Definisi umum dari saksi adalah seseorang yang mempunyai informasi tangan pertama mengenai suatu kejahatan atau kejadian dramatis melalui indera mereka (misalnya penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan) dan dapat menolong memastikan pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau kejadian.
Seorang saksi yang melihat suatu kejadian secara langsung dikenal juga sebagai saksi mata. Saksi sering dipanggil ke pengadilan untuk memberikan kesaksiannya dalam suatu proses peradilan[2].
Â
Dalam hukum pidana Islam (fikih jinayah) terdapat beberapa macam alat bukti yang dapat dihadirkan dalam persidangan. Alat bukti (bayyinah) berfungsi untuk membuktikan, mengungkap, atau menjelaskan kebenaran sesuatu.
Â
Beberapa alat bukti yang ditentukan para ulama fikih yaitu: kesaksian (syahdah), pengakuan (iqrr), indikasi atau petunjuk (qarnah), dan sumpah (al-qasamah/al-yamn). Kesaksian adalah pemberitahuan atau pernyataan yang benar untuk membuktikan suatu kebenaran dengan menggunakan lafal kesaksian di depan pengadilan.Â
Kesaksian (syahdah) sebagai salah satu alat bukti, dalam pelaksanaannya memiliki beberapa persyaratan agar kesaksian tersebut diterima. diucapkan di depan sidang pengadilan, diucapkan dengan lafal kesaksian (seperti: saya bersaksi, asyhadu, atau dengan kata yang sinonim), dan jumlah saksi sesuai dengan ketentuan. ulama juga menetapkan persyaratan bagi saksi, yaitu dewasa dan berakal (dan bermental) sehat, bersifat adil, dan muslim.Â
Kedewasaan dan berakal sehat diukur dari kemampuannya memahami apa yang dikatakan serta memiliki ingatan yang cukup. Sifat adil diindikasikan oleh perilaku seperti terhindar dari dosa besar maupun dosa kecil, taat beribadah, serta memiliki akhlak yang baik. Penilaian sifat adil ini berdasarkan komentar atau pendapat dari orang orang yang sezaman atau semasa.Â
persyaratan saksi yang menjadi perdebatan ulama adalah tentang saksi perempuan dalam kasus tindak pidana.Â
Sebagian besar ulama fikih (jumhur) hanya menerima saksi laki-laki untuk kasus. udd dan qi (pembunuhan). Kesaksian perempuan hanya diterima untuk persoalan persoalan yang menyangkut keperempuanan, seperti menstruasi (haid) dan keperawanan. Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim al Jauziyah memiliki pendapat yang berbeda. Keduanya berpendapat bahwa kesaksian perempuan dalam masalah udd dan qi dapat diterima jika pernyataannya otentik dan tidak ditemukan saksi laki-laki.Â
Kedudukan saksi sebagai bukti didukung beberapa dalil Al Quran maupun hadis. Surat Al Baqarah [2]: 282. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu, jika tidak ada saksi dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi yang ada, agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya.Â