"Baiklah. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam warohmatulahi wabarakatuh."
Aku berdiri di teras hawalii milik Babajee, menatap mobil jeep Thariq yang keluar dari pekarangan lalu berjalan menjauh. Ini tidak seperti biasanya, dan aku juga tidak mengerti, kenapa aku merasa ada yang hilang saat melihat Thariq dan jeepnya pergi. Aku memiliki firasat kalau kami tidak akan pernah bertemu lagi. Dan ... Ah, mudah-mudahan perasaan ini hanya sebuah syndrom cemas pra nikah. Thariq kan cuma pergi ke kota untuk mengambil cincin. Dia akan kembali lagi.
###
Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Aku tidak bisa tidur. Aku khawatir pada Thariq, sampai sekarang dia belum menelpon. Oke, aku akui, aku memang terlalu paranoid. Tapi perasaanku benar-benar tidak enak.
Apakah aku sedang terkena syndrom rasa cemas pra nikah? Well, ini mengerikan.
Aku melirik ke arah ponsel yang kusimpan di atas meja kecil, di samping tempat tidurku. Haruskah aku menelpon Thariq shahab lebih dulu untuk menanyakan apa dia baik-baik saja?
Ah. TIDAK! Aku ini perempuan. Dan tidak baik seorang perempuan menghubungi laki-laki lebih dulu.
Tapi ... Aku benar-benar cemas sampai tidak bisa tidur!
"Argh!" Aku menggerutu kesal sambil bangun dari posisi berbaringku. Dan dengan cemberut, aku turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar. Aku hanya memakai pijama pulkadot-ku dan tidak memakai hijab.
Aku ingin keluar menonton televisi untuk mengusir rasa cemasku.