Mohon tunggu...
Reza Muhammad
Reza Muhammad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sastra Kelamin

16 Juni 2017   15:01 Diperbarui: 16 Juni 2017   17:01 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak pernah kumiliki minat membaca meskipun bekerja di kantor penerbit koran terkenal. Setiap hari aku memegang naskah-naskah, entah itu berita atau cerita. Tapi tak ada satu tulisan pun yang betul-betul bisa kupahami. Tapi, tak jadi soal. Aku disini bekerja sebagai office boy. Saat memegang naskah,  itu karena sedang dititah memfotokopi.

Di kantor koran yang berlokasi di dekat Tugu Monas ini, jumat pagi biasanya diwarnai keceriaan semua karyawan. Seperti pagi ini. Hampir semuanya ramah padaku.

"Pagi Akang... Mau weekend, nih. Senang, deh. Besok gue bisa jalan-jalan seharian sama pacar," sapa salah seorang wanita staf marketing yang selalu menegurku bila berpapasan di dapur kantor. Cantik, seksi, selalu senyum. Eleuh-eleuh... Membuatku senang kalau melihatnya.

 "Tolong buatkan kopi dan tinggalkan di meja gue, Kang. Gue ke lobi sebentar," tandasnya seraya berlalu.

Namun jumat pagi pula yang memberiku beban kerja lebih banyak. Setiap jelang akhir pekan, anggota-anggota redaksi berkumpul di ruangan yang disebut Ruang Shakespeare. Jumlahnya ada belasan orang. Perintah mereka padaku beraneka ragam. Dari sekedar minta dibuatkan kopi, dirapikan meja kerjanya saat ditinggal rapat, hingga dibelikan peralatan rumah tangga yang tak berhubungan dengan urusan kantor.

Tapi tumben, pagi ini permintaan mereka hanya dibuatkan kopi. Bahkan penyajian yang terlambat gaya-gara sebelumnya aku harus mencuci cangkir tak mereka hiraukan. Dari pengalaman yang sudah-sudah, gerutu tak sabaran akan berkumandang tak lama setelah kaki ini kuinjakkan di dapur. Setelah dua bulan bekerja, aku semakin yakin kalau anggota-anggota dewan redaksi terhormat ini gampang naik darah kalau belum minum kopi.

Mereka mengacuhkan diriku yang mendorong troli penyajian memasuki ruang rapat yang namanya bagiku amat angker;  Shakespeare. Aku pernah melihat nama itu tertera pada sampul buku di rak Gramedia saat disuruh membeli peralatan tulis kantor. Bukunya tebal! Melihatnya saja sudah pusing. Apalagi kalau membacanya.

Pelan-pelan, kupindahkan teko kopi (yang airnya harus dimasak bukan dipanaskan di dispenser; ini permintaan Bu Retno, editor rubrik mode dan kecantikan) ke meja panjang dekat jendela. Aku mengeluarkan cangkir satu demi satu dari troli penyajian. Cangkir keramik itu lalu kubersihkan dengan kertas tisu. Sambil menuangkan kopi, kulirik kumpulan orang pintar di meja bundar di tengah ruangan yang sejuk ini. Pimpinan rapatnya sedang membaca beberapa lembar kertas. Sekawanan anggota redaksi tampak menunggu reaksinya. Semuanya tegang. Beda sekali dengan  pembawaan santai wanita staf marketing yang kujumpai pagi tadi.

"Yang begini, nih, sastra kelamin!" ujar bapak berambut gondrong (yang kuketahui bernama Pak Ganda). Ia hempaskan lembaran kertas ke tengah meja. Lembaran itu menyenggol vas bunga dan tumpahannya mengotori meja.

Tanpa diperintah, aku bergegas menghampiri meja dan melap air yang tumpah. Aku keheranan dengan ucapan barusan. Sastra kelamin? Baru kali ini kudengar. Selama ini sastra yang kutahu itu yah seperti cerita Dayang Sumbi dan Tangkuban Perahu. Atau kalau mau yang kebarat-baratan; Romeo and Juliet. Itu saja. Kalau sastra lain yang pernah kulihat-lihat di toko buku kesannya berat sekali. Judulnya saja njelimet. Memang sampulnya cantik. Tapi baru membaca beberapa halaman aku sudah tidak kuat. Tak paham jalan ceritanya.

Aku kembali dengan kain lap basah dan meletakkannya di rak paling bawah troli. Kurampungkan menuang kopi ke semua cangkir. Aku bertanya dalam hati. Sastra kelamin? Hm... Pasti ada hubungannya dengan kelamin. Cerita tentang alat kelamin, kah? Pasti porno, atuh. Ah! Dosa! Kuhentakkan sendok teh sampai jatuh ke lantai dan berdenting keras. Bu Retno sampai melototi kecerobohanku. Terbelalaknya kedua mata yang kelopaknya diwarnai itu mengingatkanku pada pelototan Pak Haji, pengurus panti asuhan yang membesarkanku di kampung, saat menangkap basah aku dan teman sekelas memandangi gambar-gambar luar biasa di sebuah buku yang disebarkan secara sembunyi-sembunyi.

Kulirik Pak Ganda yang sedang menyampaikan penolakannya pada naskah tadi. Pria paruh baya yang berbusana rapi dan apik itu dipandangi anak buahnya dengan rasa  kagum. Mereka semua begitu serius, konsentrasi, takzim mendengarkannya. Persis seperti warga kampungku saat mendengarkan Ulla Kadut bertutur di kantor kelurahan bulan Mei kemarin. Ia datang tepat seminggu sebelum gempa hebat yang katanya berkekuatan 6,3 Skala Richter menghancurkan bangunan yang menampung puluhan anak yatim piatu seperti aku. Dari omongan warga kampung, Ulla Kadut itu artis dangdut top dari kampungku di Tasikmalaya. Perempuan desa nan bahenol itu mendadak terkenal di Jakarta dan sempat pulang kampung saat lebaran untuk membuat konser gratis sambil bagi-bagi uang. Tunduknya para tetanggaku di hadapan si biduan bahenol yang memberi sumbangan itu persis seperti yang dilakukan bapak-bapak dan ibu-ibu disini.

"Saya tidak menemukan esensi kemanusiaan atau feminisme yang signifikan dari eksplotasi vagina, orgasme atau penis dalam cerita pendek ini. Reading this short story wasted my time!"

Pak Ganda bila berbicara suka memakai bahasa yang tak kukuasai. Aku jadi setengah-setengah memahaminya.

"Waktu saya terbuang cuma untuk memastikan naskah ini tak perlu dimuat. Kalian yang memegang rubrik sastra seharusnya tak perlu repot-repot meminta saran saya. I believe you are competent enough to do your job," Pak Ganda bersungut-sungut, mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. Ditanggapi bapak berperut gendut yang duduk di sebelahnya dengan cibiran yang tak kalah kusut.

Bu Retno mengangguk-angguk dengan seringai. "Saya ini sampai kaget, lho, Pak. Gaya tulis dan isinya itu, lho. Kesel, juga, toh? Mbok, ya, nulis itu pakai etika. Ndak kebablasan seperti ini. Kok bisa-bisanya dianggap layak untuk dimuat," keluhnya. Mereka bertiga tampak kompak dalam kondisi gundah gulana.

Aku masih menerka-nerka seperti apa isi sastra kelamin ini. Pasti porno! Selintas bayangan Ulla Kadut melantunkan Talak Tilu sambil berjoget seronok diiringi seruan asyik dari pria-pria bermata nanar di kampung muncul di benakku. Astaga! Ya, Gusti, ampuni hamba-Mu khilaf.

"Tapi, Pak. Penulis ini hits banget, deh," suara renyah dari perempuan muda yang duduk berseberangan dengan Bu Retno tiba-tiba menimpali. Wah, nyali cewek ini besar sekali, pikirku. Biasanya tak ada yang berani berkomentar pada Pak Ganda kecuali sesama rekan seniornya.

Aku menengok si empunya suara. Oh, dia salah satu dari tiga anggota redaksi yang memegang rubrik sastra dan seni. Dia yang paling muda disini. Agaknya sepantaran aku. Pernah kudengar ia dijuluki Miss Millenial. Tak tahu sebutan itu artinya apa. Yang kutahu Miss Indonesia saja. Tapi redaktur ini tak terlihat ramah senyum dan berambut panjang seperti Miss Indonesia. Dia memakai jilbab dan berkacamata.  Aku tak ingat ada kontestan ratu-ratuan itu yang memakai jilbab atau berkacamata.

Gadis itu melanjutkan dengan tenang dan lugas, "Bahkan majalah DECADE dan stasiun televisi BBN pernah membahas blog miliknya. Dia dianggap cikal bakal feminis sekaligus humanis generasi millenial masa depan. Apa nggak sebaiknya suaranya kita siarkan melalui koran kita? Supaya  angka demografi pembaca usia muda kita naik, Pak."

Pak Ganda memicingkan matanya, mendengus lalu meninggikan nada bicaranya. "Ah, why do you care about that? Orang luar tahu apa? We have different values. Mereka orang barat. Kita orang timur. Lagipula, dimana korelasi feminisme dengan hal pribadi yang nyaris identik dengan pornografi? Penulis itu boleh memilih untuk mengklaim dirinya feminis atau humanis. That's their choice. Hak mereka itu. Silakan saja, tapi harus tahu batas! Harus sopan! Pikirkan efeknya bagi pembaca yang tidak secerdas mereka!" cecar Pak Ganda. Kelihatannya berang. Aku khawatir dia akan memecat si jurnalis baru berjulukan Miss Millisial. Eh, Millebilal? Ohya, Millenial! Aku sering lupa cara mengucapkannya.

Staf yang baru itu menelan ludah, terlihat salah tingkah saat merapikan kerudungnya. Tapi ia tak diam saja. "Sorry banget, nih, Pak. Menurut si penulis, sudah terlalu lama hak perempuan atas ekspresi seksual terbungkam oleh kekuasaan pria. Media juga jarang memberi kesempatan untuk memuat artikel kemanusian seperti yang ia tulis di blog tentang..."

Brak!

Gebrakan kedua tangan Bu Retno pada meja membungkam argumen si Miss Millenial.  Akibatnya vas bunga oleng dan menumpahkan semua isinya.

"Ya ampun, Desna! Kelewatan kamu! Malu dengan jilbab!" Jari telunjuknya ditudingkan, hingga semua yang ada disana silau oleh kilatan cincin berlian luar biasa banyak yang menghiasi jari manisnya.

Bu Retno yang juga berkerudung sementara alisnya ditato lalu berorasi membela kaumnya di depan anggota dewan redaksi yang mayoritas pria. Katanya, seksualitas bukanlah hal yang pantas dibicarakan perempuan beradat timur di ruang publik. Seks itu bagi kaumnya adalah hal domestik. Tak perlu diumbar dan didiskusikan di ruang publik.

"Perempuan mbok ya jangan kelewat vokal. Jangan seperti perempuan nakal yang lebih cablak daripada pria di urusan tempat tidur."

Bu Retno meraup lembaran kertas yang kuduga si satra kelamin.  Memberinya pandangan hina, lalu menghempaskannya ke atas vas bunga yang tumpahannya belum juga kubersihkan karena masih takjub melihat konflik yang terjadi.

"Ngomongin beginian jangan di koran kami, tapi disana di majalah esek-esek!"

Kalimat terakhir Bu Retno disambut gerai tawa tak berkesudahan seluruh anggota rapat, terkecuali si jurnalis millenial.

"Ingat, Desna. Kita orang timur, budaya kesopanan tak boleh luntur!" tandasnya diiringi tepuk tangan anggota redaksi yang lain. Ia lalu mendongak ke Pak Ganda seolah-olah mengembalikan kendali pada empunya.

Pak Ganda yang tadinya cukup tegang kini sudah duduk santai di tempatnya. Lalu ditambahkannya dalam intonasi datar, dalam suara yang berat, "Sebagai surat kabar lokal yang sudah lebih empat puluh tahun umurnya, janganlah citra dan martabat kita terciprat lumpur dari comberan sastra kelamin. Biar saja tulisan sejenis beredar di kalangannya. Kalangan yang tak terbasuh agama dan moral."

Selanjutnya entah bagaimana pembicaraan berlanjut ke seputar pengalaman hidup Pak Ganda. Semua anggota dewan redaksi terlihat menyimak dengan tekun. Bila Pak Ganda tertawa, mereka ikut tertawa. Bila Pak Ganda menggerutu, mereka ikut mengutuk.

Tak terasa, dari tadi hanya satu cangkir yang kuaduk-aduk. Kubereskan tugasku, kuletakkan empat cangkir kopi dalam satu nampan kecil. Melihat jumlah mereka yang ada dua belas orang, berarti aku harus bolak-balik tiga kali.

Biasanya perbincangan mereka ngalor-ngidul dan akan kembali ke topik sebelumnya. Dan seperti yang sudah kuduga, Pak Ganda kembali membicarakan sastra kelamin.

"Ada baiknya kita melindungi sastra dengan menjaganya dari pengaruh tulisan kurang etis seperti ini," imbuhnya dengan penuh kharisma.

Redaktur baru bernama Desna tadi kini diam saja. Sesekali ia menunduk dan berkutat dengan telepon genggamnya. Kudengar bisikan pria muda di sebelahnya yang menyalahkan keputusan Desna berniat  meloloskan tulisan itu ke halaman sastra minggu ini.

Kuintip judul naskah yang membuat heboh itu saat meletakkan kopi di meja rapat. Judulnya "Vagina dengan Lakban". Waduh. Seakan-akan guntur memekakkan kupingku saat membacanya.

Seorang bapak yang aku tak tahu namanya karena dia memang jarang terlihat di kantor sontak membuka mulut. Kejadian seperti Jumat pagi ini cukup langka. Aku seharusnya sudah kembali ke dapur, tapi aku pura-pura sibuk karena ingin tahu kelanjutan rapat mulia yang membuka perbincangan tentang organ tubuh yang biasanya ditutupi itu.

"Eh... Kalau boleh memberi informasi, eh... rating halaman sastra kita, eh... untuk cerpen, eh... menurun, lho." Ia berbicara lambat dan gagap.  

"Mana mungkin?" pekik Bu Retno. "Lha wong halaman sastra kita selalu memuat karya sastrawan bonafid, berbobot, senior!" Tak pernah aku melihat Bu Retno seperti ini. Dalam membicarakan rubrik mode dan kecantikan saja ia tak pernah menunjukkan semangat yang berapi-api.

Pria berperawakan tegap yang hingga saat ini tak pernah kutahu namanya ini (esoknya aku baru tahu kalau namanya Pak Yahya, seorang wartawan foto senior) mengatakan dalam tiga tahun terakhir memang ada perubahan dalam demografi pembaca mereka. Sejak mereka 'memudakan' tampilan dan gaya bahasa berita, rentang usia pembacanya memusat pada kalangan muda.

Menanggapi Pak Yahya, sang gadis millenial memberanikan diri bicara kembali. Ia menambahkan, kalau artikel atau cerpen karya penulis muda lebih banyak mendapat respon pembaca. Terbukti dari data statistik melalui media online koran itu. Ia menghela nafas beberapa saat, lalu berkomentar, " Nggak ada yang salah, sih, dengan karya penulis senior. Cuma, mungkin sekarang penulis-penulis muda dapat lebih banyak perhatian. Khususnya si penulis cerpen 'sastra kelamin' itu, Pak, Bu..."

Pak Ganda  lekat-lekat menatap Desna saat perempuan itu berargumen. Bu Retno terlihat tidak senang dan ingin bicara, tapi matanya sesekali mengekor gerak gerik pimpinannya seperti membaca situasi.

"Sudahlah, Mas," ujar Pak Yahya, "Kita, eh... harus muat, eh... tulisan ini. Eh... Sudah untung penulisnya, eh... memilih kita!"

"Betul! Biar rubrik sastra kita tidak makin sepi pembaca!" seru pria muda yang duduk di samping Desna. Lho, bukannya dia tadi yang berbisik-bisik menyalahkan Desna? Atau aku yang salah ingat ya? Entahlah. Ruang rapat ini terlihat bagai teater drama bagiku. Terkadang ada sosok pahlawan. Ada masalah yang amat penting. Tak jarang ada intrik.

Kulihat Desna semakin percaya diri dan berusaha meyakinkan semuanya. "Sekali tulisan ini dimuat di koran kita, penulis muda lain akan tertarik mengirim karyanya. Demografi kita bisa meningkat, sehingga popularitas kembali meroket!"

Pak Ganda bersandar lesu di kursinya seperti terjepit. Tak terbayangkan olehku pria cerdas bisa merasa bingung.

"Sastra kelamin tak beretika terpampang di koran yang menjadi citra sastra tertinggi? Catastrophe. Catastrophe," Pak Ganda berkomat-kamit seperti dukun yang putus asa.

"Apa bapak lebih suka rubrik sastra di koran kita sepi seperti kuburan? Ngotot dan membuat pembaca kita pindah ke kompetitor? Ingat Pak! Koran kita terkenal juga karena kritis terhadap karya sastra!" Desna yang sebelumnya ciut di mejanya, sekarang sudah seperti kerasukan setan. Nada suaranya sengit mengintimidasi.

Sekonyong-konyong aku merasa tertusuk dinginnya tatapan Bu Retno yang mengawasi gerak-gerikku. Batuk keringnya yang dibuat-buat mendorong gerakan tanganku untuk cepat-cepat membenahi teko di troli penyaji dan segera meninggalkan tontonan ini.

"Mas, mejanya dirapikan nanti saja sesudah rapat," dengan suara yang merdu ia mengusirku.

Begitulah rapat redaksi berlangsung setiap jumat. Jumat berikutnya pun mereka memberiku pertunjukan yang berbeda. Apapun yang diributkan selalu dihiasi anggukan-anggukan setuju semua anggota redaksi terutama dari Bu Retno dan bapak berperut gendut yang selalu berada di sebelah Pak Ganda. Rapat jumat selalu diakhiri monolog bermuatan wejangan dan kisah hidup Pak Ganda. Semua  mendengarkan sampai Pak Ganda lelah bercerita dan menyudahi rapat. Selanjutnya anggota dewan redaksi itu akan terbirit-birit dikejar deadline dan acara akhir pekan.

Omongan tentang sastra kelamin sudah tak pernah lagi kudengar di ruang Shakespeare. Seperti jumat pagi yang entah sudah ke berapa kali sejak drama pembahasan si sastra aneh itu, suasana akhir pekan yang ceria kembali mewarnai kantor.

"Thanks God it's Friday, Akang...!" Ah, hanya si wanita staf marketing ini yang selalu menyapaku, seorang office boy dari kampung, dengan tulus layaknya sahabat. Ia melenggang bagai peragawati dan melaluiku menuju ruang pantry. "Gue malam ini diundang mau lihat cowok seksi dan seru-seruan di Bachelorette Party, lho," bisiknya tepat di kuping kiriku sehingga wangi parfum dari tubuhnya jelas  tercium olehku.

Aku tak menangkap ucapannya dengan jelas. Kusahut dengan bingung. "Bacereret pati? Apa itu, Mbak?"

Namun suara yang keluar dari tenggorokanku hanyalah bunyi-bunyian tak jelas. Aku terlahir bisu.

Ah, si wanita karir yang cantik itu hanya tertawa kecil menanggapi pertanyaanku dan dengan begitu gesit sudah melangkahkan tungkainya yang panjang terbalut rok mini, meninggalkanku yang semakin jauh tenggelam dalam kebingungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun