Mohon tunggu...
Reza Muhammad
Reza Muhammad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sastra Kelamin

16 Juni 2017   15:01 Diperbarui: 16 Juni 2017   17:01 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sudahlah, Mas," ujar Pak Yahya, "Kita, eh... harus muat, eh... tulisan ini. Eh... Sudah untung penulisnya, eh... memilih kita!"

"Betul! Biar rubrik sastra kita tidak makin sepi pembaca!" seru pria muda yang duduk di samping Desna. Lho, bukannya dia tadi yang berbisik-bisik menyalahkan Desna? Atau aku yang salah ingat ya? Entahlah. Ruang rapat ini terlihat bagai teater drama bagiku. Terkadang ada sosok pahlawan. Ada masalah yang amat penting. Tak jarang ada intrik.

Kulihat Desna semakin percaya diri dan berusaha meyakinkan semuanya. "Sekali tulisan ini dimuat di koran kita, penulis muda lain akan tertarik mengirim karyanya. Demografi kita bisa meningkat, sehingga popularitas kembali meroket!"

Pak Ganda bersandar lesu di kursinya seperti terjepit. Tak terbayangkan olehku pria cerdas bisa merasa bingung.

"Sastra kelamin tak beretika terpampang di koran yang menjadi citra sastra tertinggi? Catastrophe. Catastrophe," Pak Ganda berkomat-kamit seperti dukun yang putus asa.

"Apa bapak lebih suka rubrik sastra di koran kita sepi seperti kuburan? Ngotot dan membuat pembaca kita pindah ke kompetitor? Ingat Pak! Koran kita terkenal juga karena kritis terhadap karya sastra!" Desna yang sebelumnya ciut di mejanya, sekarang sudah seperti kerasukan setan. Nada suaranya sengit mengintimidasi.

Sekonyong-konyong aku merasa tertusuk dinginnya tatapan Bu Retno yang mengawasi gerak-gerikku. Batuk keringnya yang dibuat-buat mendorong gerakan tanganku untuk cepat-cepat membenahi teko di troli penyaji dan segera meninggalkan tontonan ini.

"Mas, mejanya dirapikan nanti saja sesudah rapat," dengan suara yang merdu ia mengusirku.

Begitulah rapat redaksi berlangsung setiap jumat. Jumat berikutnya pun mereka memberiku pertunjukan yang berbeda. Apapun yang diributkan selalu dihiasi anggukan-anggukan setuju semua anggota redaksi terutama dari Bu Retno dan bapak berperut gendut yang selalu berada di sebelah Pak Ganda. Rapat jumat selalu diakhiri monolog bermuatan wejangan dan kisah hidup Pak Ganda. Semua  mendengarkan sampai Pak Ganda lelah bercerita dan menyudahi rapat. Selanjutnya anggota dewan redaksi itu akan terbirit-birit dikejar deadline dan acara akhir pekan.

Omongan tentang sastra kelamin sudah tak pernah lagi kudengar di ruang Shakespeare. Seperti jumat pagi yang entah sudah ke berapa kali sejak drama pembahasan si sastra aneh itu, suasana akhir pekan yang ceria kembali mewarnai kantor.

"Thanks God it's Friday, Akang...!" Ah, hanya si wanita staf marketing ini yang selalu menyapaku, seorang office boy dari kampung, dengan tulus layaknya sahabat. Ia melenggang bagai peragawati dan melaluiku menuju ruang pantry. "Gue malam ini diundang mau lihat cowok seksi dan seru-seruan di Bachelorette Party, lho," bisiknya tepat di kuping kiriku sehingga wangi parfum dari tubuhnya jelas  tercium olehku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun