Tapi apa yang mau dilakukan Sevi?
Sevi ingin sekali berbicara dengan ayah. Atau dengan bunda. Tapi tak pernah ada kesempatan. Ayah? Sekarang ayah lebih senang bekerja di kantornya. Pulang sering larut. Saat Sevi sudah pulas. Sudah bergumul dengan mimpi.
Bunda juga lebih sering mengunci diri. Entah apa yang dilakukan di kamarnya. Pulang kantor, langsung masuk kamar. Keluar kamarnya entah kapan. Sevi tidak pernah tahu. Benar-benar tak pernah tahu apa yang dilakukan bundanya di kamar.
Tidak seperti biasanya. Karena bunda sebetulnya orang yang tak pernah betah berlama-lama di kamar. Bunda juga sebetulnya orang yang cerewetnya ampun-ampunan. Bahkan burung pipit yang paling cerewet pun akan kalah oleh kecerewetan bunda. Eh, sekarang berbalik seratus delapan puluh persen. Mulutnya betul-betul terkunci. Terkunci rapat. Tak ada kata-kata yang dikeluarkan bunda. Pada Sevi dan pada Oca sekali pun.
Sevi terkadang berpikir kalau rumahnya sudah seperti neraka. Ah, tapi Sevi kan belum pernah ke neraka, ya? Yang jelas, rumah Sevi tak seperti dulu lagi. Rumah yang paling ramai satu kompleks. Sevi ingat sekali. Waktu ada pertandingan bola antara Indonesia melawan Malaysia. Mereka berempat, ayah, bunda, Sevi, dan Oca saling berteriak. Bertepuk tangan. Mendukung tim nasional yang sedang berjuang mati-matian. Walaupun tim Indonesia akhirnya kalah, tapi kegembiraan di antara kami begitu besar. Teriakan kami bahkan sampai membuat anak tetangga datang dan bertanya ada apa? Ada pertandingan bola. Kami pun menjawab dengan tertawa.
Masa-masa seperti itu terus berkelebat. Silih berganti dengan suasana yang mungkin akan terjadi besok-besok hari.
Tangis kembali muncul dan mengaliri pipi Sevi. Entah kenapa, air mata ini sekarang begitu akrab dengan Sevi. Padahal Sevi terkenal ketomboyannya. Tak pernah ada air mata di wajah Sevi. Yang ada hanya senyum.
“Kak, Kakak harus melakukan sesuatu,” usul Oca.
Sevi hanya mengangguk. Sevi ingin membesarkan hati adiknya. Walaupun Sevi sendiri belum tahu apa yang harus dilakukannya. Sevi tetap mengangguk.
“Kalau hatimu resah, salatlah! Adukan seluruh keluh kesahmu pada Yang Maha Mengetahui,” kata Mbah Pardi. Mbah Pardi yang lebih senang tinggal di kampung. Mbah Pardi yang tak pernah tinggal salat malam. Pesan ini baru saja melintas di dalm ingatnnya.
“Hup!”