“Bukan, Bun.”
“Tangan kamu kok basah, Vi.”
“Sevi mau salat, Bunda.”
“Salat?” Bunda terlihat kaget.
“Iya, Bun. Sevi selalu ingat pesan Mbah Pardi. Kata Mbah, kalau hati sedang resah, sebaiknya salat. Adukan resah kita pada Tuhan. Biar Tuhan membantu,” kata Sevi.
Bunda mendengarkan. “Bunda ikut ya?” tanya Bunda.
“Ayo!” senang sekali hati Sevi. Mudah-mudahan Bundanya tak sedih lagi.
Mereka berdua salat malam. Merenungi hati masing-masing. Mengadukan resah masing-masing. Cukup lama. Sampai lega hati mereka. Dan tertidur di kamar salat berdua. Kamar yang sudah lama tak dijamah oleh keluarga. Padahal, kamar ini dulu selalu ramai untuk salat berjamaah. Mengaji. Ayah selalu mewajibkan kami untuk berjamah pada saat salat Magrib. Terus mengaji bersama. Hingga salat Isya tiba. Tapi sekarang sudah lama tak dihampiri. Jangan-jangan karena ini maka kami pun tertimpa musibah.
Pagi.
Sevi dan Bunda bangun. Lebih tepatnya terbangun. Oca yang bangun paling dulu. Oca mencari Sevi ke mana-mana. Karena tak ketemu, Oca pun berteriak. Dan teriakan Oca membangunkan Sevi dan bundanya.
Karena masih ada waktu untuk salat Subuh. Mereka bertiga pun salat Subuh berjamaah. Oca yang menjadi imam. Seumur-umur, baru kali ini Oca menjadi imam.