Mohon tunggu...
Reza Muhammad
Reza Muhammad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sastra Kelamin

16 Juni 2017   15:01 Diperbarui: 16 Juni 2017   17:01 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Brak!

Gebrakan kedua tangan Bu Retno pada meja membungkam argumen si Miss Millenial.  Akibatnya vas bunga oleng dan menumpahkan semua isinya.

"Ya ampun, Desna! Kelewatan kamu! Malu dengan jilbab!" Jari telunjuknya ditudingkan, hingga semua yang ada disana silau oleh kilatan cincin berlian luar biasa banyak yang menghiasi jari manisnya.

Bu Retno yang juga berkerudung sementara alisnya ditato lalu berorasi membela kaumnya di depan anggota dewan redaksi yang mayoritas pria. Katanya, seksualitas bukanlah hal yang pantas dibicarakan perempuan beradat timur di ruang publik. Seks itu bagi kaumnya adalah hal domestik. Tak perlu diumbar dan didiskusikan di ruang publik.

"Perempuan mbok ya jangan kelewat vokal. Jangan seperti perempuan nakal yang lebih cablak daripada pria di urusan tempat tidur."

Bu Retno meraup lembaran kertas yang kuduga si satra kelamin.  Memberinya pandangan hina, lalu menghempaskannya ke atas vas bunga yang tumpahannya belum juga kubersihkan karena masih takjub melihat konflik yang terjadi.

"Ngomongin beginian jangan di koran kami, tapi disana di majalah esek-esek!"

Kalimat terakhir Bu Retno disambut gerai tawa tak berkesudahan seluruh anggota rapat, terkecuali si jurnalis millenial.

"Ingat, Desna. Kita orang timur, budaya kesopanan tak boleh luntur!" tandasnya diiringi tepuk tangan anggota redaksi yang lain. Ia lalu mendongak ke Pak Ganda seolah-olah mengembalikan kendali pada empunya.

Pak Ganda yang tadinya cukup tegang kini sudah duduk santai di tempatnya. Lalu ditambahkannya dalam intonasi datar, dalam suara yang berat, "Sebagai surat kabar lokal yang sudah lebih empat puluh tahun umurnya, janganlah citra dan martabat kita terciprat lumpur dari comberan sastra kelamin. Biar saja tulisan sejenis beredar di kalangannya. Kalangan yang tak terbasuh agama dan moral."

Selanjutnya entah bagaimana pembicaraan berlanjut ke seputar pengalaman hidup Pak Ganda. Semua anggota dewan redaksi terlihat menyimak dengan tekun. Bila Pak Ganda tertawa, mereka ikut tertawa. Bila Pak Ganda menggerutu, mereka ikut mengutuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun