Mohon tunggu...
Monika Ekowati
Monika Ekowati Mohon Tunggu... Guru - Seorang biarawati Tarekat SND--> ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Betapa indahnya hidup ini, betapa saya mencintai hidup ini, namun hanya DIA yang paling indah dalam Surga-Nya dan dalam hidupku ini, saya akan mencintai dan mengabdi DIA dalam hidupku ini ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Semburat Putih Pelangi Kasih Episode 10 Yoganidra 1

21 Juli 2021   10:26 Diperbarui: 21 Juli 2021   10:41 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semburat Putih  Pelangi  Kasih (Lukisan  Bp  Y.P.Sukiyanto)

Yoganidra  1

Cerita  sebelumnya :

Hidup ini mesti dihidupi penuh makna. Agar berarti bagi diri sendiri dan menjadi berkat bagi sesama dan melestarikan semesta agar semua seimbang, selaras, harmoni terjalin dalam keindahan kehidupan. Hidup yang selaras, membuahkan sesuatu yang indah, menuntun manusia dalam keselamatan pada tujuan. Itulah yang dikehendaki oleh Sang Khalik penguasa jagad raya ini.

Sore itu aku mendapat pelajaran yang luar biasa tentang kehidupan dari Bibi Narotama. Aku harus mempersiapkan diri sebagai putri raja, untuk meraih masa depanku nanti.  (  Bersambung )

Manusia terdiri dari empat perkara lima ujud, demikian yang diungkapkan oleh setiap pemimpin doa dalam rangka ruwatan atau sedekah bumi. Dari membangun rumah, memulai pekerjaan mulia sebagai penghormatan kepada Sang Hyang Widi.

Empat perkara yang dimasud adalah terjadinya manusia dalam rahim seorang perempuan karena persatuan sperma (cairan putih dari benih lelaki) dan sel telur (merah dari benih kehidupan wanita) setelah mereka bersatu dan terjadi pembuahan. Si Janin mendapat rahmat kehidupan untuk tetap berkembang dan bisa bertahan sebagai bayi untuk dilahirkan dari Kakang Kawah, Adhi Ari-ari. Kawah adalah air ketuban, tempat dia berenang mengarungi alam kedamaian rahim bundanya. Ari-ari adalah plasenta yang berisi sari makanan yang dihubungkan oleh usus, tali pusat.

Si Jabang Bayi dengan indungnya. Empat perkara itu menyatu, menjadi lima ujud bleger/bodinya, namun ada yang lebih penting yaitu roh kehidupan yang diembuskan oleh Sang Hyang Widi pada diri setiap orang sejak Adam dan Hawa. Napas itulah Roh, yang membuat manusia bersatu dengan pencipta-Nya, Roh yang mengaktifkan seluruh cakra tubuh untuk bersatu dan belaku harmoni, seperti konser musik yang terdiri dari berbagai alat musik, dan dapat mengalun indah memberikan suasana damai penuh inspiratif dan akhirnya seseorang bisa mengolah hidup secara kreatif.

Tubuh manusia merupakan sebuah konser musik yang seharusnya selaras dengan aba-aba seorang konduktor, yaitu Sang Hyang Widi, petunjuk untuk menyelaraskan  alunan  musik dari Sang Hyang Widi berupa suara hati. Suara hati itulah yang diletakkannya di pusat jantung kita supaya bisa beredegup , dan diresapi oleh cita, rasa, budi dalam keheningan yang menjadi kompas mengatur hidup seseorang untuk mendengarkan petunjuk-Nya.

Ilmu kanuragan memang sangat penting untuk menjaga diri terhadap serangan wadah dari manusia yang jahat dan bebal yang akan mencobai dan mengganguku, tapi setelah aku mencoba mendengarkan alunan hati beningku aku merasakan cenderung untuk memperdalam Olah Kerohanian. Karena cara ini yang bisa menghubungkan aku pada Sumber Kehidupan, yang bagiku merupakan Sumber Telaga Cinta Sejati yang tak pernah kering untuk bisa diangsu selama hidupku di alam fana ini.

Sumber itu dari Sang Hyang Widi sendiri yang telah memeteraikan katresnan atau cinta padaku tanpa syarat, melebihi cinta Romo Prabu dan Ibunda Ratu. Meskipun kedua orangtua sesembahanku itu mencintaiku dengan begitu besar dan dalam, cinta yang kurasakan dengan seluruh hati, budi dan jiwaku, gerak hatiku merasakan kekuatan cinta yang lain.

 

Setiap kali aku bermeditasi, berkomtemplasi, rasa dan swara benang emas yang menarikku kepada kidung keindahan ketrentraman Swarga semakin kuat. Kedamaian yang luar biasa, ketenangan yang menyejukkan, keheningan yang membuat aku terus hidup dan memaknai kehidupan ini.

 Sulit dikatakan dalam kata, bahwa rasa kasih sayang itu begitu mengalir dan menguatkan seluruh indra, budi, batin, cita, rasa, dan karsaku untuk selaras harmoni dalam mengolah hiruk-pikuknya kehidupan.

 Untuk melimbang-limbang segala perkara, ada yang jahat, yang baik, yang berguna, yang paling baik, yang paling berguna untuk menata hidup dalam peziarahan hidup ini sebelum bersatu dengan Sang Khalik Sumber Kehidupan itu sendiri. Yang memberi RohNya kepada setiap insan yang diciptakannya. Panggilan jiwaku ini kurasa yang sangat penting untuk kukembangkan.

Suatu hari aku menceritakan semua yang kualami ini kepada Ibunda Ratu. Beliu tidak terkejut karena Bunda biasa berlatih hidup kerohanian. Aku melihat sendiri bagaimana bundaku setiap pukul 03.00 pagi bangun untuk membaca kitab suci dan merenungkannya. Setiap kali aku terbangun pada jam-jam itu untuk ke kamar kecil, aku melihat Ibunda Ratu duduk tepekur dalam keheningan meditasi. Aku tidak berani mengganggu.

 Aku hanya menirukan apa yang dilakukannya dengan duduk di belakangnya. Tak jarang kusaksikan tubuh bundaku bersinar laksana rembulan dikelilingi sinar elok warna-warni semburat pelangi.

Aku baru tahu dari Eyang Barata bahwa sinar itu bernama aura. Waktu itu umurku baru sepuluh tahun. Kata Eyang Barata, aura bisa bertambah bagus dan melindungi kita dari serangan roh jahat, tenung, dan memiliki kekebalan sempurna kalau dilatih secara terus-menerus melalui meditasi dan kontemplasi, dan terutama dilakukan di tempat-tempat alamiah yang dipenuhi kekuasaan kehidupan positif oleh Sang Hyang Widhi.

Misalnya di tepi laut, di sebuah batu, dekat air terjun, di pegunungan, atau di perbukitan, atau di tempat-tempat yang hening, jauh dari keramaian dan kebisingan kota.

Aku bertanya kepada Ibunda Ratu mengapa beliau tidak terkejut ketika aku mengatakan bahwa aku senang bersemadi dan ingin menjadi pertapa?

Bundaku menjawab, "Ngger anakku Sanggramawijaya Tunggadewi, Bunda tidak terkejut karena sewaktu mengandung kamu, kecenderungan Bunda untuk bermeditasi dan laku tapa sangatlah kuat. Bunda tidak doyan makan, aneh memang, Bunda malah senang makan ampo[1], oleh karena itu semua tumus dan terjadi pada dirimu.

 

"Dulu kalau kamu sakit, obatmu hanya ampo, terus mandi air sumur besar di belakang istana. Lalu badanmu kembali sehat jika semua itu Bunda lakukan dan mengusap keningmu dalam doa. Sungguh Bunda bersyukur punya anak sepertimu yang punya kekuatan rohani dan badan seimbang dan tidak pernah merepotkan Bunda maupun ramamu, Kakanda Prabu."

 

Hatiku lega mendengar penuturan Bunda. Jalan seolah tersibak lebar, Bunda telah menyetujuiku dan memahami kalau aku suka menyendiri dan melatih diri serta mengolah rohani dalam keheningan.

  

Sekarang aku menunggu saatnya untuk membicarakan hal ini kepada Paduka Romo Prabu Airlangga. Rama amat sibuk dengan segala urusan istana. Meskipun hubunganku dekat dengan Rama, tetap saja aku harus mencari waktu yang tepat untuk membicarakan segala sesuatu yang penting, bahkan amat penting menurut pemikiranku, karena menyangkut kehidupanku dan masa depanku.

 Pada suatu malam ketika purnama memancar menerangi buana dengan begitu indahnya, Romo Prabu duduk di tangga di bawah patung dewa Brahma. Ini merupakan kebiasaan Romo Prabu sebagai enggar-enggar penggalih (menikmati suasana hati gembira) sambil memandang purnama. Kata  eyang buyut Cakra Bumi, purnama memberi banyak berkat.

 Ikan-ikan di laut berkumpul dan mudah ditangkap sehingga memberi rezeki kepada para nelayan. Penyu-penyu bertelur di bawah pasir putih tepi pantai, dan esok paginya bisa dijadikan santapan yang penuh gizi oleh rakyat kecil yang menemukannya dengan penuh sukacita.

 

Mereka mengambil telur penyu secukupnya untuk dijual dan dimakan sekeluarga. Mereka tidak mau mengambil semuanya, supaya telur itu bisa menetas dan kembali ke laut untuk menjadi penyu dewasa yang nantinya menghasilkan telur lagi. Itulah kehidupan rakyat yang tahu mensyukuri hidup, tahu batas untuk dapat melestarikan alam.

 

Mereka tidak serakah untuk menyantap dan menghabiskan semuanya. Bahkan kalau mereka mendengar, melihat tetangganya tidak mendapat, mereka tulus untuk berbagi.

 

 Hidup adalah anugerah, bagai cahaya bulan yang memberi rasa damai, maka harus dibagikan, disebarkan agar dapat dirasakan oleh yang lain. Inilah falsafah yang dihidupi oleh orang-orang yang punya budi wening dan hati penuh welas asih.

Eyang buyut juga bilang bahwa jika orang menatap purnama dan berdoa, pada Sang Hyang Widi, dia akan menemukan ketenteraman hati, keheningan batin, dan kebeningan budi.

 

Dia akan tahu memilih apa yang terbaik dan meluhurkan tatacara kehidupan. Dia akan menjadi orang bijak dalam mengolah hati dan mengatur hidupnya. Inilah yang dilakukan Romo Prabu setiap purnama tiba, duduk di tangga, di bawah patung Brahma, sambil berkidung lagu-lagu yang menenteramkan jiwa.

 

Pada malam purnama yang indah, inilah waktu yang kupilih untuk mengatakan gejolak hatiku kepada Romo Prabu.Hatiku tersentak ketika aku mendekati Ayahanda Prabu, ternyata beliau mengetahui kehadiranku. Selayaknya putri raja aku menghaturkan sembah pada Ayahanda Prabu, namun beliau selalu melarang kalau aku memberi sembah.

"Anak Samaratungga Dewi, kalau ayah sedang santai, dirimu tidak perlu menyembah, kemari anakku, sayang," katanya.

 

Ayahanda memelukku, inilah saat yang menyejukkan.

 

"Ada apa anakku?" "Ayahanda Prabu ... emm, emm, Nanda ingin mengetahui bagaimana riwayat Ayahanda, mengapa Ayahanda menjadi raja?" Tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku.

 

"Oh, jadi dirimu ingin mengetahui sejarah Ayahanda?"

 

"Ya, Romo Prabu, supaya Ananda bisa banyak belajar tentang jati diri Romo Prabu, Nanda ingin menggali akar keberadaan jati diri Nanda, yang mengalir dari darah keprabon Ayahanda Romo."

 

"Baiklah anakku sayang, Dewi yang cantik, engkau seperti rembulan itu, sinarmu memberi ketenteraman di hati Ayahanda. Sinar bulan itu indah seperti wajahmu yang bulat penuh, lambang kesempurnaan, ketenteraman sejati yang membual di hati Ayahanda dan Ibunda saat dirimu dilahirkan di dunia ini.Kebahagiaan itu kutulis di 'Prasasti'.

 

"Kalau dirimu ingin tahu keberadaan Romo, baiklah romo akan bercerita padamu, supaya engkau mengerti darah dan keturunan yang mengalir dalam dirimu. Ayahanda lahir pada tahun 990, eyangmu kakung adalah raja Bali yang terkenal, karena Bali dikenal sebagai pulau para dewa, pulau yang menyimpan keindahan mahadahsyat".

 

"Nama eyangmu Udayana, raja dari Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Eyangmu seorang yang jujur, bijaksana, murah hati, dan membela rakyat kecil. Dia rendah hati dan mempunyai banyak sahabat. Meskipun putra bangsawan, eyangmu selalu hidup dalam tapa, patiraga, dan mengendalikan hawa nafsu dengan penuh kesadaran diri untuk mengangsu kekuatan dari Sang Hyang Widhi. Eyang buyutmu adalah seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang".

"Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya".

"Eyang buyutmu perempuan bernama Mahendradatta, seorang wanita yang cantik luar dalam. Kesenangannya menari membuat banyak pemuda kagum akan keluwesan, keindahan tubuh, dan wajahnya. Namun eyang buyutmu amat hati-hati dengan anugerah yang dimilikinya. Eyang buyutmu senang bercocok tanam, melibatkan diri dalam semua pekerjaan di kebun dan sawah, tak memedulikan kaki dan tubuhnya yang belepotan lumpur.

"Sekalipun demikian, itu semua tidak menghapus kecantikannya. Dia seorang yang mencintai alam sebagai ibu yang subur, memberi kehidupan, dan menumbuhkan segala pepohonan.

"Aku dinamakan Airlangga yang artinya 'air yang melompat'. Katanya, sebelum Ayahanda lahir, air ketuban ayah muncrat dan membasahi seluruh dinding kamar persalinan. Itu kejadian yang luar biasa. Para pinisepuh meramalkan bahwa romo akan menguasai banyak daerah, dan ternyata waktu dan kesempatan membimbing Ayahanda untuk mencapai semua itu. Ayahanda punya dua adik yaitu pamanmu Marakata, yang menjadi raja Bali sepeninggal ayah Paduka Raja dan Anak Wungsu, yang naik takhta sepeninggal Marakata. (  Bersambung )

Oleh  Sr. Maria  Monika  SND

21  Juli. 2021

Artikel  ke : 412

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun