Â
Sekarang aku menunggu saatnya untuk membicarakan hal ini kepada Paduka Romo Prabu Airlangga. Rama amat sibuk dengan segala urusan istana. Meskipun hubunganku dekat dengan Rama, tetap saja aku harus mencari waktu yang tepat untuk membicarakan segala sesuatu yang penting, bahkan amat penting menurut pemikiranku, karena menyangkut kehidupanku dan masa depanku.
 Pada suatu malam ketika purnama memancar menerangi buana dengan begitu indahnya, Romo Prabu duduk di tangga di bawah patung dewa Brahma. Ini merupakan kebiasaan Romo Prabu sebagai enggar-enggar penggalih (menikmati suasana hati gembira) sambil memandang purnama. Kata  eyang buyut Cakra Bumi, purnama memberi banyak berkat.
 Ikan-ikan di laut berkumpul dan mudah ditangkap sehingga memberi rezeki kepada para nelayan. Penyu-penyu bertelur di bawah pasir putih tepi pantai, dan esok paginya bisa dijadikan santapan yang penuh gizi oleh rakyat kecil yang menemukannya dengan penuh sukacita.
Â
Mereka mengambil telur penyu secukupnya untuk dijual dan dimakan sekeluarga. Mereka tidak mau mengambil semuanya, supaya telur itu bisa menetas dan kembali ke laut untuk menjadi penyu dewasa yang nantinya menghasilkan telur lagi. Itulah kehidupan rakyat yang tahu mensyukuri hidup, tahu batas untuk dapat melestarikan alam.
Â
Mereka tidak serakah untuk menyantap dan menghabiskan semuanya. Bahkan kalau mereka mendengar, melihat tetangganya tidak mendapat, mereka tulus untuk berbagi.
Â
 Hidup adalah anugerah, bagai cahaya bulan yang memberi rasa damai, maka harus dibagikan, disebarkan agar dapat dirasakan oleh yang lain. Inilah falsafah yang dihidupi oleh orang-orang yang punya budi wening dan hati penuh welas asih.
Eyang buyut juga bilang bahwa jika orang menatap purnama dan berdoa, pada Sang Hyang Widi, dia akan menemukan ketenteraman hati, keheningan batin, dan kebeningan budi.