Mohon tunggu...
miyaa dewayani
miyaa dewayani Mohon Tunggu... -

Saya hanya seorang penulis amatiran yang memiliki hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Thariq [Ta'aruf 4]

13 November 2013   20:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:12 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Sial!" Thariq menggerutu kesal sambil memarkirkan mobil jeepnya di depan hawalii milik Babajee.


"Sial, kenapa Thariq-shahab?" Tanyaku penasaran. Kami berdua baru saja pulang dari acara fitting baju pengantin sekaligus menyebarkan undangan untuk hari pernikahan kami lusa.


"Sepertinya aku lupa mengambil cincin pernikahan kita di toko perhiasan di kota," jawabnya dengan bibir mengerut manis.


Aku tertawa.


Dia melirik ke arah jam tangannya lalu menoleh padaku. "Turun dan istirahatlah. Aku akan kembali ke kota untuk mengambilnya."


"Mau kutemani lagi?" Tawarku.


Dia menggeleng sembari mengulurkan tangannya untuk memasukan helaian rambut hitamku kembali ke dalam jilbab hijau yang sedang kupakai.


"Kakekmu akan memukulku dengan tongkatnya kalau aku membawamu hingga larut malam."


Ugh. Iya, perjalanan dari desa tempat kami tinggal menuju kota tempat toko perhiasan di mana kami memesan cincin pernikahan, membutuhkan waktu sekitar empat atau lima jam. Sekarang jam empat sore, kalau aku ikut dengan Sasuke, maka kami akan sampai di kota sekitar pukul sembilan malam. Lalu pulangnya sekitar pukul ... Satu pagi? Well, Babajee bisa membunuh kami berdua kalau aku ikut.


"Lagipula, tidak baik bagiku untuk membawa anak gadis orang hingga larut malam. Dua hari lagi kita memang akan menikah. Aku tidak mau mengacaukan segalanya."


Aku mendesah. "Aku mengerti."


"Sekarang turun dan istirahatlah."


"Iya." Aku membuka pintu lalu melompat turun dari jeep hijau tua Thariq, kemudian menutup kembali pintunya.


"Orang-orang dari butik, akan mengantarkan gaun pengantinmu sekitar jam sembilan pagi. Aku harap aku bisa melihatmu mencobanya," ucapnya tulus.


Aku tersenyum. Calon suamiku yang tampan dan baik hati. Ya Allah, terimakasih atas anugerahmu.


"Kamu akan melihatnya lusa."


"Kamu pasti cantik." Dia berkata sembari menstarter mobilnya.


Aku tertawa. "Itu berarti kamu tidak salah memilih calon isteri," godaku.


Thariq terdiam sejenak, dia kemudian menoleh untuk menatapku lembut. "Tentu saja. Aku tidak salah memilihmu."


Aku tertunduk malu. Ya Allah. Aku meleleh.


"Aku pergi dulu," pamitnya.


"Iya, hati-hati." Aku mengangguk. "Kalau kamu sudah sampai, jangan lupa untuk menelpon atau mengirimkan pesan padaku."


"Baiklah. Assalamu'alaikum."


"Wa'alaikumsalam warohmatulahi wabarakatuh."


Aku berdiri di teras hawalii milik Babajee, menatap mobil jeep Thariq yang keluar dari pekarangan lalu berjalan menjauh. Ini tidak seperti biasanya, dan aku juga tidak mengerti, kenapa aku merasa ada yang hilang saat melihat Thariq dan jeepnya pergi. Aku memiliki firasat kalau kami tidak akan pernah bertemu lagi. Dan ... Ah, mudah-mudahan perasaan ini hanya sebuah syndrom cemas pra nikah. Thariq kan cuma pergi ke kota untuk mengambil cincin. Dia akan kembali lagi.

###


Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Aku tidak bisa tidur. Aku khawatir pada Thariq, sampai sekarang dia belum menelpon. Oke, aku akui, aku memang terlalu paranoid. Tapi perasaanku benar-benar tidak enak.


Apakah aku sedang terkena syndrom rasa cemas pra nikah? Well, ini mengerikan.


Aku melirik ke arah ponsel yang kusimpan di atas meja kecil, di samping tempat tidurku. Haruskah aku menelpon Thariq shahab lebih dulu untuk menanyakan apa dia baik-baik saja?

Ah. TIDAK! Aku ini perempuan. Dan tidak baik seorang perempuan menghubungi laki-laki lebih dulu.

Tapi ... Aku benar-benar cemas sampai tidak bisa tidur!


"Argh!" Aku menggerutu kesal sambil bangun dari posisi berbaringku. Dan dengan cemberut, aku turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar. Aku hanya memakai pijama pulkadot-ku dan tidak memakai hijab.


Aku ingin keluar menonton televisi untuk mengusir rasa cemasku.


"Kakek belum tidur?" Aku melihat Babajee yang sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi.


Beliau menoleh ke arahku. "Belum. Kakek dan Pamanmu, Sikander, sedang menunggu acara pertandingan sepak bola," dia melirik ke arah jam dinding. "Lima belas menit lagi dimulai. Kamu sendiri kenapa belum tidur?" Babajee balik bertanya padaku.


"Aku insomnia, Kek," jawabku lesu sembari menghenyakan diri di sudut sofa panjang tempat Babajee duduk.


"Mencemaskan pernikahanmu dengan Thariq?"


"Mungkin. Tapi saya pikir saya hanya sedang menghawatirkan hal yang tidak penting," sahutku sambil mengangkat bahu.


"Lho, Fiza? Kenapa belum tidur?" Tegur Paman Sikander yang entah darimana datangnya, tiba-tiba dia sudah berdiri di samping sofa tempatku duduk.


Aku mendongak, menatapnya dengan ekspresi manja. "Aku insomnia Paman," sahutku.


"Mau ikut menonton acara sepak bola bersama kami?" Tawarnya sembari beranjak untuk duduk di sofa, di tengah, diantara aku dan Babajee.


"Tentu saja," sahutku.


###


Acara sepak bola di tivi sudah berlangsung selama tujuh belas menit, pertandingan antara Arab Saudi melawan Pakistan. Pertandingannya cukup seru, walau aku tidak begitu mengerti mengenai sepak bola, tapi aku juga ikut berseru gembira saat salah satu pemain Pakistan membawa bola, dan berhasil membuat gol ke gawang Arab Saudi.


Saat kami sedang asik menonton, tiba-tiba telepon rumah berdering.


Siapa menelpon malam-malam begini?


Aku hendak bangun untuk mengangkat telepon, namun Paman Sikander mendahuluiku, dia beranjak untuk mengangkat telepon yang ada di atas meja hias, di samping lemari besar tempat menyimpan televisi.


"Halo. Assalamu'alaikum. Kediaman keluarga Raja Din." Paman Sikander mengangkat teleponnya. Dia diam sejenak, dahinya berkerut saat mendengarkan perkataan lawan bicaranya. "Furqon? Ada apa?"


Furqon? Furqon kan nama kakaknya Thariq. Aku manatap Paman Sikander bingung, jantungku tiba-tiba berdetak was-was. Apa yang terjadi?


Mata cokelat Paman Sikander melebar. Dia menatapku ngeri. "Apa? T-Thariq meninggal?"


Apa? Aku merasakan jantungku tiba-tiba berhenti, dan seluruh tubuhku mendadak lemas.

Thariq ... Meninggal? Tidak, itu tidak mungkin.


"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (انا لله وانا اليه راجعون)"


Ya Allah. Siapapun tolong katakan padaku kalau itu bohong.


"Fiza?" Babajee menatapku khawatir.


"Bagaimana itu bisa terjadi? Kecelakaan mobil di jalan tol? Mobil jeep Thariq menatap pembatas jalan lalu jatuh ke laut?"


Tidak. Tidak. Tidak! Aku menggeleng putus asa, aku mulai menangis.


"Mayatnya masih belum ditemukan? Ya Allah. Baiklah aku akan memberitahu Erfiza," paman Sikander melirikku perihatin. "Kalian ada dimana?" Dia diam. "Aku akan ke sana. Hmm. Assalamu'alaikum." Paman Sikander menutup teleponnya lalu menatapku sedih.

"Fiza ... Kamu sudah dengar sendiri kan tadi. Thariq ..." Beliau tidak sanggup meneruskan ucapannya.


Aku terisak dalam pelukan Babajee. "Tidak. Thariq tidak mungkin mati. Huhuuu." Dia tidak mungkin meninggalkanku, apalagi sebentar lagi kami menikah.


"Fiza bersabarlah cucuku. Semua ini takdir Allah," Babajee menasehatiku. Suaranya pecah oleh keperihatinan.


Tidak.


"Fiza ..." Paman Sikander berjalan menghampiriku.


"Tidak!" Mataku membelalak liar. Aku melepaskan diri dari pelukan Babajee.


"Fiza?"


"Tidak! Tidak!" Aku bangkit dari sofa, dan mulai berteriak tak karuan dengan air mata yang terus mengalir.


"Ya Allah, Fiza. Istighfar Nak, istighfar!" Ucap Babajee mencemaskanku.


Tidak! Thariq tidak mungkin meninggal. Tidak!


"Fiza."


"TIDAK!" Aku berteriak untuk mengeluarkan semua rasa sakit hatiku. Aku tidak peduli bahwa semua orang di rumah ini akan bangun.


"Fiza!"


"THARIQ!!!" Dan semua tiba-tiba menjadi gelap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun