Mohon tunggu...
Emka Nahrawi
Emka Nahrawi Mohon Tunggu... Lainnya - menulis saja

Menulis saja

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Asa Berkabut

3 Februari 2022   14:09 Diperbarui: 3 Februari 2022   14:14 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Perempuan paruh baya itu tak henti-hentinya menepuk-nepuk tas dan dompetnya. Entah berapa kali sudah dia melakukan hal itu. Membuka dompet dan hanya kosong yang didapatinya. Lalu ia pun berteriak, "Aaaa...!!!"

"Ada apa, Bu?" tanya seorang Bapak.

"Uangku. Aku kecurian." Air mata jatuh membasahi lengannya. Orang-orang sekeliling segera merubung.

"Siapa yang mencurinya Bu?'' Anak muda penjaga toko mainan bertanya.

"Tadi ada orang yang datang kepada saya. Dia bilang tidak punya uang untuk ongkos pulang. Setelah itu, saya tidak ingat lagi apa yang terjadi. Saya baru sadar uang di dompet sudah tidak ada setelah laki-laki itu pergi." Ucap Ibu muda itu terbata-bata.

''Wah, pasti hipnotis lagi tuh.'' celetuk seseorang di belakang si ibu muda. ''Iya, Bu, pasti hipnotis lagi. Dua hari lalu juga ada yang jadi korban.'' tukas yang lain. "Lain kali hati-hati, Bu."

Tanpa komando orang-orang bubar. Ibu muda itu masih termangu di sudut pasar. Bau amis sampah tak lagi mengganggu hidungnya. 

Pasar itu selalu ramai, karena letaknya yang dilintasi oleh angkot dari berbagai jurusan. Hanya sebuah pasar tradisional. Namun sampah dan kriminalitas tetaplah dua kata yang mewakili kondisi pasar itu. 

Meski demikian, pasar itu tak pernah sepi pengunjung. Mulai dari buruh, ibu-ibu rumah tangga, pegawai rendahan, karyawan swasta, anak sekolah, dan pegawai negeri tetap saja memenuhinya. 

Sebuah Mall besar berdiri setahun lalu di seberang jalan. Tapi, tetap saja orang-orang lebih suka belanja kebutuhan sehari-hari ke pasar itu. 

Uniknya Mall itu juga tak pernah sepi pengunjung. Mungkin sebagian dari mereka hanya ingin menunjukkan keakraban dengan modernitas. Ke Mall sekedar jalan-jalan dan cuci mata. Untuk keperluan sehari-hari mereka ke pasar tradisional.

Suryo baru beberapa bulan menetap di kota itu. Setelah beberapa kali mengajukan lamaran kerja, akhirnya ia diterima sebagai office boy di sebuah perusahaan pengiriman barang. 

Sebagai karyawan kelas rendah, gajinya masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi ia bertekad akan mengirimkan uang untuk biaya hidup Putra, anak semata wayang yang dititipkan pada ibunya di kampung. 

Istri Suryo meninggal karena sakit keras setahun lalu. Sejak itu ia bekerja serabutan demi kelangsungan hidup anaknya. Itu pula yang mendorongnya ke kota mencari pekerjaan yang lebih baik.

Hari itu Suryo gajian. Sepulang dari kantor, dengan wajah sumringah ia menumpang angkot menuju pasar. Butuh 30 menit ke sana.

Sedikit jauh tak apa. Suryo membatin.

Ia akan membeli mobil mainan untuk Putra.

Anak itu pasti sangat senang. Bisik Suryo lagi kepada dirinya sendiri.

Tak henti-henti ia bersiul di dalam angkot yang sesak oleh penumpang. Ia tak peduli dengan bau badan para penumpang lain. Sebab pikirannya hanya dipenuhi bayang Putra dan senyum cerianya.

Tiba di pasar, hiruk pikuk pedagang menyambut Suryo. Ia segera mencari toko mainan anak. Akhirnya, di sebuah sudut pasar dia menemukan toko yang dicarinya. Toko itu menjual aneka permainan anak-anak. Suryo memilah-milah mobil mainan bermacam ukuran. Matanya tersangkut pada sebuah mobil truk berukuran sedang.

''Berapa harganya, Mas?'' berkali kali ia membolak-balik mobil itu.

''Seratus ribu Pak''

"Masih bisa kurang ya? Bagaimana kalo delapan puluh ribu?'' Suryo memegang erat plastik pembungkus mobil itu, seakan tak ingin melepaskannya.

''Modalnya saja tidak cukup Pak, nambah sepuluh ribu ya? jadinya sembilan puluh ribu.'' rayu si pelayan toko.

Mobil ini adalah hadiahku untuk Putra, tak apalah mahal sedikit.

Akhirnya, Suryo takluk dengan senyuman Putra yang melambai di pelupuk matanya. Tangan Suryo mengarah ke kantong belakang, meraih dompet yang terselip di sana. Tapi, tangan itu tak jua menemukan apa yang dicari. Sedetik kemudian wajahnya memutih seperti kapas, mobil yang terbungkus plastik di tangan kirinya nyaris jatuh ke lantai. Wajah ramah pelayan toko berubah mengerut.

"Ada apa Pak?'' Pelayan toko dengan sigap meraih mainan di tangan Suryo.

''Maaf Pak, dompet saya hilang.''

Perlahan Suryo melangkah menjauh dari toko itu. Pelayan toko merapihkan barang dagangannya yang tak jadi terbeli. Matanya mengekor tubuh Suryo yang berjalan menjauh.

"Di mana aku kehilangan dompet? Di angkot atau di pasar ketika berjalan kaki ke dalam kios?" Pikirannya kalut.

"Bagaimana aku pulang? Satu sen pun tak ada di kantongku sekarang." 

Bayangan Putra terus mengikuti langkahnya, seolah menarik-narik pundaknya agar kembali ke toko mainan tadi. Hatinya menangis, matanya mulai memerah. Tapi bagi lelaki seperti dia, pantang mengeluarkan air mata. Apalagi di tempat umum. Tak ada pilihan lain kecuali pulang dengan jalan kaki. Berapa lama ia akan berjalan? Naik angkot saja butuh setengah jam. Tapi itu tak seberapa dibanding membayangkan pulang ke kampung tanpa mobil-mobilan untuk Putra.

Tiba-tiba terlintas di pikiran Suryo "Masa tak ada satu orang pun yang bermurah hati memberikan uang sekedar ongkos pulang padaku. 

Kamu bukan pengemis...! Hatinya berontak. 

Tapi, kamu tak punya pilihan. Pasti ada yang peduli denganmu jika kamu terus terang kepada seseorang tentang keadaanmu." Bisik hatinya lagi.

Suryo bersandar di sudut pasar. Orang-orang masih ramai lalu lalang, seorang perempuan separuh baya melintas di depannya. Agak ragu Suryo bergerak mendekat.

''Mohon maaf Bu dompet saya hilang, saya tidak punya uang untuk pulang, saya mohon Ibu sudi memberi saya sekedar ongkos pulang.'' 

Sedetik perempuan itu tertegun, tapi tiba-tiba ia berteriak dengan keras

"Kamu penghipnotis ya? Tolong, Tolooong... Dia mau menghipnotis saya."

Suryo tertegun, tak menyangka reaksi perempuan itu. Ia hanya berdiri kebingungan ketika kepalanya terasa sangat sakit. Ia terlambat menyadari seseorang telah mendaratkan pentungan di kepalanya.

Sejurus kemudian segerombolan orang datang menyerbu seperti sekumpulan singa yang mendapat mangsa. Orang-orang itu menggasak Suryo tanpa ampun. Semua orang di pasar itu merasa wajib menyumbangkan bogem mentahnya.

Dalam batas kesadarannya, Suryo melihat mendiang istrinya, Putra, dan mobil mainan...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun