Suara Zie mulai tersedu-sedu, tanpa kusadari ia telah mengeluarkan cairan bening dari kedua matanya.
"Hei, kenapa kau menangis?" Aku ambil kedua pipi Zie, menghapus air matanya.
"Dalam mimpiku Daniel menolak cintaku dan lebih memilih wanita lain." Tangisan Zie makin menjadi-jadi.
Aku pun memeluknya. "Tenanglah! Itu hanya mimpi."
"Tapi aku takut mimpi itu jadi kenyataan."
"Akan kupastikan itu tidak akan pernah terjadi."
Setidaknya begitu usahaku untuk mempertahankan persahabatan ini yang telah aku jalani sembilan tahun lamanya. Aku tidak ingin membuang hubungan persahabatan ini hanya karena aku egois memikirkan kebahagiaanku sendiri.
Ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Merelakan orang yang kita cintai bersama dengan yang lain adalah ujian terberat dalam roda kehidupan. Sehari, seminggu, sebulan, bahkan setahun tidak cukup untuk menghapus memori dalam ingatan. Kecuali dengan merestarnya kembali ke pengaturan awal.
Sepulangnya dari sekolah, tiba-tiba seseorang menutup kedua mataku dari belakang. Namun, dari gelang yang ia pakai, aku tahu kalau ia adalah Daniel.
"Daniel, tolong jangan ganggu aku!" Bentakku, menepis kedua tangannya.
"Hei, kenapa kau marah? Ada apa denganmu? Apa kau sakit?" Tanya Daniel khawatir.