Mohon tunggu...
Mochamad Rizky Pangestu
Mochamad Rizky Pangestu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Muda

Saya suka menulis, dan ingin berbagi cerita melalui tulisan-tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gana-gini

14 Juli 2023   07:01 Diperbarui: 14 Juli 2023   07:07 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, sebelum akhirnya aku meninggalkanmu dengan secangkir kopimu dan asapnya yang masih mengepul itu. Meninggalkanmu dengan segala apa yang ada di benakmu, yang tak pernah kutahu, tak pernah ingin kuduga, kutebak juga. Meninggalkanmu dengan air muka yang menjadi sedatar itu, bahkan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku menatapmu yang tak menatapku balik.

Dalam tatap yang lekat itu, aku menuntut sesuatu yang tak kuasa kuucapkan. Bibirku terlalu lemah untuk mengatakan itu. Mataku terlalu rapuh untuk menutup duka dalam kata yang ingin kuucapkan itu. Badanku terlalu lesu untuk membalut pilu yang dikandung dalam kata yang ingin kuucapkan itu. Aku hanya berseru dalam kalbu.

Bukankah mestinya sebelum kita benar-benar saling meninggalkan, kurasa terlalu sakit menyebut kata berpisah, meski memang begitu kenyataannya. Mestinya kita usaikan dulu apa-apa yang terjadi di antara kita, seluruhnya? Bukan perkara materi. Berapa sering aku mentraktirmu, berapa rupiah yang kurogoh setiap kali ingin bertemu denganmu, atau menyenangkanmu, aku tak peduli. Setidaknya uang bisa kucari lagi. Tapi, entah denganmu. Mungkin suatu hari kamu akan membuat hitungan dan memintaku membayarnya, karena mungkin uangmu lebih banyak keluar daripada uangku. Tapi, kuharap itu tak pernah terjadi. Kuharap kamu akan seperti aku juga.

Namun, ada gana-gini yang lebih rumit dari sekadar harta yang sama-sama kita keluarkan, aku ingin menuntut itu diselesaikan juga. Tapi, mana bisa?Itu terlalu rumit, amat rumit.

Jika secara harfiah gana-gini memang berupa harta, dan memang begitu lumrahnya sering kali terdengar ribut-ribut berebut harta gana-gini, yang tak jarang terbesit dalam pikirku, apakah manusia begitu tamaknya? Atau memang terlalu perhitungan? Entahlah. Memang, rakus, tamak telah menjadi salah satu sifat manusia. Tapi, jika sifat itu telah melekat pada manusia, bahkan jangan salah bisa lebih-lebih dari sekadar hewan.

Sedang, dalam gana-gini yang sedang aku persoalkan ini, apakah rakus, tamak itu masih berlaku? Adakah manusia yang rakus akan kasih? Adakah manusia yang tamak akan cinta? Tapi, bisa jadi memang bisa berlaku juga. Bagaimana orang bisa saling berebut kasih, sayang, dan cinta? Bagaimana juga mereka yang tak pernah cukup satu cinta, satu kasih, satu sayang? Lantas mereka juga dapat dikatakan rakus dan tamak cinta? Entahlah.

Selama itu terus berkutat dalam benakku, selama itu aku terus menatapmu lekat-lekat. Kata itu, tuntutan itu rasanya hampir, hampir, hampir keluar dari bibirku. Tapi, tetap saja kelu. Tetap tak sanggup, tetap tak kuasa. Sedang tubuhku seperti mengajakku pergi dan aku amini itu, hatiku pun rasanya sudah tak lagi di sini. Aku harus segera pergi.

"Ada yang luput kaubawa sebelum kau pergi jauh..." keluhku, dalam kalbu. Lalu tiba-tiba saja matamu mengarah pada mataku. Aku terkesiap. Kamu tersenyum, senyum yang tak pernah dapat kuterka artinya.

"Kamu sengaja meninggalkannya, untukku?" tanyaku, dalam kalbu. Lalu tiba-tiba kamu seperti mengisyaratkan sesuatu. Aku tersentak. Isyarat yang tak pernah dapat kutebak maksudnya.

"Ada yang tak ingin kubawa. Biar saja bersamamu. Rumah yang selalu nyaman untuknya yang tak lagi menjadi milikku. Yang perlu kutumbuhkan lagi 'ia' yang baru untuk orang baru setelahmu, nanti." keluhku, lagi-lagi masih tertahan di hati.

"Bisakah kita selesaikan saja saat ini juga? Gana-gini yang kemudian akan menyiksaku. Atau kau memang sengaja meninggalkannya di benakku? Entah itu bayang wajahmu, kasih sayang dan cinta yang pernah sama-sama tanamkan dalam, atau sekadar kenangan-kenangan yang pernah kita untai, bisakah kita mengembalikannya masing-masing atau sama-sama membuangnya saja? Atau memang kau sengaja mewariskan luka dan membiarkannya terus terurai dalam hari-hariku?" seruku, tetap dalam kalbu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun