"Aku suka matamu, dari awal kita bertemu." Katamu yang membuatku bertanya. "Kenapa begitu?"
Kamu terkekeh lalu mendekatkan wajahmu ke wajahku yang membuatku berdebar hebat. "Pada awalnya, aku melihat matamu penuh misteri, begitu tajam. Aku tertarik untuk masuk dan memecahkan misteri itu. Benar saja, setelah kamu bersamaku, matamu begitu cemerlang, tatapan yang tak pernah aku lihat sebelumnya, matamu memancarkan kemurnian dan ketulusan."
Aku tersipu. Bahkan aku menjadi makin intens menatapmu dan kamu menjadi salah tingkah. Di depanku.
"Aku jadi ingin menucubitmu, kalau kamu menatapku begitu." Kelakarmu. "Cubit aja!" Aku menghindar. Kita tertawa.
Lalu, banyak hal yang sama-sama kita tentang. "Aku gak suka kopi." Kataku.
"Kopinya saja atau semuanya?" Tanyamu. Aku bingung. "Semuanya? Maksudnya?"
"Ya, semuanya, tempatnya, baunya, atau penikmatnya?" Kamu menunjuk dirimu sendiri, di kata terakhir itu.
Aku tersenyum. "Semuanya, kecuali yang terakhir itu."
"Kalau begitu, kamu harus tetap di sini." Katamu. "Karena ada kamu?" Tanyaku. "Itu kamu tahu." Jawabmu. Kita tertawa.
Aku sadar, kamu pun. Tapi, bukankah itu pengorbanan? Kita sama-sama menentang.
Kamu adalah penyuka foto. Ya, setiap hari ada saja potretmu. Yang kamu ambil sendiri atau meminta orang lain memotretmu. Lagi-lagi aku menentang diriku sendiri. Aku bertanya pada diriku sendiri, "bukannya kau tak suka foto-foto?" tapi, aku menjawabnya sendiri, "sekarang jadi suka."