Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Buku Harian Shella

11 Juli 2015   08:20 Diperbarui: 11 Juli 2015   08:20 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Seperti biasa.  Pagi selalu memunculkan asa.  Mungkin inilah gunanya pagi.  Seandainya pagi tak ada, mungkin asa juga sudah lama tiada.  Dan karena pagi hadir setiap hari, maka asa selalu menghampiri siapa pun termasuk hadir di hati Sevi hari ini.

Hari ini Sevi memang sedang bahagia.  Shela semalam pergi dari rumahnya.  Pergi untuk selama-lamanya.  Dan mudah-mudahan tak lagi muncul di hadapan Sevi.

Shela memang sudah kembali ke orangtuanya.  Orangtua Shela sudah mendapatkan rumah baru di kota Tegal.  Di tempat tugas barunya.  Papa Shela memang seorang pegawai pajak.  Walau Papa Shela pegawai pajak, tapi Papa Shela tidak seperti Gayus Tambunan, lho.  Papa Shela jujur dalam melaksanakan tugasnya.  Tak pernah korupsi.  Walau hidupnya tak miskin, Papa Shela juga tak kaya.  Apalagi bergelimang harta.

Shela malah hidup dalam terpaan kedisiplinan.  Sejak kecil Shela selalu dididik untuk disiplin dan mandiri.  Mama Shela memang seorang guru.  Guru yang menurut Shela lebih disiplin daripada tentara sekali pun.  Sejak kecil Shela harus selalu bisa mengatur waktunya.  Mengatur keuangannya.  Mengatur segalanya.

Karena kemandiriannya itu, Shela dititipkan sementara di rumah Sevi.  Ayah Sevi dan Papa Shela memang bersaudara.  Kakak dan adik.  Ayah Sevi anak nenek yang ketujuh.  Sedangkan Papa Shela anak nenek yang ketiga.  Nenek memang memiliki anak banyak.  Ada sepuluh.  Sehingga kalau ada kumpul keluarga, sudah lebih dari satu RT.  Kalau demikian, Sevi berarti sepupu Shela.

Tapi ya itulah.  Walau sepupu, antara Shela dan Sevi itu perbedaannya bagai bumi dan langit.  Bagai timur dan barat.  Kalau Shela anaknya mandiri, maka Sevi pasti kebalikannya.  Sevi selalu tergantung pada orang lain.  Terutama dengan Mbak Salamah.  Setiap memerlukan sesuatu pasti yang terdengar adalah teriakan Sevi.

“Mbak...!” itulah senjata utama Sevi.

“Ada apa, Vi?” tanya Mbak Salamah yang selalu lari tergopoh-gopoh kalau dipanggil Sevi.  Bukan apa-apa, kalau dipanggil dan tidak cepat-cepat datang, maka teriakan Sevi bisa terdengar sampai ke Ujung Kulon.  Kasihan kan badak-badak di Ujung Kulon kalau sampai lari terbirit-birit mendengar teriakan menggelegar membelah angkasa dari manusia mungil bernama Sevilla. 

Menurut sejarah yang memang belum ditulis oleh para ahli sejarah sehingga belum diajarkan oleh guru-guru sejarah di sekolah,  Ayah Sevi memang penggemar bola, terutama klub-klub bola di Spanyol.  Sehingga pas nongol anaknya yang ternyata perempuan maka dinamakan Sevilla.  Tadinya mau dinamakan Madrid seandainya saja jabang bayi yang nongol adalah laki-laki.  Tapi karena yang muncul ke dunia ini seorang anak perempuan yang dikatakan sohibul hikayat sebagai perempuan paling cantik di RT itu, maka rencana pertama pun dibatalkan.  Tak mungkin ada anak perempuan cantik namanya Madrid.  Nanti malah dipanggilnya Bang Madid Musyawarah, tokoh paling pelit di Sinetron yang sekarang banyak ditonton ibu-ibu itu.  Kan berabe.  Iya kan?

Eh, kembali ke laptop, eh ke cerita tadi.

“Mana buku bahasa Indonesia saya?” tanya Sevi yang sedang berkutat dengan buku pelajaran hari itu.

Mbak Salamah pun mencari di lemari yang khusus untuk menyimpan buku-buku Sevi.  Ayah Sevi memang sengaja menyediakan sebuah lemari khusus untuk buku-buku Sevi.  Tujuannya hanya satu, biar buku-buku Sevi tak berkeliaran ke mana-mana. Dan yang lebih penting lagi, agar Sevi tak selalu berteriak saat hendak berangkat sekolah hanya karena ada buku yang belum tertemukan.

Tapi bukan Sevi kalau tak teriak.  Sepertinya teriak sudah menjadi profesi Sevi.  Sehingga tak mungkin kebiasaan teriak itu musnah hanya gara-gara disediakan lemari khusus untuk menyimpan buku pelajaran Sevilla.

“Tidak ada di lemari, Vi,” kata Mbak Salamah setelah membongkar seisi lemari.

“Pokoknya cari sampai ketemu.  Soalnya guru bahasa Indonesia Sevi galak banget.  Kemarin aja si Roni hampir dimakannya hanya gara-gara lupa bawa buku catatan.  Sevi tidak mau masuk sekolah kalau buku bahasa Indonesia Sevi tidak ditemukan!” kata Sevi sambil masuk kamar dan membanting pintu kamar. 

Sebetulnya yang paling kasihan kalau Sevi marah adalah pintu kamar.  Dia selalu kebagian dibanting-banting kalau Sevi sedang marah.  Wajar saja kalau engselnya sudah lima kali diganti.

Mbak Salamah pun menjadi semakin panik.  Dan kalau Mbak Salamah sudah panik, bukannya tambah beres kerjanya.  Kalau sudah panik, penyakit Mbak Salamah adalah perut mules dan mesti buang-buang air sampai minimal tiga kali.  Kan jadi lama lagi mencari bukunya?

“Ini buku siapa?” itulah suara Shela.  Yang selalu lebih sabar dalam melakukan segala hal.  Lebih teliti dalam mencari.

“Apa?” tanya Sevi dari balik pintu.

“Ini buku bahasa yang kamu cari kan?” tanya Shela sambil menenteng buku bahasa yang memang sedang dicari Sevi.

“Memang ada di mana, Kak Shela?” Sevi mencoba baik hati, walau sebetulnya hati Sevi dongkol karena Kak Shela selalu muncul bagai pahlawan untuk dirinya.

“Ada di tas kamu.”

“Oh iya.  Semalam kan sudah saya masukkan ke tas waktu habis mengerjakan PR.  Kenapa aku menjadi pikun ya?” kata Sevi mencari alasan.

“Kamu hanya kurang teliti, Vi.”

Kak Shela. 

Kak Shela memang hebat.  Selalu mendapat pujian dari Ayah dan Bunda Sevi.  Selalu lebih baik dari Sevi.  Siapa yang tidak kesal kalau selalu kalah dalam bersaing.  Dan persaingannya justru di rumah sendiri.  Persaingan dalam merebut perhatian dan kasih sayang Ayah dan Bunda Sevi.

Kenapa mesti ada Kak Shela?

Kalau sebelum ada Shela, Sevi selalu dimanja.  Mau apa saja terserah.  Ingin apa saja selalu diturut.  Namun tidak setelah ada Shela di rumah ini.

“Lihat.  Shela membereskan tempat tidurnya sendiri,” kata Bunda.

“Iya deh besok Sevi juga membereskan tempat tidur sendiri,” kata Sevi.  Maka sejak itu pula, kamar Sevi selalu terlihat rapi.  Setiap hari.  Bundanya jadi senang.  Ayahnya juga senang.

“Shela selalu salat Subuh,” kata ayah Sevi lain kali.

“Iya deh Sevi juga besok salat Subuh.”

Dan sejak saat itu pula Sevi selalu bangun lebih pagi.  Salat subuh dulu.  Baru mandi.  Sehingga, sekarang Sevi tak pernah telat datang ke sekolah, walaupun jam sekolah di majukan setengah tujuh pagi.

“Lihat, Shela selalu belajar,” kata Ayah dan Bunda Sevi hampir bersamaan saat Sevi sedang asyik menonton sinetron yang menegangkan.

“Iya deh, Sevi belajar juga,” kata Sevi terpaksa, awalnya.  Sekarang Sevi sudah terbiasa.  Selalu belajar.  Tak peduli ada sinetron yang paling disukai sedang tayang di televisi.

Banyak.  Banyak sekali hal baik yang telah ditularkan Kak Shela pada sepupunya itu.  Kecuali yang satu tadi.  Kebiasaan Sevi berteriak yang masih saja dilakukan Sevi hingga kini.

Sampai akhirnya Kak Shela mengatakan sesuatu yang tak diduga.  Sesuatu yang mengejutkan seluruh keluarga.

“Om, Tante, Sevi, dan Mbak Salamah.  Shela ingin bicara ...,” kata Shela selepas makan malam bersama.

“Ada apa Shel?” tanya Bunda Sevi.

“Mama tadi pagi menelepon Shela...,” lagi-lagi Shela berhenti berkata-kata.  Dan berhentinya justru tepat pada saat orang lain ingin mendengar kata-kata itu.  Sehingga Ayah Sevi pun matanya melotot hampir copot, hanya karena ingin tahu kata-kata lanjutan dari mulut Shela.

“Bagaimana kabar Mama?” tanya Bunda Sevi.

“Alhamdulillah, baik semua, Tante.  Dino juga sudah banyak teman baru.  Mereka sudah betah di sana,” kata Shela.

“Terus apa kata mama kamu?” tanya Ayah Sevi penasaran.  Bagaimana pun juga kehadiran Kak Shela di rumah ini telah banyak membawa berkah.  Terutama karena Kak Shela maka Sevi sekarang tak seperti dulu lagi.  Maka, ayah Sevi pasti khawatir kalau Kak Shela pergi maka anak semata wayangnya akan kembali seperti dulu lagi.

“Kata Mama, Shela sudah dapat sekolah di Tegal.  Surat-surat pindah sudah lengkap.  Shela tinggal masuk saja,” jelas Shela.

“Terus kamu mau ke Tegal dong!” Ayah Sevi seperti orang panik saja.

“Ya, iyalah, Yah,” kata Bunda Sevi, “Masa tinggal di sini terus?”

“Kalau tinggal di sini saja sampai lulus SMA, bagaimana?” usul Ayah.

“Kelamaan, Oom.  Nanti malah pada bosan semua,” Shela mencari-cari alasan.

Hanya Sevi yang bahagia dengan kepergian Shela.  Sevi tak akan dibanding-bandingkan lagi.  Dan Sevi bisa semau sendiri.

“Kamu kok senyum-senyum sendiri, Vi?” tanya Bunda mengagetkan.

“Biarin saja!  Daripada senyum-senyum sama ikan di akuarium?” kata Sevi menyindir Ayahnya yang suka berlama-lama duduk dekat akuarium sambil senyum-senyum sendiri bersama ikan kesayangannya.

“Ikan-ikan Ayah itu lucu, tahu!” kata ayah tersinggung.

“Tapi kan tidak lucu, kalau ikan diajak senyum,” kata Sevi lagi.

Kalau sudah begitu, pasti pipi Sevi yang menjadi korbannya.  Ayahnya pasti mencubit pipi Sevi kalau sudah kalah ngomong dengan Sevi.

“Minggu depan katanya, Mama mau kesini menjemput Shela,” kata Shela.

“Memang surat pindahnya sudah diurus?” tanya Bunda Sevi.

“Sudah beres semua.”

***

Pagi ini, pagi pertama Sevi bangun di kamar sendirian. Tanpa Kak Shela.  Orang yang dibenci Sevi selama tiga bulan di rumahnya.  Kak Shela selalu menjadi pujaan Ayah.  Juga Bunda.  Seakan-akan Kak Shela selalu baik.  Sedangkan Sevi selalu kebagian yang buruknya.

Ayah dan Bunda tidak tahu kalau Sevi benar-benar dendam pada Kak Shela.  Terutama karena Kak Shela telah merebut Rido.  Sevi menyukai Rido.  Sevi juga yakin kalau Rido juga menyukai Sevi.  Tapi Kak Shela telah merebut Rido.  Bagimana Sevi tidak marah?

Sevi juga dibuat kesal karena Kak Shela yang telah mempengaruhi Ayah dan Bunda Sevi agar tak mengijinkan Sevi ikut kemping bersama teman-temannya.

“Huh!” Sevi menghela nafas.

Kebetulan hari Minggu.  Sevi tak perlu buru-buru bangun.  Masih ingin bersantai-santai.  Seperti di pantai.

Iseng Sevi membuka laci bekas buku-buku Kak Shela.  Ada buku yang tertinggal.  Ternyata buku harian.  Sevi hendak membukanya, tapi ragu.  Ini pasti banyak rahasia Kak Shela.  Dan tak baik mengintip rahasia orang lain.

Tapi hati Sevi juga menyuruh Sevi untuk membuka buku harian itu.  Dengan hati-hati, Sevi membuka buku harian Shela.

Halaman yang terbuka ternyata tanggal 7 Januari.  Langsung saja mata Sevi melotot.  Karena baris pertama sudah membuatnya terperangah.

Sevi, maafkan Kak Shela, ya?  Karena Kak Shela sayang sama kamu maka Kak Shela rebut Rido dari kamu.  Tidak,  ini bukan karena aku mencintai Rido.  Bukan.  Ini aku lakukan justru karena aku sayang kamu, adikku.

Kamu mungkin belum tahu, Adikku.  Rido itu sudah terkenal sebagai Play Boy di sekolah.  Aku tak ingin kamu dipermainkannya.  Makanya, aku halangi dia mendekatimu.  Sebetulnya, Kakak ingin sekali mengatakan ini.  Tapi Kakak yakin kamu tak akan mempercayainya.  Biarlah.  Nanti juga kamu akan mengerti saat aku pergi.  Aku akan tinggalkan buku harian ini.  Biar adikku baca dan tahu kenapa Kakak menjengkelkan.

Hari ini aku sedih.  Sedih sekali. 

Terutama saat melihatmu sedih, Adikku.  Tapi hanya ini yang dapat aku lakukan.  Sebagai rasa sayangku padamu.

Kak Shela, ternyata kamu ingin menyelematkanku, ya?  Air mata Sevi pun tak tertahankan lagi.  Sevi memang sekarang sudah tahu.  Rido sudah beberapa kali menyakiti teman Sevi.  Tapi Sevi baru tahu kalau Kak Shela berbuat ini semua demi Sevi.

Sevi membuka halaman lainnya.

Sevi,

Lagi-lagi Kakak harus melukai hati kamu.  Kakak harus menyampaikan sesuatu pada Bunda dan Ayahmu agar kamu tak jadi pergi kemping.  Karena aku tahu.  Ada teman-teman kamu yang hendak berbuat jahat kepadamu.  Aku tahu dari Ranti.  Dia sempat mendengar obrolan mereka. 

Sehingga satu-satunya yang bisa Kakak lakukan ya, melarangmu pergi.  Karena kamu tak mungkin percaya dengan apa yang didengar Ranti.

Maaf, adikku.  Kalau aku harus menumpahkan air matamu lagi.

Sevi baru menyadari.  Tapi kenapa terlambat.  Tiga bulan Sevi telah membenci Kak Shela.  Banyak kata-kata Sevi yang mungkin telah menyakitinya.

“Vi, kamu udah bangun?” tanya Bunda.

“Sudah, Bun,” jawab Sevi.

“Sudah salat Subuh?”

“Belum.  Iya, Bun.  Sebentar lagi,”  jawab Sevi sambil bergegas ke kamar mandi.

“Waktunya sudah hampir habis.  Segeralah!”

Saat salat terdengar dering telepon.  Bunda yang mengangkatnya.  Ternyata dari Shela.  Dan Shela ingin bicara dengan Sevi.

“Ada apa, Kak?” tanya Sevi.

“Kamu pasti sudah baca buku harianku,” tebak Kak Shela.

“Iya,” jawab Sevi malu-malu.  “Maaf, Kak.”

“Berarti sudah tahu dong?” tanya Kak Shela.

Sevi menghela nafas. 

“Sevi?” ulang Kak Shela.

“Kak Shela kok tidak ngomong dari dulu, sih?” Sevi merajuk.

“Kamu pasti tak akan percaya.”

“Sekarang juga gak percaya,” kata Sevi.

“Kenapa?”  Kak Shela pun kaget.

“Tidak percaya kalau Kak Shela jahat.  Maafkan Sevi ya, Kak.  Sevi banyak menyakiti hati Kakak.”

“Sudahlah.  Yang penting, sekarang belajar yang baik.  Dan jangan lupa salat,” pesan Kak Shela.

“Oke, Kak.”

Setelah itu, Bunda bicara dengan Mama Kak Shela.  Ternyata Kak Shela nanti akan ke Jakarta lagi kalau sudah tamat SMA.  Akan kuliah di Jakarta. 

“Betul, Bun?” tanya Sevi penuh harap.

“Iya.  Barusan Mama Shela yang ngomong,” jelas Bunda.

“Asyiiiiiiiiikkkk,” teriak Sevi.

“Kok!” giliran Mbak Salamah yang heran.  Karena setahu Mbak Salamah, Sevi tak suka dengan Kak Shela.  Tapi kenapa sekarang malah gembira?

Pasti Mbak Salamah belum baca buku harian Kak Shela.  Ya, iyalah.  Buku Kak Shela kan ada di kamar Sevi.  Mana bisa Mbak Salamah tahu?

Hari minggu pun jadi meriah.  Semeriah hati Sevi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun