Salah satu masalah utama dalam gig ekonomi adalah penggunaan istilah "mitra" untuk menggambarkan hubungan antara platform dan pekerja.Â
Dalam teori, istilah ini seharusnya mencerminkan hubungan yang setara, di mana kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Namun, penelitian menunjukkan bahwa kenyataannya jauh dari ideal.
Sebagian besar keputusan penting dalam hubungan kerja ini ditentukan sepenuhnya oleh pihak platform.Â
Mulai dari penentuan tarif, kebijakan bonus, hingga aturan-aturan lainnya yang mempengaruhi kesejahteraan pekerja, semuanya ditetapkan secara sepihak oleh platform, tanpa adanya ruang bagi pekerja untuk bernegosiasi atau memberikan masukan.
Penggunaan istilah "kemitraan" ini juga sering kali dianggap sebagai upaya platform untuk menghindari tanggung jawab hukum yang biasanya melekat pada hubungan kerja formal.Â
Dengan menyebut pekerja sebagai "mitra" alih-alih "karyawan," platform dapat menghindari kewajiban untuk memberikan hak-hak dasar pekerja, seperti upah minimum, jaminan sosial, dan cuti.Â
Hal ini semakin diperburuk oleh fakta bahwa peraturan mengenai upah minimum regional (UMR) di Indonesia tidak mencakup pekerja di sektor informal seperti ojek online, yang berarti banyak dari mereka berpenghasilan di bawah UMR.
Kekosongan Hukum dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Pekerja
Ketiadaan regulasi yang jelas mengenai hubungan kerja dalam gig ekonomi di Indonesia menciptakan kekosongan hukum yang berdampak negatif terhadap kesejahteraan pekerja.Â
Saat ini, peraturan yang ada hanya berfokus pada aspek pelayanan, seperti standar kualitas layanan atau keselamatan pengguna, tanpa menyentuh aspek hubungan kerja antara platform dan pekerja.
Kekosongan hukum ini menyebabkan banyak pekerja gig berada dalam posisi yang sangat rentan.Â
Mereka tidak hanya tidak memiliki jaminan penghasilan yang stabil, tetapi juga tidak memiliki perlindungan terhadap risiko-risiko lain, seperti kecelakaan kerja atau pemutusan hubungan kerja yang tiba-tiba.Â