Mohon tunggu...
Mochamad Rizky Pangestu
Mochamad Rizky Pangestu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Muda

Saya suka menulis, dan ingin berbagi cerita melalui tulisan-tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gana-gini

14 Juli 2023   07:01 Diperbarui: 14 Juli 2023   07:07 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ada yang luput kaubawa pergi." Kataku, berulang-ulang dalam bincang bisu yang menyedihkan itu. Bagaimana bisa kau membawanya? Bagaimana bisa juga aku melepasnya? Aku dihantam gelombang tanya yang tiada habisnya. Selain menyadari bahwa 'kita' baru saja habis.

Kamu masih dengan kopimu yang mengepul. Sedang aku, seperti yang kamu tahu, bukan penyuka kopi. Tak pernah menginjak tempat orang minum kopi. Tapi akhirnya menemani orang minum kopi; kamu. Kamu menatapku lekat di balik asap-asap lembut yang menguarkan aroma kopimu, yang selalu tak kusukai. Lalu, apa yang membuatku bertahan selama hampir sepuluh tahun menemanimu minum kopi? Cintaku yang begitu kuat bahkan aku tak lagi peduli apapun, asal bersamamu.

Lalu, di sela bisu itu, aku bertanya. Pada diriku sendiri. Bagaimana sebuah hubungan berakhir? Dua kemungkinan yang paling ramah di benakku. Mungkin, kita bukan jodoh sehingga banyak ketidakcocokan yang pada awalnya sama-sama ditoleransi seketika menjadi suatu masalah yang membuat kita sadar, bahwa kita sebenarnya tidak serasi satu sama lain. Kedua, perihal hati yang tidak bisa dipastikan keadaannya, bisa aku atau kamu tiba-tiba berubah haluan yang pada intinya kembali pada kemungkinan awal, ya, kita tidak berjodoh. Bagaimana mungkin hati kita berubah jika kita memang berjodoh?

Sebenarnya, ada satu kemungkinan lain, tapi tak pernah aku iyakan, karena aku sendiri tak pernah menginginkannya. Adalah kematian. Tapi, mesti salah satu yang meninggalkan kita itu akan membawa cintanya bersama jiwanya pada raganya yang tertimbun tanah. Tapi, aku selalu menepisnya. Itu bukan kemungkinan yang berkeliaran di benakku. Itu terlalu pedih, terlalu menyedihkan.

Aku menyadari itu, bahkan sebelum aku memutuskan untuk menerimamu dan berjanji menjadi seseorang yang setia padamu, begitu juga sebaliknya. Tapi dihadapkan dengan kenyataannya, aku tetap tak bisa, aku menolak. Kenapa 'kita' harus mengenal kata pisah? Bahkan, sial! Aku selalu teringat lagi kata-katamu, "Pisah adalah satu kata yang haram di antara kita." Begitu keramatnya, sampai-sampai kau menyebutnya 'haram'.

Kadang, aku juga ingin mengurai waktu. Tapi, sekuat apa pun aku menahan waktu yang sebenarnya aku tak pernah bisa menahannya. Waktu terus melaju, begitu juga 'kita' yang terus mengalir ke arah-arah yang makin lain dari hari ke hari. Sampai tiba pada titik ini. Rasanya, aku ingin waktuku berhenti saja, sampai di sini. Bagaimana bisa sepuluh tahun bersama habis hanya dalam waktu yang bahkan tak sampai dua menit?

Tapi aku tak menyesal. Atau, aku tak ingin terlihat menyesal. Aku adalah wanita kuat seperti yang pernah kaubilang. Tapi, kuat bukan berarti tidak menangis. Aku butuh pelumas untuk terus melaju ke depan, tanpa dirimu. Aku butuh perasan air mataku. Tapi, kamu tidak ingin melihatku menangis. Katamu, kamu tak suka melihat wanita menangis. Bahkan aku masih mengingatnya, dan bahkan aku masih menghargainya. Aku menahan air mataku, sebisaku. Tapi, mestinya kau juga tahu, tanpa harus kuurai, bagaimana mataku berbicara?

Sebenarnya apa yang terjadi di antara 'kita'? Tapi, kau tak pernah mau menjawabnya. Sedang aku, tak pernah tahu jawabannya. Atau, lebih tepat jika aku mengatakan aku tidak begitu yakin dengan jawabanku. Karena lagi-lagi, bagaimana aku iyakan sedang jika apa itu cinta, apa itu sayang yang pernah kita lafalkan semestinya tidak mengantarkan kita sampai di sini? Jadi, aku tak yakin. Tak tahu betul apa yang sebenarnya terjadi.

***

Kau mengejarku, sepuluh tahun lalu. Bahkan ketika aku tidak tahu kamu. Bahkan ketika aku tidak menyadari Tuhan menciptakanmu. Aku tidak mengenalmu. Kamu kenal aku, dari kawanmu yang juga kawanku. Cinta adalah tabu bagiku, saat itu. Dan kau menyingkapnya, meyakinkanku bahwa kita perlu, kita butuh cinta. Aku menerjang dimensi baru bersamamu, untuk kali pertama.

Bagaimana dulu aku begitu kuat dan kukuh, bahwa hubungan lawan jenis tak ada gunanya, bahkan lebih banyak menyakitkan. Artinya, merugikan. Ketika banyak yang mencoba merubuhkan dinding itu, hanya kamu yang berhasil bahkan kamu tidak merubuhkannya, kamu hanya mendobraknya sedikit, memberi lubang untuk pintu, mengantarkan tanganmu, meraih tanganku. Dan aku setuju.

"Aku suka matamu, dari awal kita bertemu." Katamu yang membuatku bertanya. "Kenapa begitu?"

Kamu terkekeh lalu mendekatkan wajahmu ke wajahku yang membuatku berdebar hebat. "Pada awalnya, aku melihat matamu penuh misteri, begitu tajam. Aku tertarik untuk masuk dan memecahkan misteri itu. Benar saja, setelah kamu bersamaku, matamu begitu cemerlang, tatapan yang tak pernah aku lihat sebelumnya, matamu memancarkan kemurnian dan ketulusan."

Aku tersipu. Bahkan aku menjadi makin intens menatapmu dan kamu menjadi salah tingkah. Di depanku.

"Aku jadi ingin menucubitmu, kalau kamu menatapku begitu." Kelakarmu. "Cubit aja!" Aku menghindar. Kita tertawa.

Lalu, banyak hal yang sama-sama kita tentang. "Aku gak suka kopi." Kataku.

"Kopinya saja atau semuanya?" Tanyamu. Aku bingung. "Semuanya? Maksudnya?"

"Ya, semuanya, tempatnya, baunya, atau penikmatnya?" Kamu menunjuk dirimu sendiri, di kata terakhir itu.

Aku tersenyum. "Semuanya, kecuali yang terakhir itu."

"Kalau begitu, kamu harus tetap di sini." Katamu. "Karena ada kamu?" Tanyaku. "Itu kamu tahu." Jawabmu. Kita tertawa.

Aku sadar, kamu pun. Tapi, bukankah itu pengorbanan? Kita sama-sama menentang.

Kamu adalah penyuka foto. Ya, setiap hari ada saja potretmu. Yang kamu ambil sendiri atau meminta orang lain memotretmu. Lagi-lagi aku menentang diriku sendiri. Aku bertanya pada diriku sendiri, "bukannya kau tak suka foto-foto?" tapi, aku menjawabnya sendiri, "sekarang jadi suka."

Ajakan itu selalu terlontar dari bibirmu, acapkali kita bertemu. Aku sempat menolak. Tapi aku kalah, karena tak pernah dapat menjelaskan alasanku kenapa aku tidak suka berfoto.

"Lihat, kamu cantik tahu." Katamu, sesaat setelah kita mengambil foto bersama, di ponselmu. Itu wefie pertamaku dengan pria. Aku tersenyum, malu melihat wajahku sendiri.

"Gak, jelek. Hapus ya." Aku meminta. Tapi kamu tersenyum lalu menyembunyikan ponselmu. Dan sejak saat itu wajahku tersimpan banyak di ponselmu. Entah potret yang memang sengaja kita lakukan atau ketika kamu diam-diam memotretku, menyebalkan.

Belum lagi esoknya, aku selalu saja dipusingkan oleh teman-teman kerja. Pertanyaan-pertanyaan atau sekadar olokan 'cie'. Ya, kamu selalu saja mempostingnya tiap kali kita selesai foto, malamnya saat kau sendiri di kamarmu, kamu akan memposting foto-foto itu di semua sosial mediamu, tak lupa kamu bubuhkan takarir yang romantis habis itu, kaupikir semakin menambah manis foto kita, justru aku semakin merinding.

Itu pun, satu pertentangan yang kulakukan. Aku tergolong pasif bersosial media. Lalu saat dengamu, kamu sering menandaiku di setiap postinganmu. Akhirnya aku turut membagikannya di ceritaku, sekadar menghargaimu tapi jelas telah berlawanan dengan pribadiku.Karena bagiku, hubunganku denganmu cukup kita saja yang simpan, tak perlu dibagikan sana-sini. Tapi, bagimu tidak begitu. Aku hargai itu.

***

Aku adalah kutu buku seperti kamu kenal. Dan tak pernah berubah. Sedang kau berada di seberang itu. Berlawanan denganku. Tak suka buku. Akhirnya kau mengalah, menentang dirimu sendiri dan sesekali kamu ikut aku.

"Kamu, gak suka bukunya aja atau semuanya?" tanyaku, membalikan pertanyaanmu dulu.

"Semuanya, apa aja?" tanyamu. Padahal kamu tahu. Tapi kamu mengerti maksudku; mereka ulang adegan itu.

"Banyak." Jawabku. "Ya, apa aja?" Tanyamu selalu saja ingin mendengarku menjelaskan lebih banyak.

"Tokonya? Tempat bacanya?..."

"Perpustakaan, maksudnya? Kamu memotong ucapanku.

"Ya." Jawabku. Dan kamu hanya menggeleng, lalu "Apalagi penjaganya yang jutek itu."

Aku tak bisa menahan tawa. Memang, kamu kerap kali diawasi oleh penjaga perpustakaan itu, dengan lirikannya yang tajam yang tak kamu suka dia mengawasimu karena kamu malah tidur selama aku membaca.

"Tapi, ada kecualinya." Katamu. "Apa?" Tanyaku. "Ya, pembacanya." Jawabmu, menunjukku. Aku tersipu.

Dan selama bertahun-tahun kita sama-sama menentang. Pada awalnya kita saling toleransi bukan? Tapi makin hari, kamu sering mangkir bahkan tak terhitung lagi percekcokan kita setelah itu.

Bahkan, makin ke sini, kamu mulai menyinggung pribadiku, mempermasalahkannya, menganggapnya seperti satu kekurangan yang amat dari diriku. Aku memang tidak romantis. Tidak pandai merangkai kata sepertimu, yang entah dari mana kamu mendapatkannya. Katamu, dari quotes-quotes yang kamu dapat di googleatau sekadar melintas di beranda sosial mediamu lengkap bersama foto sang pemilik quotes, yang terkadang aku merangukannya. Apa benar orang itu pernah berkata seperti itu? Atau, mungkin saja orang mengarang-ngarang, menyandingkan kata-kata yang dirangkainya sendiri pada satu nama besar agar banyak dipercaya dan digunakan oleh orang? Entahlah, tapi kamu selalu mengutipnya dan tak jarang mengikutinya. Ya, kamu memang romantis. Aku tidak.

Padahal dulu, kamu sama sekali tak peduli. Bukankah kita berjanji untuk saling menerima diri masing-masing apa adanya? Tapi, lama-lama kamu terus menuntut. Sedang aku terus belajar, mencoba menjadi seperti yang kau inginkan. Sampai detik ini.

Tapi, "kamu gak pernah berubah ya? Atau emang gak mau berubah? Masa selama ini cuma aku yang berjuang buat kamu?" katamu, baru saja. Aku tersentak.

Bahkan jika kamu pikir hanya kamu saja yang berjuang untuk aku, aku pikir kamu keliru. Bukankah sekarang saja aku berada di tempatmu, di tempat yang tak kusukai. Kamu, terbilang hanya sanggup tiga kali menemaniku ke perpustakaan. Tempat favoritku. Selebihnya, selalu saja alasan sana-sini. Aku coba menawar, membawa buku sambil menemanimu minum kopi kamu juga melarang. "Mengganggu waktu kita." Katamu.

Tapi, aku tak ingin adu mulut denganmu. Aku hanya bersiap untuk segera pergi dari tempat yang sempat kusukai dan tak akan pernah kusukai lagi ini. Setelah kata itu mengusirku telak, bahkan ketika kamu bukan pemilik tempat ini.

"Aku pikir, kita gak ada kecocokan lagi. Kita sampai di sini saja. Nanti juga kamu pasti ketemu orang yang tepat, bukan aku." Kamu mengusirku, bukan hanya dari tempat ini tapi dari hatimu juga.

Aku mengangguk kecil, sedang hatiku bergolak dengan ragam gumam yang mestinya melayangkan setiap perlawanan dari apa yang kamu ucapkan. Tapi, aku tak kuasa. Aku memilih diam dan membiarkan segala ingatan dan gejolak memenuhi benakku bergantian. Aku pikir, semua ini hanya persoalan sepele. Tapi, kamu membesarkannya juga akhirnya. Aku tak menyangka. Tapi, bahkan seringan apapun masalahnya, bukan karena kita tak dapat mengatasinya, karena memang kita bukan jodohnya, sehingga tak pernah ada jalan untuk mengatasinya, tak lagi ada titik temiunya.

***

Namun, sebelum akhirnya aku meninggalkanmu dengan secangkir kopimu dan asapnya yang masih mengepul itu. Meninggalkanmu dengan segala apa yang ada di benakmu, yang tak pernah kutahu, tak pernah ingin kuduga, kutebak juga. Meninggalkanmu dengan air muka yang menjadi sedatar itu, bahkan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku menatapmu yang tak menatapku balik.

Dalam tatap yang lekat itu, aku menuntut sesuatu yang tak kuasa kuucapkan. Bibirku terlalu lemah untuk mengatakan itu. Mataku terlalu rapuh untuk menutup duka dalam kata yang ingin kuucapkan itu. Badanku terlalu lesu untuk membalut pilu yang dikandung dalam kata yang ingin kuucapkan itu. Aku hanya berseru dalam kalbu.

Bukankah mestinya sebelum kita benar-benar saling meninggalkan, kurasa terlalu sakit menyebut kata berpisah, meski memang begitu kenyataannya. Mestinya kita usaikan dulu apa-apa yang terjadi di antara kita, seluruhnya? Bukan perkara materi. Berapa sering aku mentraktirmu, berapa rupiah yang kurogoh setiap kali ingin bertemu denganmu, atau menyenangkanmu, aku tak peduli. Setidaknya uang bisa kucari lagi. Tapi, entah denganmu. Mungkin suatu hari kamu akan membuat hitungan dan memintaku membayarnya, karena mungkin uangmu lebih banyak keluar daripada uangku. Tapi, kuharap itu tak pernah terjadi. Kuharap kamu akan seperti aku juga.

Namun, ada gana-gini yang lebih rumit dari sekadar harta yang sama-sama kita keluarkan, aku ingin menuntut itu diselesaikan juga. Tapi, mana bisa?Itu terlalu rumit, amat rumit.

Jika secara harfiah gana-gini memang berupa harta, dan memang begitu lumrahnya sering kali terdengar ribut-ribut berebut harta gana-gini, yang tak jarang terbesit dalam pikirku, apakah manusia begitu tamaknya? Atau memang terlalu perhitungan? Entahlah. Memang, rakus, tamak telah menjadi salah satu sifat manusia. Tapi, jika sifat itu telah melekat pada manusia, bahkan jangan salah bisa lebih-lebih dari sekadar hewan.

Sedang, dalam gana-gini yang sedang aku persoalkan ini, apakah rakus, tamak itu masih berlaku? Adakah manusia yang rakus akan kasih? Adakah manusia yang tamak akan cinta? Tapi, bisa jadi memang bisa berlaku juga. Bagaimana orang bisa saling berebut kasih, sayang, dan cinta? Bagaimana juga mereka yang tak pernah cukup satu cinta, satu kasih, satu sayang? Lantas mereka juga dapat dikatakan rakus dan tamak cinta? Entahlah.

Selama itu terus berkutat dalam benakku, selama itu aku terus menatapmu lekat-lekat. Kata itu, tuntutan itu rasanya hampir, hampir, hampir keluar dari bibirku. Tapi, tetap saja kelu. Tetap tak sanggup, tetap tak kuasa. Sedang tubuhku seperti mengajakku pergi dan aku amini itu, hatiku pun rasanya sudah tak lagi di sini. Aku harus segera pergi.

"Ada yang luput kaubawa sebelum kau pergi jauh..." keluhku, dalam kalbu. Lalu tiba-tiba saja matamu mengarah pada mataku. Aku terkesiap. Kamu tersenyum, senyum yang tak pernah dapat kuterka artinya.

"Kamu sengaja meninggalkannya, untukku?" tanyaku, dalam kalbu. Lalu tiba-tiba kamu seperti mengisyaratkan sesuatu. Aku tersentak. Isyarat yang tak pernah dapat kutebak maksudnya.

"Ada yang tak ingin kubawa. Biar saja bersamamu. Rumah yang selalu nyaman untuknya yang tak lagi menjadi milikku. Yang perlu kutumbuhkan lagi 'ia' yang baru untuk orang baru setelahmu, nanti." keluhku, lagi-lagi masih tertahan di hati.

"Bisakah kita selesaikan saja saat ini juga? Gana-gini yang kemudian akan menyiksaku. Atau kau memang sengaja meninggalkannya di benakku? Entah itu bayang wajahmu, kasih sayang dan cinta yang pernah sama-sama tanamkan dalam, atau sekadar kenangan-kenangan yang pernah kita untai, bisakah kita mengembalikannya masing-masing atau sama-sama membuangnya saja? Atau memang kau sengaja mewariskan luka dan membiarkannya terus terurai dalam hari-hariku?" seruku, tetap dalam kalbu.

Mungkin memang begitu adanya, setiap pertemuan yang berujung perpisahan akan mewariskan luka yang tidak turut usai sekalipun ceritanya telah selesai.

Aku tersadar, biar kusimpan semua itu dan aku terima segela luka yang kini bersamaku sebagai warisan yang kau tinggalkan. Mungkinkah kita akan menjelang jalan-jalan berlumur dosa karena kita sama-sama melakukan hal yang haram seperti yang kau ucapkan yaitu perpisahan. Sempat aku terpikir begitu, tapi begini adanya, mau bagaiamana? Lalu, aku beranjak. Terakhir kali kulihat matamu masih menatapku dalam, tatapan yang tak dapat kumengerti dan tak bisa diartikan. Aku pergi, dari sisimu. Entah? Kapan kau akan benar-benar pergi dari benakku? Kapan kau akan benar-benar sirna dari hatiku?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun