Sumber Gambar: Dok. Pribadi
Â
1/
Secangkir Kopi Joss
 *
Secangkir kopi hitam pekat menyisakan kerak
di dinding cangkir
Â
kau menatapku lekat
pinggulmu gelisah
bergerak ke kanan-kiri
Â
trotoar yang mana pantat kita ada di atasnya
seperti sudah bosan diduduki
Â
pelayan datang mengantarkan pesanan
Â
; Kopi Joss
Â
Sadarkah kau
terlalu banyak cahaya
Â
mengaburkan keawasan dan kewarasan
nikmat menikmat merah wajahmu yang gairah
Â
ketika ku tahu kau hendak beranjak
kelu karena aku beku
pilu karena aku bisu
Â
sesaat itu pula ku yakin
kau tak ‘kan sanggup tinggalkan
secangkir kopi yang masih utuh
Â
berkali-kali kupergok hidungmu
mengisap kepulan asap
dari leleh arang yang dibekam malam
Â
hingga bulan terlelap
kau lebur bersama angin
berutang cecap
di secangkir kopi hitam pekatÂ
Â
2/Â
Kerinduan
 ketika hanya tersisa lampu kota
; Yogyakarta
Â
hadirkan samar wajahmu
di billboard iklan batik
yang berjajar memenuhi jalan
dan kenangan
Â
tiba-tiba meruak
; trotoar Malioboro
Â
penuh sesak oleh sepeda motor
pengamen; karya seni; wajah-wajah berseri
yang cemas yang iri memandang awas
kanan-kiri
Â
mencari apa yang dicari
menunggu apa yang ditunggu
Â
samar wajahmu menjelma bayang
buntuti langkah lelah
keringat pekat
dengus lemas dan malam yang masih pagi
Â
menuju kelam
bayangmu semakin memadat
membentuk sosok maya
serupa maneken etalase
yang selalu membujuk
tapi tak pernah merajuk
Â
*
Seandainya malam itu
kau tidak langsung pamit sesaat
setelah kereta pertama berangkat
mungkin saat ini kita masih menikmati
hangat wedang rondeÂ
kerlip sepeda hias alun-alun Selatan
atau sekadar merenungi
sabarnya bulan          Â
Â
3/Â
Barangkali Tentang Kami Saat Ini
Â
kami mengadu
terisak di pangkuanmu
di dadamu yang kami reguk hingga susut
habiskan jatah ayah, bu.
Â
birahinya yang tak tertahan
memaksanya bersujud memintamu
berserah dalam dekap dan cengkerammu
Â
dan kauibu
Â
mengular pada tubuhnya
menaklukan keangkuhannya
menenggelamkan keresahannya
Â
karena kauibu
Â
kami masih mampu bergurau
walau tubuh terasa semakin panas
oleh asa yang runtuh karena kosongnya perut
Â
tetapi bu.
Â
kenapa kau pergi tanpa kami…?!
Â
apakau selalu tersenyum di sana
karena kami tanpamu terlalu sering
menangis di sini
Â
bu.Â
Â
4/
Kisah Terpenjara (Aku) dalam Waktu
Â
*
mimpimu mungkin mimpiku
mungkin juga mimpi kalian
mungkin juga mimpi siapa saja
Â
anganmu mungkin anganku
mungkin juga angan kalian
mungkin juga angan siapa saja
Â
kalau begitu apa arti mimpi
ketika terpejam
Â
kalau begitu apa arti angan
ketika mencinta
Â
apakah jika seperti ini alurnya
mungkinkah terjadi pertemuan denganmu
sedang saat ini bulan sudah tak lebih
dari sekadar tipuan
matahari ilusi
dan bintang hanya omong kosong
Â
Â
*
cinta menebarkan bisanya
di pagi buta
merenggut kebebasan yang tersisa
; lelap
Â
Â
*
cinta senyap ditelan dekap
nurani lenyap dibabat kalap
dan ku hanya sebuah gerutu
yang dijebak rindu
Â
untukmu yang berada di suatu tempat
yang tak mungkin dituju
Â
apakau semaya waktu
sesamar gerimis yang tertelan asap cerutu
atau sekeras genderang perang
bangsa-bangsa putus asa
pengibar murka
Â
sementara kasih yang semakin tak fasih
mendamaikan pasangan kekasih
dalam darahku yang telah surut
kau renggut hingga susut dari balik kulit
yang mulai keriput
Â
;hancur dilebur pedih
Â
menyisakan serak tak padu
lanskap tak lengkap
tentang kisahmu dan kisahku
yang terlalu muluk berharap
Â
Bandung 2014-2015, Jakarta 2016
Â
[Semua puisi di atas kerinduan dan sepi. Kerinduan terhadap kenangan yang tak pernah telah luruh oleh waktu, tak lebur oleh ruang. Semacam ekspresi dan emosi personal saya sendiri terhadap situasi yang dialami; LDR dengan kekasih yang jauh di sana (Secangkir Kopi Joss dan Catatan Kerinduan), kerinduan terhadap almarhumah Ibu (Barangkali Tenttang Kami Saat Ini), dan kerinduan akan masa-masa bertamasya dengan mereka berdua–di Yogyakarta. Sekarang, walau saya sudah tidak di Yogyakarta, kenangan-kenangan tersebut masih kuat tertanam di benak. Yogyakarta dalam puisi ini tidak hanya bermakna sebuah kota, tetapi ruang imajinatif yang saya cintai sekaligus ingin saya tinggalkan. Di satu sisi saya ingin mengulang romantika dengan kekasih saya di sana, dan di sisi lain saya juga ingin menyusul ibu saya ke sana. Tapi saya justru selalu berupaya melebur semua rasa itu, demi mengurangi rasa sakit yang akhirnya saya merasa terjebak, di dalam waktu dan ruang yang tak terjabarkan..... ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H