"Masih bisa kurang ya? Bagaimana kalo delapan puluh ribu?'' Suryo memegang erat plastik pembungkus mobil itu, seakan tak ingin melepaskannya.
''Modalnya saja tidak cukup Pak, nambah sepuluh ribu ya? jadinya sembilan puluh ribu.'' rayu si pelayan toko.
Mobil ini adalah hadiahku untuk Putra, tak apalah mahal sedikit.
Akhirnya, Suryo takluk dengan senyuman Putra yang melambai di pelupuk matanya. Tangan Suryo mengarah ke kantong belakang, meraih dompet yang terselip di sana. Tapi, tangan itu tak jua menemukan apa yang dicari. Sedetik kemudian wajahnya memutih seperti kapas, mobil yang terbungkus plastik di tangan kirinya nyaris jatuh ke lantai. Wajah ramah pelayan toko berubah mengerut.
"Ada apa Pak?'' Pelayan toko dengan sigap meraih mainan di tangan Suryo.
''Maaf Pak, dompet saya hilang.''
Perlahan Suryo melangkah menjauh dari toko itu. Pelayan toko merapihkan barang dagangannya yang tak jadi terbeli. Matanya mengekor tubuh Suryo yang berjalan menjauh.
"Di mana aku kehilangan dompet? Di angkot atau di pasar ketika berjalan kaki ke dalam kios?" Pikirannya kalut.
"Bagaimana aku pulang? Satu sen pun tak ada di kantongku sekarang."Â
Bayangan Putra terus mengikuti langkahnya, seolah menarik-narik pundaknya agar kembali ke toko mainan tadi. Hatinya menangis, matanya mulai memerah. Tapi bagi lelaki seperti dia, pantang mengeluarkan air mata. Apalagi di tempat umum. Tak ada pilihan lain kecuali pulang dengan jalan kaki. Berapa lama ia akan berjalan? Naik angkot saja butuh setengah jam. Tapi itu tak seberapa dibanding membayangkan pulang ke kampung tanpa mobil-mobilan untuk Putra.
Tiba-tiba terlintas di pikiran Suryo "Masa tak ada satu orang pun yang bermurah hati memberikan uang sekedar ongkos pulang padaku.Â