Mohon tunggu...
Mohammad Topani S
Mohammad Topani S Mohon Tunggu... Penulis - Penulis yang ingin berbagi kebaikan walaupun hanya sedikit.

Pengisi suara (dubber).

Selanjutnya

Tutup

Diary

Perempuan Yang Punya Harga Diri

14 Juli 2023   07:53 Diperbarui: 15 Juli 2023   18:59 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan Yang Punya Harga Diri

Setiap manusia normal, pastinya ingin mendambakan kebahagiaan dalam membina rumah tangga.

Itulah tujuan utama pernikahan...

Brgitulah arti pernikahan yang kupahami menurut keyakinanku sampai sekarang.

Faktor ekonomi mungkin bisa ditaruh urutan yang ketigabelas, bukan berarti standart ekonomi yang sering dirujuk sebagai penopang kebahagiaan rumah tangga tidak penting, seperti; suami sudah bekerja, rumah siap huni ada, latar belakang pendidikan dan sebagainya.

Atau mungkin dalam falsafah jawa dilihat dari 'bibit, bebet, bobot', yang katanya sebagai dasar tolok ukur kebahagiaan dalam membina rumah tangga.

Pendapat diatas bisa benar bisa juga salah. Karena dalam perjalanan waktu, pada saat titik tertentu semua bisa berubah. Seperti batu cadas yang akhirnya berlubang, karena diterjang air sepanjang waktu.

Begitu pula kisah pernikahanku, yang kualami dengan seseorang, yang akhirnya putus ditengah jalan.

Sebenarnya aku tidak begitu tertarik untuk menikah dengan mantan suamiku ini. Tapi karena faktor umur dan setengah dijodohkan, aku tidak bisa menolak.

Lagipula dia denganku satu Almamater, jadi kalau masalah bibit, bebet, bobot sudah klir.

Umurku saat itu sudah dibilang cukup matang, untuk ukuran wanita dikampung 'wes wayahe' nikah, juga sudah lulus kuliah, jadi apalagi yang dicari...ya jelas suami yang mumpuni, kira-kira begitu pendapat trah keluarga.

Setelah menikah semua baik-baik saja, dia selalu sibuk dengan pekerjaannya, sedangkan aku sibuk menjalankan peranku sebagai ibu rumah tangga.

Tapi perlu diketahui, selama menjalankan biduk rumah tangga 5 tahun, kami belum mempunyai momongan, dalam hal ini, aku sering disalahkan.

Padahal waktu itu belum terbukti secara ilmiah, siapa diantara kami berdua mengidap 'Infertilitas', alias tidak subur.

Walaupun kami berdua lulusan Perguruan Tinggi, tapi untuk memeriksakan ke Medis tentang hal tersebut dianggap kurang pantas. Yang menganggap kurang pantas dari pihak keluarga suami, akupun tidak tahu alasan mereka. 

Tapi sudahlah...itu tidak penting.

Masalahnya...karena hal itu, jadilah aku sebagai sasaran perundungan dalam rumah tangga.

Bisa dibayangkan!

Selama 5 tahun, aku tetap bertahan atas nama kesabaran.

Sering sang suami mengatakan, ingin kawin lagi lah...mengatakan aku tidak becus memasak lah, aku dikatakan tidak lembut lah...

Memang pada saat-saat tertentu, aku melawan atas "stigma" yang selalu dilabelkan suami terhadap diriku.

Padahal dalam agama yang kuyakini, dikitab suci disebutkan, "Dan bergaulah dengan para istri secara patut...maka jika kamu tidak menyukainya, bersabarlah, bisa jadi dengan itu, Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya."

Kebaikan yang dimaksud bukan secara instan didapat, tapi harus melalui proses, bahkan proses yang panjang, dan proses ini bisa berjalan baik apabila dibarengi dengan kesabaran, maksudnya kedua suami istri harus bijak menerima keadaan tersebut.

Karena manusia itu mempunyai batas ambang toleransi, maka akhiranya terjadilah apa yang harus terjadi...

Aku kabur dari suami, dengan tidak membawa apapun, kecuali beberapa helai baju dan uang pas-pasan. Aku sadar hal ini menyalahi aturan, baik aturan Agama maupun norma budaya yang ada.

Tapi keputusanku sudah bulat, aku harus keluar dari cengkramannya. Dari tindakan yang tidak pantas, perlakuan yang kuterima sudah diluar batas kemampuan untuk terus bersabar.

Bukan hanya kata-kata kasar yang kuterima, tapi kekerasan fisikpun kerap kudapat.

Tapi semua kututupi dengan tameng kesabaran, karena aku berharap nanti pasti ada perubahan pada sikap suamiku itu.

Waktu itu, begitulah cara berfikirku.

Ternyata diksi itu keliru besar.
***

Di kota Jakarta aku mulai mencari impianku, sebagai seorang perempuan yang bebas, bebas menentukan pilihan hidup, bebas menentukan pekerjaan.

Setahuku pula, 'Perempuan' itu bukanlah pilihan kata sembarangan, maksudnya, per-empu-an diambil dari kata Empu, yang dalam kamus kbbi artinya, bisa memuliakan, bisa juga menghormati.

Ringkasnya begini, perempuan itu kalau diperlakukan dengan layak, sebagaimana yang tersurat dalam kitab suci, maka dia akan jadi kembang dalam kemuliaan itu sendiri, dihormati dalam satu kesatuan biduk rumah tangga.

Kenapa definisi ini kutuliskan, karena ada kejadian degradasi arti dari sebuah kata Perempuan.

Begini ceritanya...

Setelah lari dari rumah suami, tujuanku adalah kota Jakarta, walaupun disana aku tidak mempunyai sanak-famili.

Jadi untuk perlindungan sementara, aku memilih hotel sebagai tempat untuk mengatur rencana hari esok.

Dengan rencana, aku harus segera mencari kos-kosan, saat itu tujuanku disekitaran Harmoni dan Gajah Mada.

Apa yang terjadi?!

Saat aku mengetuk pintu rumah kos-kosan yang lumayan bagus terasnya, pertanyaan pertama yang kudapat adalah, "Untuk perempuan atau karyawati?

Karena saat itu aku belum bekerja, langsung kujawab, "Perempuan!"

Respon pemilik kos-kosan sangat tidak kuduga, pintu langsung ditutup sembari berkata, "Kamar sudah penuh!"

Saat itu aku belum paham, kenapa aku ditolak dikos-kosan tersebut.

Pulang ke hotel aku naik taksi, dalam perjalanan pulang, supir taksi nyeletuk, "Eneng perempuan ya?"

Pertanyaan ini sangat memba-gongkan nalarku, bagaimana tidak, penampilanku yang feminim disertai gincu yang merona, seperti layaknya perempuan pada umumnya, masa masih diragukan oleh pak supir?!

Saat itu aku memang masih belum paham, dia coba menghibur lagi, "Selagi muda bagus aja Neng, tapi apa eNeng gak mau menikah, berumah tangga baik-baik, atau cari kerja jadi karyawati?!"

"Saya baru saja bebas dari cengkraman suami pak, mau bebas dulu jadi perempuan yang merdeka, yang penting fokus cari uang aja."

"Iya juga sih Neng, jadi perempuan seperti eNeng cantik pasti cari uangnya gampang yaa?"

"Maksudnya gampang gimana pak?"

Si supir menjawab, "Nanti Mang boleh minta no hp nya yah, soalnya Mang sering dapat pelanggan yang cari perempuan cantik!"

"Astaghfirullahh!"

Baru aku ngeh, beda perempuan dan karyawati, pantas aja waktu di kos-kosan, cari kamar kos aku ditanya, "Untuk perempuan atau karyawati?"

Ternyata stigma yang melekat pada kata perempuan adalah sinonim dari PSK atau Kupu-Kupu Kertas, seperti judul lagu dari Ebiet G Ade.

Entah mulai kapan kata 'perempuan' terdegradasi menjadi arti yang rendah tak bernilai, dan kapan pula kata 'karyawati' menjadi arti yang sangat mulia.

Bukankah karyawati ada, karena rembesan dari alat kapitalis, bekerja seperti robot dengan prosedur yang baku, tanpa memperhatikan 'Human Etics'.

Masih ingatkah, kasus tentang syarat perpanjangan kontrak karyawati, yang harus menemani atasannya untuk berlibur? Apakah ini mulia?

Ah...tapi biarlah, aku tidak mau ambil pusing dengan persoalan ini.

Kata Prof BJ Habibie, "Hindarilah berdebat dengan orang bodoh, tapi berdebatlah dengan 100 orang pintar."

Maknanya, berdebat dengan orang bodoh dengan 100 dalil, tetap tidak bisa membuka cakrawala fikirannya.

Sedang berdebat dengan 100 orang pintar, dengan hujjah satu dalil shahih, mereka akan menerimanya.
***

Sekarang aku sudah nyaman hidup sendiri, hidup dengan pekerjaan yang mengangkat harkat-martabat perempuan, yang sejalan dengan arti per-Empu-an, dimuliakan dan dihormati.

Penulis, Mohammad Topani S.

Catatan: Cerita diatas adalah pengalaman pribadi seseorang, yang tidak mau disebutkan identitasnya, yang dituturkan kepada penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun