Pada saat yang sama, banyak masyarakat yang penghasilannya stagnan atau bahkan mengalami penurunan karena kondisi ekonomi yang tidak menentu.Â
Dalam situasi seperti ini, kebijakan fiskal yang menambah beban masyarakat dengan menaikkan pajak konsumsi seperti PPN dapat dianggap tidak sensitif terhadap kondisi sosial-ekonomi saat ini.
Kenaikan PPN juga dapat berdampak pada pengurangan konsumsi masyarakat. Konsumsi rumah tangga adalah salah satu komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi nasional.Â
Jika konsumsi menurun karena daya beli yang menurun, pertumbuhan ekonomi juga akan terdampak.Â
Dengan demikian, meskipun pemerintah mungkin akan mendapatkan tambahan penerimaan pajak dalam jangka pendek, dampak jangka panjangnya terhadap perekonomian bisa jadi negatif.
Peningkatan PPN untuk Tambahan Penerimaan Negara
Pemerintah memperkirakan bahwa kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% akan menambah penerimaan negara sekitar Rp80 triliun.Â
Jumlah ini tentunya bukan angka yang kecil, dan tambahan pendapatan pajak ini memang sangat dibutuhkan untuk menutup defisit anggaran yang terus meningkat, terutama setelah pandemi COVID-19.Â
Namun, pertanyaannya adalah, apakah langkah ini merupakan pilihan terbaik untuk menambah penerimaan negara?
Peningkatan PPN adalah cara yang relatif mudah dan cepat untuk meningkatkan pendapatan pemerintah, tetapi juga merupakan kebijakan yang sangat regresif.Â
Artinya, dampak kenaikan PPN akan lebih dirasakan oleh masyarakat berpendapatan rendah dibandingkan dengan kelompok berpendapatan tinggi.Â
PPN dikenakan secara merata pada semua pembeli barang dan jasa, terlepas dari penghasilan mereka.Â