Selain itu, ketidakjelasan status mereka sebagai "mitra" atau "karyawan" membuat mereka sulit untuk menuntut hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan.
Di beberapa negara lain, seperti Inggris dan Spanyol, pengadilan telah memutuskan bahwa hubungan antara perusahaan dan pekerja gig ekonomi tidak boleh dianggap sebagai kemitraan, melainkan sebagai hubungan antara perusahaan dan karyawan.Â
Ini berarti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut harus memenuhi kewajiban hukum yang biasanya berlaku untuk hubungan kerja formal, seperti memberikan upah minimum, jaminan sosial, dan perlindungan lainnya.Â
Sayangnya, keputusan semacam ini belum diadopsi secara luas di Indonesia.
Realitas Kehidupan Pekerja Ojek Online
Pada awal kemunculannya, bekerja sebagai ojek online dianggap sebagai pilihan yang menguntungkan.Â
Pekerja ojek online menikmati pendapatan yang relatif tinggi, didorong oleh bonus dan insentif dari platform yang berusaha menarik pekerja dan pelanggan baru.Â
Masa ini sering disebut sebagai "bulan madu," di mana baik pekerja maupun konsumen mendapatkan banyak manfaat dari persaingan ketat antar platform.
Namun, kondisi tersebut tidak bertahan lama. Setelah pasar mulai jenuh dan persaingan antar platform menurun, bonus dan insentif yang pernah menjadi daya tarik utama bagi para pekerja pun perlahan-lahan dikurangi.Â
Akibatnya, pendapatan banyak pekerja ojek online menurun drastis, sementara biaya hidup terus meningkat.Â
Penelitian menunjukkan bahwa saat ini, banyak pekerja ojek online berpenghasilan jauh di bawah UMR, dengan jam kerja yang sangat panjang, mencapai rata-rata 12 jam per hari.
Kondisi kerja yang semakin buruk ini menyebabkan banyak pekerja gig ekonomi ingin berhenti.Â