"Sendiko dhawuh, Romo Prabu, Nanda siap kapan pun Kanjeng Romo menentukan."
"Ya, nanti akan Romo bicarakan dengan ibundamu, agar segala
keperluanmu untuk tinggal di padepokan Mpu Barada dapat disiapkan."
Malam semakin larut. Seperti sebelum-sebelumnya, aku berbicara dengan Romo selalu sampai lewat tengah malam. Pembicaraan yang selalu mengasyikkan itu membuatku lupa waktu, membuat kami berdua terbuai.
Tiga tahun berlalu, masa itu kupergunakan untuk olah kanugaran bersama Paman Narotama dan mempelajari tentang keterampilan kewanitaan bersama Bibi Sekar Tanjung. Itu semua sebagai bekal jika suatu saat Romo mengirimku ke Tanah Paran, ke tempat Maha Mpu Barada tinggal.
Pada Usiaku yang ke-14, Ayahanda Prabu menghadiahi aku kuda putih nan menawan, karena aku memang senang menunggang kuda. Kuda itu kuberi nama Gagah Lintang, karena dia benar-benar gagah dan cemerlang seperti Lintang, matanya bersinar dan bila kupanggil langsung mendekat.
 Bersama Gagah Lintang aku senang mejelajah negeri, tanpa didampingi
Paman Narotama.
Inilah saat kegemaranku untuk melatih kecekatan Gagah Lintang melintasi
tebing.
 Hampir setiap akhir pekan aku menunggang kuda dan melewati batas