Mohon tunggu...
Reza Muhammad
Reza Muhammad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sastra Kelamin

16 Juni 2017   15:01 Diperbarui: 16 Juni 2017   17:01 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak terasa, dari tadi hanya satu cangkir yang kuaduk-aduk. Kubereskan tugasku, kuletakkan empat cangkir kopi dalam satu nampan kecil. Melihat jumlah mereka yang ada dua belas orang, berarti aku harus bolak-balik tiga kali.

Biasanya perbincangan mereka ngalor-ngidul dan akan kembali ke topik sebelumnya. Dan seperti yang sudah kuduga, Pak Ganda kembali membicarakan sastra kelamin.

"Ada baiknya kita melindungi sastra dengan menjaganya dari pengaruh tulisan kurang etis seperti ini," imbuhnya dengan penuh kharisma.

Redaktur baru bernama Desna tadi kini diam saja. Sesekali ia menunduk dan berkutat dengan telepon genggamnya. Kudengar bisikan pria muda di sebelahnya yang menyalahkan keputusan Desna berniat  meloloskan tulisan itu ke halaman sastra minggu ini.

Kuintip judul naskah yang membuat heboh itu saat meletakkan kopi di meja rapat. Judulnya "Vagina dengan Lakban". Waduh. Seakan-akan guntur memekakkan kupingku saat membacanya.

Seorang bapak yang aku tak tahu namanya karena dia memang jarang terlihat di kantor sontak membuka mulut. Kejadian seperti Jumat pagi ini cukup langka. Aku seharusnya sudah kembali ke dapur, tapi aku pura-pura sibuk karena ingin tahu kelanjutan rapat mulia yang membuka perbincangan tentang organ tubuh yang biasanya ditutupi itu.

"Eh... Kalau boleh memberi informasi, eh... rating halaman sastra kita, eh... untuk cerpen, eh... menurun, lho." Ia berbicara lambat dan gagap.  

"Mana mungkin?" pekik Bu Retno. "Lha wong halaman sastra kita selalu memuat karya sastrawan bonafid, berbobot, senior!" Tak pernah aku melihat Bu Retno seperti ini. Dalam membicarakan rubrik mode dan kecantikan saja ia tak pernah menunjukkan semangat yang berapi-api.

Pria berperawakan tegap yang hingga saat ini tak pernah kutahu namanya ini (esoknya aku baru tahu kalau namanya Pak Yahya, seorang wartawan foto senior) mengatakan dalam tiga tahun terakhir memang ada perubahan dalam demografi pembaca mereka. Sejak mereka 'memudakan' tampilan dan gaya bahasa berita, rentang usia pembacanya memusat pada kalangan muda.

Menanggapi Pak Yahya, sang gadis millenial memberanikan diri bicara kembali. Ia menambahkan, kalau artikel atau cerpen karya penulis muda lebih banyak mendapat respon pembaca. Terbukti dari data statistik melalui media online koran itu. Ia menghela nafas beberapa saat, lalu berkomentar, " Nggak ada yang salah, sih, dengan karya penulis senior. Cuma, mungkin sekarang penulis-penulis muda dapat lebih banyak perhatian. Khususnya si penulis cerpen 'sastra kelamin' itu, Pak, Bu..."

Pak Ganda  lekat-lekat menatap Desna saat perempuan itu berargumen. Bu Retno terlihat tidak senang dan ingin bicara, tapi matanya sesekali mengekor gerak gerik pimpinannya seperti membaca situasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun