Pulang ke hotel aku naik taksi, dalam perjalanan pulang, supir taksi nyeletuk, "Eneng perempuan ya?"
Pertanyaan ini sangat memba-gongkan nalarku, bagaimana tidak, penampilanku yang feminim disertai gincu yang merona, seperti layaknya perempuan pada umumnya, masa masih diragukan oleh pak supir?!
Saat itu aku memang masih belum paham, dia coba menghibur lagi, "Selagi muda bagus aja Neng, tapi apa eNeng gak mau menikah, berumah tangga baik-baik, atau cari kerja jadi karyawati?!"
"Saya baru saja bebas dari cengkraman suami pak, mau bebas dulu jadi perempuan yang merdeka, yang penting fokus cari uang aja."
"Iya juga sih Neng, jadi perempuan seperti eNeng cantik pasti cari uangnya gampang yaa?"
"Maksudnya gampang gimana pak?"
Si supir menjawab, "Nanti Mang boleh minta no hp nya yah, soalnya Mang sering dapat pelanggan yang cari perempuan cantik!"
"Astaghfirullahh!"
Baru aku ngeh, beda perempuan dan karyawati, pantas aja waktu di kos-kosan, cari kamar kos aku ditanya, "Untuk perempuan atau karyawati?"
Ternyata stigma yang melekat pada kata perempuan adalah sinonim dari PSK atau Kupu-Kupu Kertas, seperti judul lagu dari Ebiet G Ade.
Entah mulai kapan kata 'perempuan' terdegradasi menjadi arti yang rendah tak bernilai, dan kapan pula kata 'karyawati' menjadi arti yang sangat mulia.