Suryo baru beberapa bulan menetap di kota itu. Setelah beberapa kali mengajukan lamaran kerja, akhirnya ia diterima sebagai office boy di sebuah perusahaan pengiriman barang.Â
Sebagai karyawan kelas rendah, gajinya masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi ia bertekad akan mengirimkan uang untuk biaya hidup Putra, anak semata wayang yang dititipkan pada ibunya di kampung.Â
Istri Suryo meninggal karena sakit keras setahun lalu. Sejak itu ia bekerja serabutan demi kelangsungan hidup anaknya. Itu pula yang mendorongnya ke kota mencari pekerjaan yang lebih baik.
Hari itu Suryo gajian. Sepulang dari kantor, dengan wajah sumringah ia menumpang angkot menuju pasar. Butuh 30 menit ke sana.
Sedikit jauh tak apa. Suryo membatin.
Ia akan membeli mobil mainan untuk Putra.
Anak itu pasti sangat senang. Bisik Suryo lagi kepada dirinya sendiri.
Tak henti-henti ia bersiul di dalam angkot yang sesak oleh penumpang. Ia tak peduli dengan bau badan para penumpang lain. Sebab pikirannya hanya dipenuhi bayang Putra dan senyum cerianya.
Tiba di pasar, hiruk pikuk pedagang menyambut Suryo. Ia segera mencari toko mainan anak. Akhirnya, di sebuah sudut pasar dia menemukan toko yang dicarinya. Toko itu menjual aneka permainan anak-anak. Suryo memilah-milah mobil mainan bermacam ukuran. Matanya tersangkut pada sebuah mobil truk berukuran sedang.
''Berapa harganya, Mas?'' berkali kali ia membolak-balik mobil itu.
''Seratus ribu Pak''