Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Suka menulis tentang ekonomi dan puisi, financial literacy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Gagal Bertahan di Tengah Krisis, Sritex Pailit dengan Beban Utang Triliunan

3 November 2024   12:00 Diperbarui: 3 November 2024   12:03 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sritex. sumber: freepik

Perusahaan tekstil raksasa Indonesia, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), resmi dinyatakan pailit setelah menghadapi tekanan finansial yang berat akibat utang yang mencapai Rp 24 triliun. 

Dulu dikenal sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia yang mengekspor produk berkualitas tinggi ke berbagai negara, kini Sritex mengalami krisis finansial yang berujung kebangkrutan. 

Apa yang sebenarnya terjadi, dan apa dampak dari kejatuhan perusahaan ini?

Kronologi Kejatuhan Sritex: Utang Besar dan Pandemi yang Tak Terduga

Laba Sritex di Masa Jaya (2017 - 2020)

Sebelum menghadapi krisis, Sritex sebenarnya berada dalam masa keemasan. Laba perusahaan ini terus meningkat dari tahun ke tahun, menunjukkan bahwa bisnis mereka sedang tumbuh pesat. 

Berikut adalah laba bersih yang dicatatkan Sritex dalam beberapa tahun sebelum krisis:

  • 2017: Rp 600 miliar
  • 2018: Rp 800 miliar
  • 2019: Rp 1,2 triliun
  • 2020: Rp 1,3 triliun

Dengan keuntungan yang stabil ini, Sritex kemudian memutuskan untuk memperluas bisnisnya dengan berinvestasi dalam skala besar. 

Perusahaan mengambil utang yang cukup besar untuk membeli mesin-mesin modern yang nilainya mencapai triliunan rupiah, dengan tujuan meningkatkan kapasitas produksi dan efisiensi. 

Pada masa itu, manajemen perusahaan meyakini bahwa ekspansi ini akan memperkuat posisi mereka di pasar global.

Utang Jumbo untuk Ekspansi dan Kejutan Pandemi COVID-19

Keputusan untuk mengambil utang dalam jumlah besar ini mungkin tampak logis saat itu. 

Pasar tekstil global sedang berkembang, dan Sritex berambisi memperbesar pangsa pasar mereka di kancah internasional. 

Namun, pandemi COVID-19 yang tiba-tiba melanda pada tahun 2020 mengubah segalanya.

Pandemi menyebabkan penurunan permintaan yang sangat signifikan di sektor tekstil, karena konsumen di seluruh dunia mengurangi pengeluaran mereka untuk produk-produk non-esensial. 

Dengan menurunnya permintaan global, banyak perusahaan tekstil, termasuk Sritex, kesulitan menjual produk mereka, baik di pasar domestik maupun internasional.

Selain itu, pandemi membuat rantai pasokan terganggu. Harga bahan baku naik, pengiriman tertunda, dan biaya logistik melonjak. Hal ini menyebabkan biaya produksi meningkat, sementara pendapatan turun drastis. 

Alhasil, Sritex mengalami kesulitan keuangan yang semakin parah, karena pemasukan yang mereka peroleh tidak mampu menutupi bunga utang yang terus membengkak.

Dampak dari Perang Rusia-Ukraina

Di saat Sritex masih mencoba bangkit dari dampak pandemi, perang Rusia-Ukraina yang terjadi pada tahun 2022 kembali memukul ekonomi global, khususnya di sektor perdagangan internasional. 

Perang ini menyebabkan ketidakstabilan ekonomi di Eropa, salah satu pasar ekspor terbesar Sritex, yang kemudian memengaruhi daya beli konsumen dan menekan permintaan produk tekstil.

Rusia dan Ukraina juga merupakan produsen bahan baku penting bagi banyak industri, termasuk tekstil. Konflik ini menyebabkan harga energi dan bahan baku naik tajam. 

Dengan kenaikan biaya produksi, margin keuntungan Sritex semakin tergerus, sementara utang mereka terus membebani arus kas perusahaan.

Tiga Tahun Kerugian Besar: 2021 - 2023

Krisis yang berkepanjangan ini terlihat jelas dari laporan keuangan Sritex. Berikut adalah kerugian yang dialami perusahaan dari tahun 2021 hingga 2023:

  • 2021: Rugi Rp 15 triliun
  • 2022: Rugi Rp 6 triliun
  • 2023: Rugi Rp 2,8 triliun

Dengan kerugian yang terus bertambah dan defisit arus kas mencapai Rp 15 triliun, Sritex tidak mampu lagi melunasi utang-utang besarnya. 

Akhirnya, setelah berusaha bertahan selama tiga tahun di tengah tekanan finansial, Sritex dinyatakan pailit.

Dampak Pailitnya Sritex terhadap Karyawan dan Ekonomi Sekitar

Kepailitan Sritex bukan hanya berdampak pada perusahaan itu sendiri, tetapi juga pada ribuan karyawan dan ekonomi lokal di sekitar kawasan pabrik. 

Sritex mempekerjakan sekitar 11.000 karyawan, dan jika setiap karyawan menopang empat anggota keluarga, maka sekitar 44.000 orang berpotensi kehilangan sumber penghidupan mereka.

Berikut beberapa dampak langsung dari kebangkrutan Sritex:

1. PHK Massal dan Kehilangan Pendapatan

PHK besar-besaran kemungkinan besar tak terhindarkan akibat kebangkrutan ini. 

Ribuan karyawan yang selama ini mengandalkan Sritex sebagai sumber penghasilan akan kehilangan pekerjaan, yang secara langsung memengaruhi stabilitas ekonomi keluarga mereka. 

Dampak dari PHK ini tidak hanya dirasakan oleh karyawan itu sendiri, tetapi juga oleh keluarga dan komunitas sekitar yang mengandalkan penghasilan dari Sritex.

2. Warung dan Kos-kosan Terancam Tutup

Ekonomi di sekitar pabrik Sritex sebagian besar didukung oleh keberadaan karyawan. Warung makan, pedagang kecil, dan pemilik kos-kosan bergantung pada pengeluaran karyawan Sritex. 

Dengan banyaknya karyawan yang kehilangan pekerjaan, warung dan kos-kosan ini mungkin juga harus menutup usahanya karena kehilangan pelanggan.

3. Anjloknya Perputaran Uang di Ekonomi Lokal

Dengan menurunnya daya beli masyarakat setempat, perputaran uang di kawasan tersebut akan melambat. Hal ini berarti aktivitas perdagangan dan bisnis lainnya juga akan sepi. 

Ratusan ribu orang di wilayah sekitar pabrik diperkirakan akan terdampak secara tidak langsung karena lemahnya ekonomi lokal yang bergantung pada keberadaan Sritex.

Pengawasan Aset oleh Kurator untuk Pembayaran Utang

Sebagai bagian dari proses kepailitan, seluruh aset Sritex kini berada di bawah pengawasan kurator. 

Tugas kurator adalah memastikan bahwa aset-aset Sritex dikelola dengan baik untuk membayar utang-utang yang masih ada, termasuk kepada kreditor dan supplier. 

Manajemen Sritex tidak lagi memiliki kendali penuh atas pengelolaan aset, dan mereka harus mendapat izin dari kurator jika ingin melakukan pengeluaran signifikan.

Kurator memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar aset Sritex tidak disalahgunakan, serta berusaha sebisa mungkin untuk melunasi utang perusahaan. 

Jika aset dapat dijual dengan harga yang memadai, maka utang kepada kreditor diharapkan bisa dilunasi sebagian atau bahkan seluruhnya.

Pelajaran Berharga dari Kasus Sritex: Pentingnya Timing dan Manajemen Risiko

Kisah kejatuhan Sritex memberikan pelajaran berharga bagi dunia bisnis, khususnya tentang pentingnya timing dalam pengambilan keputusan bisnis. 

Keputusan Sritex untuk ekspansi besar-besaran sebelum pandemi ternyata merupakan langkah yang salah dalam konteks waktu. 

Saat pasar mulai lesu akibat pandemi, Sritex justru terjebak dengan utang besar dan aset yang tidak dapat mendatangkan pendapatan.

Selain itu, kasus Sritex juga menyoroti pentingnya manajemen risiko dalam menghadapi ketidakpastian global. 

Fenomena "Black Swan" seperti pandemi COVID-19 adalah peristiwa langka yang sulit diprediksi, namun dampaknya sangat besar terhadap bisnis. 

Oleh karena itu, perusahaan perlu memiliki strategi mitigasi risiko yang kuat untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak terduga.

Dalam dunia bisnis yang penuh dinamika dan ketidakpastian, perusahaan harus mempertimbangkan skenario terburuk dalam perencanaan bisnis mereka, termasuk kemungkinan terjadinya krisis global yang dapat memengaruhi permintaan dan rantai pasokan.

Masa Depan Sritex dan Harapan untuk Para Karyawan

Masa depan Sritex mungkin tampak suram, namun masih ada harapan bahwa aset-aset yang dimiliki perusahaan dapat dikelola dan dijual untuk melunasi sebagian utang. 

Jika memungkinkan, perusahaan ini bisa mendapatkan kesempatan untuk bangkit kembali dengan manajemen baru atau pemodal yang bersedia mengakuisisi aset perusahaan.

Namun, kebangkrutan ini juga menunjukkan bahwa tidak ada bisnis yang kebal terhadap risiko global. 

Dalam situasi ekonomi yang tidak menentu, penting bagi para pelaku bisnis untuk tidak hanya fokus pada pertumbuhan, tetapi juga mempertimbangkan faktor risiko. 

Dengan mengelola risiko dengan baik dan mempertimbangkan timing dalam setiap keputusan, perusahaan dapat memiliki pondasi yang lebih kuat untuk bertahan di masa depan.

Sementara itu, harapan terbesar adalah agar dampak sosial dari kepailitan Sritex dapat diminimalkan. 

Pemerintah dan lembaga terkait diharapkan dapat memberikan dukungan bagi para karyawan yang terdampak, melalui pelatihan ulang atau bantuan keuangan sementara, sehingga mereka dapat menemukan pekerjaan baru atau memulai usaha mandiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun