Mohon tunggu...
Muhammad Mishbakhul Huda
Muhammad Mishbakhul Huda Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia SMA Taruna Nusantara Magelang

Literasi merupakan kegiatan yang sangat menyenangkan. Melalui literasi kita bisa mengetahui dunia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Cerpen "Saksi Mata" (Kajian Stilistika)

29 November 2023   08:09 Diperbarui: 29 November 2023   08:24 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Sastra dengan bahasa merupakan dua bidang yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara sastra dengan bahasa bersifat dialektis (Wellek dan Warren, 1990: 218). Bahasa sebagai sistem tanda primer dan sastra dianggap sebagai sistem tanda sekunder menurut istilah Lotman (dalam Teeuw, 1984: 99). Bahasa sebagai sistem tanda primer membentuk model dunia bagi pemakainya, yakni sebagai model yang pada prinsipnya digunakan untuk mewujudkan konseptual manusia di dalam menafsirkan segala sesuatu baik di dalam maupun di luar dirinya. Selanjutnya, sastra yang menggunakan media bahasa tergantung pada sistem primer yang diadakan oleh bahasa. Dengan kata lain, sebuah karya sastra hanya dapat dipahami melalui bahasa.

Ciri khas sebuah karya sastra tidak saja dilihat berdasarkan genre-nya, tetapi dapat pula dilihat melalui konvensi sastra maupun konvensi bahasanya. Khusus dalam kaitan bahasa dalam sastra, pengarang mengeksploitasi potensi-potensi bahasa untuk menyampaikan gagasannya dengan tujuan tertentu. Dengan sudut pandang demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya ada kekhususan atau keunikan masing-masing pengarang sebagai ciri khasnya yang mungkin merupakan kesengajaan atau invensi pengarang dalam proses kreatifnya (Subroto, 1999: 1). Menurut Aminuddin (1995: 1) gaya merupakan perujudan penggunaan bahasa oleh seorang penulis untuk mengemukakan gambaran, gagasan, pendapat, dan membuahkan efek tertentu bagi penanggapnya sebagaimana cara yang digunakannya. Sebagai wujud cara menggunakan kode kebahasaan, gaya merupakan relasional yang berhubungan dengan rentetan kata, kalimat dan berbagai kemungkinan manifestasi kode kebahasaan sebagai sistem tanda. Jadi, gaya merupakan simbol verbal.

Seno Gumira Ajidarma merupakan salah satu sastrawan Indonesia yang banyak menghasilkan karya sastra prosa, baik cerpen maupun novel. Beberapa cerpennya yang dimuat dalam beberapa media massa cetak telah dibukukan. Saksi Mata merupakan salah satu cerpen hasil karya Seno Gumira Ajidarma yang telah dibukukan dalam kumpulan cerpen Saksi Mata.

Dalam Saksi Mata, Seno mengajak pembaca untuk lebik peka terhadap situasi dan polemik yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru. Bahasa jurnalistik yang diterapkan Seno dalam cerpen ini cukup mudah dipahami. Penggambaran tokoh-tokonya pun simple dan tidak terlalu berlebih seperti cerpen pada umumnya.

Setelah membaca cerpen ini, cerpen ini tampaknya menarik untuk diteliti dari sudut stilistika. Hal ini disebabkan gaya yang ada dalam cerpen ini sekilas menujukkan kekhasan gaya bahasa yakni munculnya dominasi gaya penceritaan, penggunaan bahasa yang khas, pemanfaatan diksi, dan munculnya gaya permajasan seperti gaya perumpaman, personifikasi, dan metafora. Selain itu, gaya tersebut dijadikan sarana pembungkus makna sehingga layak dilakukan pembongkaran guna mengetahui makna, efek, dan citraan yang ditimbulkan dari penggunaan gaya tersebut.

Pembahasan

Kajian stilistika dalam cerpen Saksi Mata ini, dilakukan beberapa analisis pada gaya bahasa dan pemilihan diksi yang digunakan pengarang, penggunaan tanda baca, pemanfaatan majas, dan gaya lain yang menunjukkan ciri khas penulisan dalam novel ini, yaitu latar belakang cerita.

1. Bahasa dan Pemilihaan Diksi

Cerpen Saksi Mata banyak menggunakan pilihan kata yang mudah dipahami oleh pembaca. Hal ini dapat dikarenakan latar belakang Seno yang seorang jurnalis, sehingga mampu memainkan kata-kata yang dapat dengan mudah dipahami oleh pembaca. Dengan bahasa jurnalistik yang dimiliki oleh Seno, ia dapat membungkus cerpen ini sebagai sebuah sindiran pada pemerintahan Orde Baru. Seno juga membubuhkan beberapa penggunaan leksikal dari bahasa Jawa.

a. Pemanfaatan Leksikal Bahasa Jawa

Beberapa leksikal yang digunakan dalam percakapan dalam cerpen ini memanfaatkan leksikal bahasa Jawa. Berikut kutipannya:

"Terlalu!""Edan!""Sadis!"

Kata edan dalam bahasa Indonesia berarti "gila". Dalam cerpen ini penggunakan kata edan dimaksudkan sebagai rasa kaget para hadirin di ruang sidang terhadap apa yang tengah dilihatnya. Pada saat si Saksi Mata memasuki ruang sidang, suasana dalam ruang sidang langsung menjadi ricuh. Para hadirin meluapkan rasa kekagetan mereka dengan apa yang disaksikan. Seorang Saksi Mata masuk ke dalam ruang sidang tanpa mata di kepalanya.

Seno juga menggunakan istilah masakan daerah yang masih menggunakan bahasa Jawa, yaitu tengkleng. Berikut kutipannya:

"Bukan Pak, diambil pakai sendok.""Haa? Pakai sendok? Kenapa?""Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.""Dibikin tengkleng? Terlalu! Siapa yang bilang?"

Istilah tengkleng merupakan nama masakan daerah khas Surakarta, yaitu semacam sop tulang-belulang kambing dengan tempelan daging di sana-sini. Penggunaan istilah ini dimaksudkan Seno untuk menegaskan bahwa mata si Saksi Mata itu diambil untuk digunakan sebagai bahan membuat tengkleng.

Darah mengalir di lantai ruang pengadilan yang sudah dipel dengan karbol. Darah mengalir memenuhi ruang pengadilan sampai luber melewati pintu menuruni tangga sampai ke halaman.

Dalam kutipan cerpen di atas, Seno menggunakan kata luber pada kalimat tak langsung. Kata luber dalam bahasa Indonesia disamaartikan dengan "meluap". Dalam cerpen ini, pemanfaatan kata luber oleh Seno adalah untuk menekankan darah yang keluar dari mata Saks Mata tersebut telah membasahi semua ruangan hingga melewati pintu ruang sidang.

b. Pemanfaatan Dialek Betawi

Pemanfaatan dialek Betawi bisa dihubungkan dengan bahasa Indonesia gaul yang marak digunakan oleh para remaja kota. Dalam cerpen ini juga digunakan dialek Betawi baik dalam percakapan antara Hakim dan Saksi Mata maupun dalam kalimat tidak langsung.

"Tentu saja, bego! Maksud saya siapa yang mengambil mata saudara pakai sendok?""Dia tidak bilang siapa namanya Pak.""Saudara tidak tanya bego?"

 Dari kutipan di atas, kata bego merupakan salah satu hasil dari dialek Betawi. Bego berarti tolol atau sangat bodoh. Penggunaan kata bego dimaksudkan untuk mengungkapkan kekesalan Hakim terhadap pengakuan Saksi Mata.

"Haa? Pakai sendok? Kenapa?""Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.""Dibikin tengkleng? Terlalu! Siapa yang bilang?"

 Pada kutipan di atas, frasa mau dibikin merupakan dialek Betawi yang diartikan sebagai akan dibuat. Penggunaan frasa itu dimaksudkan Seno untuk menegaskan tujuan orang yang mengambil mata si Saksi Mata itu.

"Lima Pak.""Seperti apa mereka?""Saya tidak sempat meneliti Pak, habis mata saya keburu diambil sih.""Masih ingat pakaiannya barangkali?"

Kata keburu dalam kutipan di atas, dapat diartikan sebagai "terlanjur". Penggunaan kata keburu dimanfaatkan oleh Seno sebagai pengasan yang dilakukan oleh Saksi Mata terhadap kenyataan bahwa ia tidak sempat meneliti seperti apa orang yang mengambil matanya itu.

c. Pemanfaatan Sinonim

Pemanfaatan sinonim dalam cerpen ini hanya digunakan untuk menggantikan nama tokoh dalam sebuah percakapan maupun dalam kalimat tidak langsung. Untuk menggantikan tokoh Saksi Mata, Seno menggunakan kata bego, saudara, saudara Saksi Mata. Berikut kutipannya:

"Tentu saja, bego! Maksud saya siapa yang mengambil mata saudara pakai sendok?""Dia tidak bilang siapa namanya Pak.""Saudara tidak tanya bego?"

Penggunakan kata bego ini dimanfaatkan Seno saat Hakim mulai kesal dengan pernyataan yang diberikan oleh Saksi Mata. Penggunaan kata bego juga dapat dimaknai bahwa orang kecil tidak dapat disederajatkan dengan orang yang mempunyai kedudukan. Di sini digambarkan bahwa Hakim mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Saksi Mata.

"Jadi saudara melihat seperti apa orangnya kan?""Saya Pak.""Coba ceritakan apa yang dilihat mata saudara yang sekarang sudah dimakan para penggemar tengkleng itu."

Penggunaan kata saudara pada kutipan di atas, dimaksudkan oleh Seno untuk menggantikan nama tokoh Saksi Mata. Selain itu, sapaan saudara dianggap lebih sopan.

"Sidang hari ini ditunda, dimulai lagi besok untuk mendengarkan kesaksian saudara Saksi Mata yang sudah tidak punya mata lagi!"

Pada kutipan di atas, penggunaan frasa saudara Saksi Mata digunakan oleh Seno untuk menggantikan nama Saksi Mata agar dilihat lebih sopan. Seno juga memanfaatkan sinonim kata sapaan pada tokoh Hakim. Sinonim ini antara lain Pak dan Bapak Hakim Yang Mulia. Berikut kutipannya:

 Bapak Hakim Yang Mulia, yang segera tersadar, mengetuk-ngetukkan palunya, dengan sisa wibawa yang masih ada ia mencoba menenangkan keadaan.

Pada kutipan di atas, digunakan sapaan Bapak Hakim Yang Mulia. Sapaan ini digunakan oleh Seno untuk menggantikan nama Hakim. Sapaan nama ini juga digunakan untuk membuat kedudukan Hakim lebih tinggi dari orang lain yang ada di dalam ruang sidang.

"Diambil orang Pak.""Diambil?""Saya Pak."

Penggunaan sapaan ini dimaksudkan sebagai sapaan resmi dalam sebuah majelis. Selain itu sapaan ini difungsikan untuk lebih menghormati Hakim, yang notabene adalah orang dengan kedudukan tertinggi dalam ruang sidang tersebut.

2. Majas

 Majas adalah bahasa kiasan yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Majas dapat dimanfaatkan oleh para pembaca atau penulis untuk menjelaskan gagasan mereka (Tarigan, 1985:179). Pradopo (2002:62) menjelaskan bahwa majas meyebabkan karya sastra menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, lebih hidup, dan menimbulkan kejelasan gambaran angan.

a. Majas Repetisi

Majas repetisi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mengulang kata atau frasa. Repetisi pada cerpen ini biasanya digunakan pada saat percakapan dan pada kalimat tidak langsung. Fungsi majas repetisi pada cerpen ini adalah sebagai cara untuk menjawab pertanyaan Hakim. Berikut kutipannya:

"Saudara Saksi Mata masih ingat semua kejadian ini meskipun sudah tidak bermata lagi?""Saya Pak.""Saudara masih ingat bagaimana pembantaian itu terjadi?""Saya Pak.""Saudara masih ingat bagaimana darah mengalir, orang mengerang dan mereka yang masih setengah ditusuk pisau sampai mati?""Saya Pak."

Pada kutipan di atas terlihat penggunaan frasa saya pak untuk menjawab pertanyaan yang diberikan Hakim kepada Saksi Mata. Penggunaan ini hanya sebatas cara tidak ada makna lain dari penggunaan frasa ini yang berulang-ulang.

Selain penggunaan repetisi pada percakapan, seperti dicontohkan pada kutipan di atas, repetisi juga digunakan pada kalimat tidak langsung. Berikut kutipannya:

Dari lobang1 pada bekas tempat kedua matanya mengucur2 darah yang begitu merah3 bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus menerus dari lobang mata itu.

Dari kutipan di atas terdapat tiga repetisi pada tiga kata yang berbeda. Repetisi pertama (1) terjadi pada kata lobang. Pengulangan kata ini dilakukan untuk menegaskan bahwa darah yang mengalir merupakan darah dari lobang mata Saksi Mata. Repetisi kedua (2) terjadi pada kata mengucur yang digunakan untuk menegaskan bahwa darah dari lubang bekas mata Saksi Mata terus keluar. Repetisi ketiga (3) terjadi pada kata merah yang digunakan untuk mempertegas warna darah yang keluar dari mata Saksi Mata tersebut.

Darah membasahi pipinya, membasahi bajunya, membasahi celananya, membasahi sepatunya, dan mengalir perlahan-lahan di lantai ruang pengadilan yang sebetulnya sudah dipel bersih-bersih dengan karbol yang baunya bahkan...

Dari kutipan di atas, terdapat repetisi pada kata membasahi. Kata ini digunakan sebagai penegasan atas darah yang keluar dari lubang mata Saksi Mata. Darah itu mengalir mulai dari mata kemudian turun hingga mencapai lantai ruang sidang.

 Darah1 masih menetes-netes perlahan-lahan tapi terus-menerus dari lobang hitam bekas mata Saksi Mata yang berdiri seperti patung di ruang pengadilan. Darah mengalir2 di lantai ruang pengadilan yang sudah dipel dengan karbol. Darah mengalir memenuhi ruang pengadilan sampai luber melewati pintu menuruni tangga sampai ke halaman.

Pada kutipan di atas, terdapat dua kali repetisi pada dua kata, yaitu (1) darah dan (2) mengalir. Repetisi kata darah sebagai penegasan bahwa yang keluar dari lubang mata Saksi Mata yang berada dalam ruang pengadilan. Kemudia repetisi kata mengalir, digunakan untuk menegaskan bahwa darah yang keluar dari mata Saksi Mata tersebut telah merembet dan membasahi seluruh ruangan pengadailan itu.

b. Majas Hiperbola

Majas hiperbola digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal dengan berlebihan juga. Majas ini digunakan untuk memberikan gambaran tentang sesuatu sehingga mampu memberikan efek yang lebih mendalam.

Dari lobang pada bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus-menerus dari lobang mata itu.

Dari kutipan di atas, secara implisit dapat dirasakan kehadiran hiperbola. Seno menggambaran warna darah yang keluar dari lubang mata Saksi Mata secara berlebihan. Kata merah diulang sebanyak empat kali. Penggambaran ini dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa darah yang keluar dari mata Saksi Mata itu sangat banyak dan juga menggambarkan bagaimana penderitaan yang dialami oleh Saksi Mata yang matanya telah dicabut.

Hiperbola yang digunakan Seno untuk menggambarkan darah yang mengalir, dilakukan pada setiap bagian cerita ini. Berikut kutipannya:

Darah masih mengalir perlahan-lahan tapi terus-menerus sepanjang jalan raya sampai kota itu bajir darah.

Seno menggambarkan darah yang mengalir ini secara berlebihan. Pada kehidupan nyata, dara yang keluar dari tubuh seseorang tidak akan mungkin sampai membanjiri seluruh pelosok daerah. Penggambaran ini dilakukan untuk menggambarkan banyaknya peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh pihak militer.

c. Majas Simile

Majas simile adalah majas yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding. Majas ini berfungsi sebagai pembanding dua hal dengan memanfaatkan kata penghubung tertentu, seperti bagai, bagaikan, seperti, laksana, dan lain sebagainya.

Dari lobang pada bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus menerus dari lobang mata itu.

Kutipan di atas menunjukkan simile yang menggunakan tanda baca bagaikan. Penggunaan simile pada kutipan cerpen di atas, dimaksudkan Seno untuk menggambarkan perumpamaan pada warna darah yang keluar dari mata Saksi Mata. Darah yang keluar itu begitu merah sehingga tidak bisa dibandingkan dengan warna merah pada benda lain.

Ruangan pengadilan jadi riuh kembali seperti dengungan seribu lebah.

Pada kutipan cerpen di atas, Seno menggunakan kata seperti sebagai penghubung simile di atas. Penggunaan simile pada kutipan di atas dimanfaatkan Seno untuk menggambarkan suasana riuh yang terjadi di dalam ruang pengadilan. Keriuhan yang terjadi bisa diumpamakan dengungan seribu lebah. Sehingga bisa pembaca bisa membayangkan bagaimana keriuhan yang terjadi di dalam ruang pengadilan itu.

d. Majas Klimaks

Majas klimaks adalah gaya bahasa untuk menuturkan satu gagasan atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana meningkat kepada gagasan atau hal yang lebih kompleks. Penggambaran darah yang mengalir dilakukan oleh Seno pada setiap bagian cerita. Mulai dari awal, tengah, hingga akhir cerita. Pada awal cerita penggambaran sebagai berikut:

Darah membasahi pipinya, membasahi bajunya, membasahi celananya, membasahi sepatunya, dan mengalir perlahan-lahan di lantai ruang pengadilan yang sebetulnya sudah dipel bersih-bersih dengan karbol yang baunya bahkan...

Pada tengah cerita, penggambaran ini sebagai berikut:

Darah masih menetes-netes perlahan-lahan tapi terus-menerus dari lobang hitam bekas mata Saksi Mata yang berdiri seperti patung di ruang pengadilan. Darah mengalir di lantai ruang pengadilan yang sudah dipel dengan karbol. Darah mengalir memenuhi ruang pengadilan sampai luber melewati pintu menuruni tangga sampai ke halaman.

Pada akhir cerita, penggambaran menjadi:

Darah masih mengalir perlahan-lahan tapi terus-menerus sepanjang jalan raya sampai kota itu bajir darah. Darah membasahi segenap pelosok kota bahkan merayapi gedung-gedung bertingkat sampai tiada lagi tempat yang tidak menjadi merah karena darah. Namun, ajaib, tiada seorang pun melihatnya.

Penggambaran aliran darah ini secara tidak langsung mengakibatkan gaya bahasa klimaks. Darah yang awalnya hanya keluar dari lubang bekas mata Saksi Mata itu, pada akhirnya membanjiri seluruh daerah. Penggambaran ini dimanfaatkan oleh Seno untuk menggambarkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh pihak militer terjadi dimana-mana. Kekerasan itu menjamur di setiap pelosok daerah. Tetapi semua peristiwa itu tidak ada yang mengetahui.

Darah membasahi pipinya, membasahi bajunya, membasahi celananya, membasahi sepatunya, dan mengalir perlahan-lahan di lantai ruang pengadilan yang sebetulnya sudah dipel bersih-bersih dengan karbol yang baunya bahkan...

Pada kutipan di atas terdapat gaya bahasa klimaks yang ditandai oleh pengulangan kata membasahi dan penggunaan kata pipi, baju, celana, dan sepatu secara berturut-turut. Penggunaan majas klimaks ini masih sama seperti penggambaran pada darah yang mengalir, yaitu untuk menggambarkan banyaknya peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh pihak militer.

e. Majas Sarkasme

Sarkasme merupakan gaya bahasa yang berisi sindiran kasar serta langsung menusuk perasaan. Dalam cerpen Saksi Mata ini, majas ini terapkan secara implisit pada percakapan yang terjadi antara Saksi Mata dengan Hakim. Berikut kutipannya:

"Itu lho Pak, yang hitam-hitam seperti di film.""Mukanya ditutupi?""Iya Pak, cuma kelihatan matanya.""Aaaah, saya tahu! Ninja kan?""Nah, itu Pak, ninja! Mereka itulah yang mengambil mata saya dengan sendok!"

Dari kutipan di atas, secara implisit ditemukan gaya sarkasme. Penggunaan sarkasme pada kutipan di atas adalah untuk menggambarkan pihak yang menciderai Saksi Mata. Untuk menegaskan bahwa pelaku yang mencederai Saksi Mata itu adalah pihak militer, Seno mengganti pihak militer dengan kata ninja. Dalam kutipan di atas, pembaca mendapatkan penjelasan bahwa pelakunya adalah orang berpakaian hitam-hitam seperti ninja. Bagi masyarakat awam, ninja tak memiliki konotasi makna apa-apa. Kata ninja bagi pembaca umum lebih "netral", merujuk pada jago silat yang pakaiannya menutupi sekujur tubuhnya dan hanya menyisakan matanya saja untuk melihat.

Seno memberi tanda rujukan pada catatan kaki yang pada akhirnya dapat mengantarkan pembaca untuk merasakan nuansa makna konotatif "ninja" yang sebenarnya dimaksudkan dalam kutipan tersebut. Dalam rujukan catatan kaki pada kata "ninja" di cerpen tersebut, Seno menjelaskan bahwa ninja berasal dari kata ninjutsu yang merupakan istilah bagi seni spionase dalam tradisi Jepang. Secara detail, Seno memaparkan bagaimana tradisi ninja ini berkembang di Jepang (Ajidarma, 2002: 11-12). Secara tidak langsung pembaca digugah bahwa kata ninja menurut pemahaman konvensional secara denotatif tidaklah cukup untuk memahami konteks cerita ini. Kata ninja ternyata memiliki makna konotatif yang terlalu sulit untuk dipisahkan dengan kelompok intelijen (militer) negara.

Darah masih mengalir perlahan-lahan tapi terus-menerus sepanjang jalan raya sampai kota itu bajir darah. Darah membasahi segenap pelosok kota bahkan merayapi gedung-gedung bertingkat sampai tiada lagi tempat yang tidak menjadi merah karena darah. Namun, ajaib, tiada seorang pun melihatnya.

Dari kutipan cerpen di atas, penggunaan sarkasme terlihat pada bagaimana darah itu mengalir dan pada kalimat terakhir, yaitu namun ajaib, tiada seorang pun melihatnya. Penggambaran aliran darah ini, dimanfaatkan Seno untuk menggambarkan bagaimana tindak kekejaman militer pada pemerintahan Orde Baru yang merayapi dan meluas hingga keseluruh pelosok daerah, sampai tidak ada lagi daerah yang tidak terkena imbas dari kekerasan militer. Kalimat terakhir menggambarkan bahwa peristiwa-peristiwa itu tidak ada yang mengetahui atau bahkan ada yang tahu tetapi takut untuk mengungkapkan itu semuanya.

"Bayangkanlah betapa seseorang harus kehilangan kedua matanya demi keadilan dan kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba hukum mestinya berkorban yang lebih besar lagi?"

Pada kutipan di atas, sarkasme digunakan oleh Seno untuk menyindir pihak-pihak yang bekerja pada lembaga peradilan. Faktanya pada masa Orde Baru, para petinggi hukum Indonesia masih tunduk pada pemerintas yang jelas-jelas tindak keotoriterannya. Kutipan di atas juga digunakan oleh Seno untuk menggambarkan bagaimana penderitaan yang dialami oleh orang-orang yang menjadi korban atas tindak kekejaman pihak militer. Dengan penuh perjuangan para korban-korban itu mencari sebuah keadilan dan kebenaran.

Jadi, sarkasme yang terdapat pada cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma ini diterapkan secara implisit. Sehingga pembaca dapat meresapi maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang.

f. Majas Personifikasi

Personifikasi merupakan gaya bahasa yang memberi sifat-sifat benda mati dengan sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia sehingga dapat bersikap dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia. Pada cerpen ini, Seno menggunakan beberapa personifikasi. Berikut kutipannya:

Sopir itu ingin menjawab dengan sesuatu yang menghilangkan rasa bersalah, semacam kalimat, "Keadilan tidak buta." Namun Bapak Hakim Yang Mulia telah tertidur dalam kemacetan jalan yang menjengkelkan.

Pada kutipan di atas terdapat kalimat keadilan tidak buta. Pada kalimat itu, terdapat personifikasi yang menyatakan bahwa keadilan disamakan dengan manusia yang bisa menjadi buta. Pada bagian ini, Seno menegaskan bahwa keadilan sebenarnya dapat melihat mana yang benar dan mana yang salah. Akan tetapi pada masa itu, keadilan memang dijualbelikan sehingga banyak orang yang tidak dapat merasakan nikmatnya keadilan.

g. Majas Antithesis

 Antithesis adalah majas pertentangan yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan panduan kata yang berlawanan arti. Pada cerpen ini ada beberapa bagian yang menggunakan gaya bahasa ini. Berikut kutipannya:

Para wartawan, yang terpaksa menulis berita kecil karena tidak kuasa menulis berita besar, cepat-cepat memotretnya.

Pada kutipan di atas, terdapat gaya antithesis. Wartawan yang menghadiri persidangan itu menulis beberapa berita. Penggunaan antithesis pada kutipan ini adalah untuk menggambarkan bahwa wartawan pada masa Orde Baru tidak mampu menulis berita besar, karena adanya pembatasan hak untuk menulis berita-berita itu. Pemerintah Orde Baru memberikan pembatasan untuk berpendapat sehingga wartawan hanya bisa menulis berita seadanya ada. Mereka takut apabila ternyata berita yang mereka tulis berhubungan dengan pemerintahan, maka mereka akan mendapatkan masalah yang besar. Hak asasi wartawan pada masa ini sangat dipengaruhi oleh pemerintah masa itu.

h. Majas Retoris

Retoris adalah gaya bahasa penegasan yang berupa pertanyaan yang jawabannya sudah terkandung dalan deretan kata-kata itu. Biasanya retoris digunakan untuk menanyakan hal-hal yang tidak perlu dikemukakan jawabannya. Penggunaan retoris pada cerpen ini adalah untuk menarik perhatian pembaca agar ikut berfikir mengenai masalah yang ada dalam cerita.

Apakah Saksi Mata yang sudah tidak punya mata lagi masih bisa bersaksi? Tentu masih bisa, pikir Bapak Hakim Yang Mulia, bukankah ingatannya tidak ikut terbawa oleh matanya?

Paka kutipan di atas, terlihat penggunaan retoris oleh Seno yang digunakan untuk menarik perhatian pembaca agar ikut memikirkan permasalahan yang dihadapi oleh Hakim mengenai keadaan Saksi Mata. Pada kutipan itu juga tersirat bahwa walaupun dalam keadaan apapun tetapi masih mampu untuk memberikan kesaksian.

Dalam perjalanan pulang, Bapak Hakim Yang Mulia berkata pada sopirnya, "Bayangkanlah betapa seseorang harus kehilangan kedua matanya demi keadilan dan kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba hukum mestinya berkorban yang lebih besar lagi?"

Pada kutipan tersebut, Seno secara tidak langsung menggunakan gaya retoris. Pada kutipan di atas, pertanyaan ini sebenarnya masih di tujukan untuk si supir agar mau menjawab pertanyaan yang sedang menjadi konflik batin Hakim.

3. Latar Belakang Cerita

Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma ini mengangkat tema tentang penderitaan yang dialami oleh para korban kekerasan militer pada masa Orde Baru. Tema yang diangkat hampir sama dengan beberapa cerpen lain yang ada di kumpulan cerpen yang sama.

Dalam cerpen berjudul Saksi Mata ini, Seno mengolah unsur surealisme dengan sarkasme. Surealisme adalah aliran dalam sastra yang mementingkan aspek bawah sadar manusia dan nonrasional dalam citraan di atas atau di luar realitas atau kenyataan (KBBI, 2003: 1109). Cerpen ini menceritakan seorang saksi mata di pengadilan yang datang tanpa mata. Di beberapa bagian cerpen ini, Seno memberikan gambaran yang cukup detail tentang bagaimana mata orang itu berlubang dan mengucurkan darah ke sekujur tubuhnya hingga ke lantai ruang pengadilan.

Cerpen ini adalah salah satu penggambaran yang lakukan oleh Seno untuk menggambarkan insiden Dili pada 12 November 1991. Insiden Dili, 12 November 1991, adalah peristiwa kelam dalam sejarah politik Indonesia. Meskipun pemerintah mengakui hal itu sebagai insiden, yang berarti suatu kejadian yang tak disengaja, dan bahwa kemudian pejabat militer dari wilayah yang bersangkutan ternyata diganti, namun peristiwa tersebut oleh rezim Orde Baru masih dipandang sebagai tabu karena melukai wajah Indonesia di mata masyarakat internasional. Sulit menemukan pemaparan yang cukup detail tentang peristiwa tersebut dalam catatan-catatan sejarah. Setelah Reformasi, ditemukan beberapa buku yang menuturkan hal tersebut, meski sekilas tetapi mengulas kasus Timor Timur tersebut dalam konteks transnasional politik Indonesia.

Saksi Mata adalah sebuah dokumentasi penting yang berusaha menghadirkan sebuah realitas kemanusiaan dengan melawan ketakutan dan pembungkaman. Bagi Seno, cerpen menjadi media alternatif untuk tetap konsisten menyuarakan kebebasan dan kejujurannya yang tak tertolak dalam jurnalisme yang ompong atau jurnalisme yang tak bisa penuh menghadirkan kembali kenyataan dalam beragam nuansa maknanya yang kaya.

Penutup

Dari analisis yang dilakukan pada cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma di atas dengan menggunakan pendekatan stilistika, diperoleh beberap unsur pembangun dalam cerpen tersebut. Cerpen ini dibangun dengan memanfaatkan beberapa leksikan bahasa Jawa, dialek bahasa Betawi atau bahasa Indonesia gaul, kemudian juga menggunakan beberapa sinonim untuk menggantikan nama tokoh.

Beberapa gaya bahasa berupa majas juga ditemukan pada cerpen ini, antara lain majas repetisi, majas hiperbola, majas simile, majas klimaks, majas sarkasme, majas personifikasi, majas antithesis, dan majas retoris. Gaya bahasa ini mempunyai fungsi masing-masing. Majas yang paling dominan adalah majas hiperbola dan majas sarkasme. Hiperbola dimanfaatkan oleh pengarang untuk menggambarkan aliran darah yang mengalir. Sedangkan majas sarkasme digunakan oleh pengarang untuk menggambarkan tindakan yang dilakukan oleh para intelejen negara terhadap orang-orang yang meresa tidak bersalah.

Cerpen ini mengandung nilai moral yang sangat tinggi. Amanat yang ingin disampaikan oleh Seno adalah bagaimana tidak kekerasan yang dilakukan oleh pihak intelejen atau militer negara terhadap menghadapi kasus-kasus yang ada, seperti insiden Dili 12 November 1991. Cerpen ini juga merupakan penggambaran mengenai insiden Dili tersebut.

Daftar Pustaka

Ajidarma, Seno Gumira. 2002. Saksi Mata. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

_______. 2005. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Yogyakarya: Bentang Pustaka.

Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Junus, Umar. 1989. Stilistika: Suatu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Pradopo, Rahmat Djoko. 2000. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Subroto, D. Edi, dkk. 1999. Telaah Stilistika Novel-Novel Berbahasa Jawa Tahun 1980-an. Jakarta: P3B, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Grafiti.

Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita.

Syarifudin, Imam. 2006. "Diksi dan Majas sSerta Fungsinya dalam Novel Jangan Beri Aku Narkoba Karya Alberthiene Endah." Skripsi. Semarang: FBS, Unnes.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Bandung: Pustaka Jaya.

Waridah, Ernawati. 2008. EYD & Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Jakarta: Kawan Pustaka.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun