Untuk melimbang-limbang segala perkara, ada yang jahat, yang baik, yang berguna, yang paling baik, yang paling berguna untuk menata hidup dalam peziarahan hidup ini sebelum bersatu dengan Sang Khalik Sumber Kehidupan itu sendiri. Yang memberi RohNya kepada setiap insan yang diciptakannya. Panggilan jiwaku ini kurasa yang sangat penting untuk kukembangkan.
Suatu hari aku menceritakan semua yang kualami ini kepada Ibunda Ratu. Beliu tidak terkejut karena Bunda biasa berlatih hidup kerohanian. Aku melihat sendiri bagaimana bundaku setiap pukul 03.00 pagi bangun untuk membaca kitab suci dan merenungkannya. Setiap kali aku terbangun pada jam-jam itu untuk ke kamar kecil, aku melihat Ibunda Ratu duduk tepekur dalam keheningan meditasi. Aku tidak berani mengganggu.
 Aku hanya menirukan apa yang dilakukannya dengan duduk di belakangnya. Tak jarang kusaksikan tubuh bundaku bersinar laksana rembulan dikelilingi sinar elok warna-warni semburat pelangi.
Aku baru tahu dari Eyang Barata bahwa sinar itu bernama aura. Waktu itu umurku baru sepuluh tahun. Kata Eyang Barata, aura bisa bertambah bagus dan melindungi kita dari serangan roh jahat, tenung, dan memiliki kekebalan sempurna kalau dilatih secara terus-menerus melalui meditasi dan kontemplasi, dan terutama dilakukan di tempat-tempat alamiah yang dipenuhi kekuasaan kehidupan positif oleh Sang Hyang Widhi.
Misalnya di tepi laut, di sebuah batu, dekat air terjun, di pegunungan, atau di perbukitan, atau di tempat-tempat yang hening, jauh dari keramaian dan kebisingan kota.
Aku bertanya kepada Ibunda Ratu mengapa beliau tidak terkejut ketika aku mengatakan bahwa aku senang bersemadi dan ingin menjadi pertapa?
Bundaku menjawab, "Ngger anakku Sanggramawijaya Tunggadewi, Bunda tidak terkejut karena sewaktu mengandung kamu, kecenderungan Bunda untuk bermeditasi dan laku tapa sangatlah kuat. Bunda tidak doyan makan, aneh memang, Bunda malah senang makan ampo[1], oleh karena itu semua tumus dan terjadi pada dirimu.
Â
"Dulu kalau kamu sakit, obatmu hanya ampo, terus mandi air sumur besar di belakang istana. Lalu badanmu kembali sehat jika semua itu Bunda lakukan dan mengusap keningmu dalam doa. Sungguh Bunda bersyukur punya anak sepertimu yang punya kekuatan rohani dan badan seimbang dan tidak pernah merepotkan Bunda maupun ramamu, Kakanda Prabu."
Â
Hatiku lega mendengar penuturan Bunda. Jalan seolah tersibak lebar, Bunda telah menyetujuiku dan memahami kalau aku suka menyendiri dan melatih diri serta mengolah rohani dalam keheningan.