suatu tempat yang besar. Saat ini kalian berjalan di jalan yang salah. Di sini adalah Zhengxi. Jika kalian berbalik arah, masih ada tidak kurang tiga puluh li jaraknya!”

Bao Xing melihat hari sudah malam dan bertanya, “Di depan apakah ada penginapan?” Penggembala itu menjawab, “Di depan dikenal sebagai Desa Pasir Kecil, tidak ada penginapan sama sekali. Kalian terpaksa harus mencari rumah orang untuk beristirahat.” Setelah berkata demikian, penggembala itu segera pergi menghalau sapi dan kambingnya.

Bao Xing melaporkan hal ini kepada Bao Zheng. Mereka pun segera menuju Desa Pasir Kecil. Setelah berjalan lama, mereka melihat di samping jalan terdapat sebuah kuil. Papan nama yang terpasang bertuliskan: “Kuil Naga Emas yang didirikan atas perintah kaisar untuk melindungi negara”. Bao Zheng berkata, “Lebih baik daripada menginap di rumah orang, kita menginap di kuil ini satu malam. Besok kita berderma sejumlah uang ke kuil ini. Bukankah ini lebih baik.”

Bao Xing turun dari kuda dan mengetuk pintu kuil itu. Dari dalam keluarlah seorang bhiksu, yang menanyakan asal usul mereka, lalu mempersilahkan masuk. Bao Xing mengikatkan kudanya dan memberi makan kuda di atas palung kuda. Bhiksu itu mengizinkan masuk ke aula kecil Yuntang dan mempersilahkan mereka duduk lalu menawarkan teh. Bhiksu itu menanyakan tempat asal Bao dan nama keluarganya dan mengetahui ia adalah calon peserta ujian negara yang sedang menuju ibukota. Bao Zheng bertanya, “Siapakah nama bhiksu?” Bhiksu itu menjawab, “Nama Buddhis-ku adalah Fa Ben, selain itu terdapat adik seperguruanku bernama Fa Ming. Kami berdua mengurus kuil ini.” Setelah berkata demikian, ia memohon diri keluar ruangan.

Seketika seorang bhiksu kecil datang menyajikan makanan vegetarian yang hanya terdiri dari sayuran. Mereka berdua menghabiskan santapan tersebut. Hari pun sudah larut. Bao Zheng menyuruh Bao Xing membawa peralatan makan ke dapur agar bhiksu kecil itu tidak perlu berjalan bolak-balik. Bao Xing pun segera membawa pergi peralatan makan itu. Karena tidak mengetahui dapur di mana, ia keluar dari aula kecil Yuntang, masuk ke ruang meditasi, tak sengaja melihat beberapa wanita cantik yang berpakaian indah sedang bersama-sama tertawa sambil berkata, “Di sebelah barat aula kecil Yuntang ada tamu menginap, kita pergi lewat samping saja.” Bao Xing tidak dapat bersembunyi di mana pun, maka tidak ada jalan lain harus berbalik arah. Ketika mereka telah pergi, baru kemudian ia pergi ke dapur mengembalikan peralatan makan. Segera setelah kembali ke kamar, ia memberitahukan Bao Zheng dan khawatir kuil ini tidak aman.

Baru berkata demikian, datanglah bhiksu kecil membawa sebuah lentera pada tangan kirinya, sedangkan tangan kanan membawa sebuah kendi teh. Ia masuk ke dalam dengan mata penuh tipu daya, meletakkan lentera dan menaruh kendi teh di atas meja. Dengan penuh kelicikan ia melihat ke sekitarnya, lalu tanpa berkata apa-apa langsung pergi. Bao Xing melihat hal ini, berkata, “Gawat! Orang ini pasti pencuri kuil!”

Ia segera keluar melihat. Ternyata pintu gerbang telah dikunci dari luar. Ia melihat ke tempat lain tidak ada jalan keluar dan segera berlari kembali. Bao Zheng memeriksa hal ini dan tidak bisa berbuat apa-apa. Bao Xing terdiam sejenak lalu berkata, “Tuan Ketiga, kita harus segera mencari jalan keluar.” Bao Zheng menjawab, “Pintu gerbang sudah terkunci, juga tidak ada jalan keluar lain, bagaimana bisa keluar?” Bao Xiang berkata, “Sekarang ada kursi dan meja, saya akan memindahkannya ke sisi tembok, Tuan Muda segera melompati tembok menyelamatkan diri. Jika bhiksu jahat itu datang, saya akan menghadapinya.”

Bao Zheng berkata, “Aku sendiri pendek tidak dapat memanjat tangga dan melompat tinggi. Engkau segeralah melompati tembok dan menyelamatkan diri. Setelah pulang ke rumah memberitahu orang-orang, engkau bisa membalas dendam.” Bao Xing sambil menangis berkata, “Tuan Ketiga tidak bisa pergi ke mana-mana, saya berhutang nyawa pada tuan dan tidak akan meninggalkan tuan!”

Bao Zheng berkata, “Jika demikian, kita berdua hanya bisa mati bersama-sama dan menunggu bhiksu itu datang melakukan apa yang diinginkannya. Tidak ada pilihan lain selain menanti takdir dari langit.” Bao Zheng memindahkan kursi di antara pintu gerbang dan duduk dengan tegap. Bao Xing tidak memiliki apa-apa untuk digunakan, kemudian mengambil palang pintu pada tangannya di hadapan Bao Zheng dan berkata, “Jika ia datang, saya akan memukulnya dengan palang pintu dengan tiba-tiba.” Kedua matanya menatap tajam ke arah pintu gerbang.

Ketika mereka sedang menatap pintu itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar. Pintu terbuka dan muncullah seseorang. Bao Xing sangat ketakutan dan palang pintu terjatuh ke tanah. Sekujur tubuhnya bergemetaran karena ketakutan setengah mati. Terlihat orang itu dari atas kepala sampai ke bawah kaki berpakaian hitam. Bao Zheng melihat dengan seksama. Ia bukan orang lain, melainkan orang dunia persilatan yang tadi siang bertemu di rumah makan. Bao Zheng segera menyadari ia bersama pendeta Taois yang dalam pembicaraannya akan bertemu lagi malam ini. Orang ini pasti seorang ksatria.

Sebelumnya pendeta Taois itu juga datang ke kuil ini. Semuanya karena Fa Ben dan Fa Ming merampas para wanita. Bhiksu tua memarahi mereka, tetapi keduanya tidak menerimanya lalu membunuh bhiksu tua. Pendeta Taois itu tidak berani ikut campur, tetapi ingin membalaskan dendam sang bhiksu tua. Oleh sebab itu, ia melaporkannya kepada pejabat yang berwenang. Namun tak disangka bhiksu jahat itu memberikan uang melalui pelayan pejabat tersebut untuk menyuapnya sehingga pendeta Taois itu menerima hukuman dua puluh pukulan. Ia dituduh berbuat kesalahan dan diusir keluar desa.

Pendeta Taois itu tidak dapat menerima perlakuan yang tidak adil ini dan pergi ke tengah hutan untuk bunuh diri, tetapi bertemu dengan Zhan Zhao yang sedang mengadakan perjalanan ke tempat itu. Ia pun menyelamatkannya. Setelah mengetahui permasalahannya, Zhan Zhao menyuruhnya menunggu di rumah makan. Ia kemudian diam-diam menyelidiki hal ini. Setelah itu ia datang ke rumah makan dan memberikan pendeta Taois itu uang. Tak disangka ia bertemu dengan Bao Zheng. Setelah menemani Bao minum beberapa lama, ia memohon diri terlebih dahulu dan kembali ke penginapannya untuk beristirahat.

Setelah siang berlalu, ia menyamar dengan berpakaian seperti pelancong, melayang ke atas atap, dan masuk ke dalam kuil dengan melompati tembok. Dengan diam-diam ia masuk ke dalam aula utama, di dalamnya melihat kedua bhiksu jahat tersebut bersama-sama empat atau lima orang wanita sedang meminum arak dan bersenang-senang. Mendengar mereka berkata, “Calon peserta ujian negara di aula kecil Yuntang. Kita menunggu sampai tengah malam baru mengurus mereka juga masih belum terlambat.”

Zhan Zhao mendengar hal ini, diam-diam berkata, “Aku pergi menyelamatkan orang itu terlebih dulu, kemudian baru membunuh para bhiksu jahat ini. Takutnya jika ia terbunuh, maka tidak bisa berbuat apa-apa.”Kemudian ia pergi ke aula kecil Yuntang dan menggunakan pedang bermata dua yang sangat besar memotong cincin besi pintu yang terkunci. Ia masuk ke dalam dan melihat ternyata orang itu adalah Bao Zheng.

Ia membawa Bao Zheng keluar lalu berkata kepada Bao Xing, “Ikutlah denganku.” Mereka keluar dari aula kecil itu dari samping sudut pintu gerbang menuju ke belakang tembok. Ia mengeluarkan tali besar dari kantong buntelannya dan mengikatkannya pada pinggang Bao Zheng. Ia memegang ujung tali, melompat ke atas tembok, lalu membungkukkan badan. Tangannya pelan-pelan menarik Bao Zheng ke atas tembok lalu berkata, “Setelah kakak turun, segera lepaskan ikatan talinya, tunggu saya menolong pelayan anda.”

Setelah menginjakkan kaki di atas tanah, Bao Zheng segera melepaskan ikatan tali itu. Zhan Zhao naik ke atas lagi, menolong Bao Xing lagi berkata, “Kalian berdua segeralah pergi dari sini.” Dalam sekejap ia pun tidak terlihat lagi.

Bao Xing menuntun Bao Zheng melarikan diri dan tidak berani sedikit pun berhenti selangkah pun. Dengan bersusah payah mereka akhirnya tiba di sebuah desa. Hari sudah menjelang subuh dan dari jauh terlihat cahaya. Bao Xing berkata, “Baguslah, ada rumah orang. Kita bisa beristirahat sementara, menunggu hari terang baru melanjutkan perjalanan lagi.” Ia segera maju mengetuk pintu. Pintu terbuka, keluarlah seorang kakek tua dan menanyakan siapakah mereka.

Bao Xing menjawab, “Karena kami berdua terburu-buru mengadakan perjalanan, berangkat pagi-pagi sekali, sehingga tidak dapat mengenali jalan. Sekarang kami mendatangi rumah kakek untuk menginap dan menanti hari terang baru melanjutkan perjalanan lagi.” Kakek tua itu melihat Bao Zheng adalah seorang sarjana, juga melihat Bao Xing berpakaian seperti pelajar, kemudian berkata, “Jika demikian, silahkan duduk di dalam.”

Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah tersebut, yang di dalamnya terdapat sebuah gerinda, beserta penampung yang untuk mengumpulkan sesuatu. Ternyata kakek itu bekerja menjual tahu. Di sebelahnya ada tempat tidur dari batu bata yang bisa dihangatkan. Kakek itu menyuruh Bao Zheng duduk di sana.

Bao Zheng bertanya, “Siapakah nama kakek?” Kakek itu menjawab, “Aku bermarga Meng, memiliki seorang istri, tidak memiliki anak, bekerja menjual tahu.”

Bao Xing berkata, “Apakah kakek ada air panas, saya meminta secangkir untuk minum.” Kakek itu menjawab, “Kami di sini hanya ada air tahu yang sudah selesai dibuat dan baru keluar dari ketel.”

Bao Xing berkata, “Itu lebih baik daripada tidak ada.” Kakek Meng pun berkata, “Tunggu saya membawakan lentera dan memberikan kalian secangkir air tahu.”

Setelah berkata demikian, dari dalam dinding mengeluarkan sebuah meja berkaki tiga dan meletakkannya di tempat tidur, lalu menggunakan batu bata untuk mengganjal kaki satunya lagi. Kemudian ia membuka kain tirai tua di sampingnya, masuk ke dalam mengambil sebuah tempat lilin dari tanah liat kuning, lalu mencari sesuatu dari dalam sebuah keranjang dan tak lama kemudian menemukan sebuah lilin, menyalakan lampu minyak, menempatkannya pada meja kecil itu. Bao Xing berkomentar, “Di desa kecil ini ternyata ada lilin sebesar lengan tangan.”

Ia melihat dengan seksama lilin itu, yang secara samar-samar berwarna hijau, di atasnya terdapat tulisan “Jalan Gelap”, dan baru memahami kakek itu memakai lilin bekas upacara kematian. Kakek Meng mau tidak mau harus memakainya untuk menyambut tamu tersebut.

Kemudian kakek Meng dari dapur membawakan sebuah mangkuk dari tanah liat kuning, membersihkannya dengan air, mengambil semangkuk air tahu yang berwarna putih bersih dan masih hangat, memberikannya kepada Bao Xing. Ketika Bao Xing ingin memberikannya kepada Bao Zheng, air tahu itu berbau wangi dan manis tiada bandingnya. Bao Xing melihatnya tidak dapat menahan diri sangat menginginkannya. Kemudian kakek Meng memberikan satu mangkuk lagi kepada Bao Xing. Bao Xing segera menerimanya dan meminum minuman manis itu. Kedua orang itu sangat kelelahan semalaman, juga ketakutan, sekarang berada di dalam rumah gubuk jerami itu, seakan-akan seperti di surga, meminum air tahu itu tidak ada bedanya seperti meminum minuman surgawi.

Tak lama kemudian mereka menghabiskan air tahu itu. Kakek Meng membuatkan air garam dan memberikan mereka masing-masing semangkuk. Setelah kelaparan dan kehausan, mereka dapat makan dan menghangatkan diri dan merasa sangat bergembira. Mereka berbincang-bincang dengan kakek Meng, lalu menanyakan jalan, dan mengetahui dari kota Sanyuan masih ada kurang lebih dua puluh li jaraknya.

Ketika sedang berbincang-bincang, tiba-tiba melihat nyala api dari langit. Kakek Meng keluar untuk melihat. Dari arah tenggara muncul cahaya merah, yang menurut arahnya tampaknya Kuil Naga Emas mengalami kebakaran. Bao Zheng dan Bao Xing juga keluar melihat, dalam hati mengetahui bahwa itu pasti perbuatan sang pahlawan, kemudian bertanya kepada kakek Meng, “Ini ada kebakaran di mana?”

Kakek Meng menjawab, “Kalian berdua tidak mengetahui, Kuil Naga Emas ini setelah kematian bhiksu tua, meninggalkan dua orang murid yang tidak bermoral, sering membunuh orang, dan merampas para wanita. Dibandingkan para perampok yang membunuh dan membakar, mereka masih lebih kejam! Tak disangka hari ini mereka mendapatkan ganjarannya.” Setelah berkata demikian, mereka masuk ke dalam rumah untuk beristirahat.

Setelah terdengar suara ayam berkokok, kedua tamu itu pun segera berangkat. Mereka sangat berterima kasih kepada kakek Meng dan bermaksud lain hari jika bertemu lagi akan membalas kebaikannya. Kakek Meng berkata, “Hanya hal sepele, apa yang perlu dikatakan.” Ia mengantarkan mereka sampai ke pintu kayu, lalu menunjukkan jalan, dengan berkata,“Keluar dari desa ini, melewati hutan, ada jalan besar menuju kota Sanyuan.” Bao Zheng menjawab, “Terima kasih banyak telah menunjukkan kami jalan.”

Mereka mengangkat tangan memberikan salam perpisahan, berjalan keluar dari desa, segera melewati hutan. Saat ini mereka sudah tidak memiliki barang bawaan dan kuda dan uang biaya perjalanan juga sudah hilang. Bao Zheng berjalan tidak berhati-hati sehingga kakinya sakit. Ia dengan bersusah payah berjalan selangkah demi selangkah menahan penderitaan. Keduanya bersama-sama berjalan sambil bercerita.

Bao Zheng berkata, “Dari sini ke ibukota masih ada beberapa hari perjalanan lagi, dengan berjalan seperti ini, tidak tahu berapa lama lagi sampai di ibukota. Selain itu tidak ada lagi uang untuk biaya perjalanan. Ini bagaimana bagusnya?”

Bao Xing melihat keadaan Bao Zheng yang penuh penderitaan, takut akan terjadi sesuatu yang buruk, terpaksa berbohong untuk menghiburnya, dengan berkata, “Ini tidak masalah, jika sampai di kota Sanyuan, saya memiliki seorang paman dari pihak ibu. Kita bisa meminjam darinya sedikit uang untuk biaya perjalanan, juga bisa memintanya menyediakan seekor keledai untuk ditunggangi. Ikuti langkah saya, tidak sampai sepuluh hari sampai setengah bulan akan tiba di ibukota.”

Bao Zheng berkata, “Jika demikian baguslah, hanya saja merepotkan kamu.” Bao Xing menjawab, “Ini tidak penting. Yang penting adalah kita berjalan kaki seakan-akan berjalan untuk bersenang-senang, maka dijamin akan menghasilkan kesenangan, juga tidak akan merasakan penderitaan lagi.” Ini walaupun Bao Xing hanya berusaha menenangkan Bao Zheng, tetapi sesungguhnya ini sebuah ungkapan yang bijaksana juga. Mereka berdua berbicara tak terasa sudah hampir sampai di kota Sanyuan.

Hari sudah mendekati tengah hari. Bao Xing pun berpikir, “Sesungguhnya saya di manakah memiliki paman dari pihak ibu? Sampai di kota nanti, bersama dengan tuan makan terlebih dahulu untuk mengalihkan sementara agar tidak membuat tuan mengingat kesusahannya.” Akhirnya mereka tiba di sebuah kota kecil, yang banyak rumah penduduk dan juga toko-toko yang ramai. Bao Xing tidak mencari penginapan besar yang menyediakan makanan ringan, tetapi mencari rumah makan kecil yang menyediakan makanan sehari-hari, dengan berkata, “Tuan, kita berdua makan dulu di sini.”

Bao Zheng tidak membeda-bedakan status orang apakah tinggi atau rendah dan memakan apa pun yang ada. Mereka berdua masuk ke dalam rumah makan itu, yang walaupun rumah makan kecil, tetapi ternyata sebuah bangunan yang bertingkat. Bao Xing menuntun Bao Zheng naik ke lantai atas. Setelah memilih sebuah tempat duduk yang bersih, Bao Zheng duduk di sana dan Bao Xing mengambil tempat duduk yang lebih rendah. Pelayan meletakkan cangkir dan sumpit, juga dua jenis hidangan pembuka, dan menanyakan pesanan mereka.

Setelah mereka berdua selesai makan, Bao Xing berdiri dan dengan pelan berkata kepada Bao Zheng, “Tuan tunggu sebentar di sini, saya akan mencari paman saya kemudian datang lagi.” Bao Zheng mengangguk.

Bao Xing turun dan keluar dari rumah makan itu, melihat kota itu sangat ramai, mengangkat kepalanya memastikan papan nama rumah makan itu, yang bertuliskan Penginapan Wang Chun, kemudian melangkah. Ia bermaksud pergi mencari tempat penggadaian, pergi ke tempat yang gelap untuk melepaskan jubahnya yang terbuat dari kulit ular dan berlapis sutra berwarna biru. Ia segera berjalan mencari tempat penggadaian untuk mendapatkan sejumlah uang tembaga untuk menyewa seekor keledai, dengan mengatakan itu dipinjamkan pamannya, dan menunggu dua hari lagi baru mencari alasan lain. Namun tak disangka sepanjang jalan empat sampai lima li tidak ada tempat penggadaian. Ketika bertanya kepada orang, dulu ada sebuah tempat penggadaian, tetapi sekarang toko itu sudah tutup. Bao Xing mendengar hal ini, seketika sekujur tubuh berkeringat. Bao Xing pun berkata, “Tidak boleh menangis! Ini bagaimana bagusnya?”

Ketika sedang mengalami kesulitan, ia melihat kerumunan orang mengelilingi dan menonton sesuatu. Bao Xing berusaha masuk ke dalam keramaian itu dan melihat di bawah terbentang selembar kertas, yang di atasnya ada tulisan tangan yang terlihat jelas goresannya. Tiba-tiba dari samping ada orang dengan logat daerah berseru, “Mengumumkan....” dan berkata, “Bai Lao Si adalah temanku, mengapa memberitahukan dia?”

Bao Xing mendengar hal itu, tidak dapat menahan tawa, berkata, “Bukan begitu, biarkan aku membacakannya, di atas tertulis ‘Mengumumkan kepada orang-orang baik di keempat penjuru arah, sekarang terdapat nona dari kediaman Tuan Besar Li di desa Yinyi dirasuki oleh siluman. Jika dapat menyembuhkannya dan menangkap siluman itu, akan dihadiahkan tiga ratus uang perak. Kami tidak akan mengingkari janji. Demikianlah pengumuman ini’.”

Bao Xing selesai membacanya, dalam hati diam-diam berpikir, “Kenapa aku tidak mencobanya saja? Jika masalah dapat diselesaikan, ini adalah jalan menuju ibukota, maka tidak perlu menanggung kesusahan lagi; juga mungkin tidak perlu menahan tuan dua hari tidak makan.” Setelah berpikir demikian, ia maju ke depan. Ini yang disebut: dalam kesulitan kebetulan bertemu kesempatan, dalam keadaan darurat dapat memikirkan rencana yang tepat.

(Bersambung)

Catatan Kaki:

* Kalimat “Jalan pembelajaran besar adalah untuk menerangi kebajikan, untuk memperbaiki orang-orang, untuk sampai pada kebaikan” adalah kalimat pertama dari salah satu karya klasik Confusius (Kongzi atau Kong Fu-tse) yang berjudul “Pembelajaran Besar” (Daxue).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun