Mbak Salamah pun mencari di lemari yang khusus untuk menyimpan buku-buku Sevi. Ayah Sevi memang sengaja menyediakan sebuah lemari khusus untuk buku-buku Sevi. Tujuannya hanya satu, biar buku-buku Sevi tak berkeliaran ke mana-mana. Dan yang lebih penting lagi, agar Sevi tak selalu berteriak saat hendak berangkat sekolah hanya karena ada buku yang belum tertemukan.
Tapi bukan Sevi kalau tak teriak. Sepertinya teriak sudah menjadi profesi Sevi. Sehingga tak mungkin kebiasaan teriak itu musnah hanya gara-gara disediakan lemari khusus untuk menyimpan buku pelajaran Sevilla.
“Tidak ada di lemari, Vi,” kata Mbak Salamah setelah membongkar seisi lemari.
“Pokoknya cari sampai ketemu. Soalnya guru bahasa Indonesia Sevi galak banget. Kemarin aja si Roni hampir dimakannya hanya gara-gara lupa bawa buku catatan. Sevi tidak mau masuk sekolah kalau buku bahasa Indonesia Sevi tidak ditemukan!” kata Sevi sambil masuk kamar dan membanting pintu kamar.
Sebetulnya yang paling kasihan kalau Sevi marah adalah pintu kamar. Dia selalu kebagian dibanting-banting kalau Sevi sedang marah. Wajar saja kalau engselnya sudah lima kali diganti.
Mbak Salamah pun menjadi semakin panik. Dan kalau Mbak Salamah sudah panik, bukannya tambah beres kerjanya. Kalau sudah panik, penyakit Mbak Salamah adalah perut mules dan mesti buang-buang air sampai minimal tiga kali. Kan jadi lama lagi mencari bukunya?
“Ini buku siapa?” itulah suara Shela. Yang selalu lebih sabar dalam melakukan segala hal. Lebih teliti dalam mencari.
“Apa?” tanya Sevi dari balik pintu.
“Ini buku bahasa yang kamu cari kan?” tanya Shela sambil menenteng buku bahasa yang memang sedang dicari Sevi.
“Memang ada di mana, Kak Shela?” Sevi mencoba baik hati, walau sebetulnya hati Sevi dongkol karena Kak Shela selalu muncul bagai pahlawan untuk dirinya.
“Ada di tas kamu.”