Sevi pun beranjak. Melirik jam dinding. Jarum jam menunjukkan angka dua. Berarti pukul dua malam. Sevi melangkah. Keluar kamar. Menuju kamar mandi. Mengambil air wudu.
Sepi masih terus menyelimuti malam. Tak ada suara apa pun yang bisa mengusir sepi. Hanya ada suara sengguk yang ditahan. Terdengar begitu pelan. Pelan sekali. Sevio mencoba mencari asal suara itu.
Hati Sevi memang rada takut. Tapi disimpannya dalam-dalam rasa takut itu. Tak mungkin ada hantu. Apalagi pakai acara menangis segala.
Suara itu ternyata dari kamar tamu. Tempat tidur bunda. Pelan-pelan Sevi mengetuk. Tak dibuka. Lama tak dibuka. Sevi mencoba membuka pintu itu. Ternyata pintu tak dikunci.
“Bunda?” panggil Sevi saat melihat bundanya yang sedang menangis sedih di pinggir tempat tidur.
Bunda pun kaget saat melihat ada Sevi di depannya.
“Iya, Vi,” kata Bunda.
Ada air mata yang tak terseka. Bundalah memang yang sedang menangis. Malam-malam begini. Sevi tak ingin bertanya apa-apa. Sevi hanya mendekap bundanya. Begitu erat. Begitu lekat.
“Kamu bangun, Vi?” tanya Bunda.
“Iya, Bun.”
“Karena tangis Bunda, ya?” tanya Bunda.