Pasar tekstil global sedang berkembang, dan Sritex berambisi memperbesar pangsa pasar mereka di kancah internasional.Â
Namun, pandemi COVID-19 yang tiba-tiba melanda pada tahun 2020 mengubah segalanya.
Pandemi menyebabkan penurunan permintaan yang sangat signifikan di sektor tekstil, karena konsumen di seluruh dunia mengurangi pengeluaran mereka untuk produk-produk non-esensial.Â
Dengan menurunnya permintaan global, banyak perusahaan tekstil, termasuk Sritex, kesulitan menjual produk mereka, baik di pasar domestik maupun internasional.
Selain itu, pandemi membuat rantai pasokan terganggu. Harga bahan baku naik, pengiriman tertunda, dan biaya logistik melonjak. Hal ini menyebabkan biaya produksi meningkat, sementara pendapatan turun drastis.Â
Alhasil, Sritex mengalami kesulitan keuangan yang semakin parah, karena pemasukan yang mereka peroleh tidak mampu menutupi bunga utang yang terus membengkak.
Dampak dari Perang Rusia-Ukraina
Di saat Sritex masih mencoba bangkit dari dampak pandemi, perang Rusia-Ukraina yang terjadi pada tahun 2022 kembali memukul ekonomi global, khususnya di sektor perdagangan internasional.Â
Perang ini menyebabkan ketidakstabilan ekonomi di Eropa, salah satu pasar ekspor terbesar Sritex, yang kemudian memengaruhi daya beli konsumen dan menekan permintaan produk tekstil.
Rusia dan Ukraina juga merupakan produsen bahan baku penting bagi banyak industri, termasuk tekstil. Konflik ini menyebabkan harga energi dan bahan baku naik tajam.Â
Dengan kenaikan biaya produksi, margin keuntungan Sritex semakin tergerus, sementara utang mereka terus membebani arus kas perusahaan.
Tiga Tahun Kerugian Besar: 2021 - 2023
Krisis yang berkepanjangan ini terlihat jelas dari laporan keuangan Sritex. Berikut adalah kerugian yang dialami perusahaan dari tahun 2021 hingga 2023:
- 2021: Rugi Rp 15 triliun
- 2022: Rugi Rp 6 triliun
- 2023: Rugi Rp 2,8 triliun