Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Awaludien
Muhammad Iqbal Awaludien Mohon Tunggu... Penulis - Penulis konten suka-suka!

Berbagi informasi dan gagasan. Tergila-gila pada sastra, bola, dan sinema. Email: iqbalawalproject@gmail.com Blog: https://penyisirkata.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Empat Sajak tentang Sepi dan Nyeri

3 Februari 2016   16:33 Diperbarui: 3 Februari 2016   17:05 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: Dok. Pribadi

 

1/

Secangkir Kopi Joss

 *

Secangkir kopi hitam pekat menyisakan kerak

di dinding cangkir

 

kau menatapku lekat

pinggulmu gelisah

bergerak ke kanan-kiri

 

trotoar yang mana pantat kita ada di atasnya

seperti sudah bosan diduduki

 

pelayan datang mengantarkan pesanan

 

; Kopi Joss

 

Sadarkah kau

terlalu banyak cahaya

 

mengaburkan keawasan dan kewarasan

nikmat menikmat merah wajahmu yang gairah

 

ketika ku tahu kau hendak beranjak

kelu  karena aku beku

pilu karena aku bisu

 

sesaat itu pula ku yakin

kau tak ‘kan sanggup tinggalkan

secangkir kopi yang masih utuh

 

berkali-kali kupergok hidungmu

mengisap kepulan asap

dari leleh arang yang dibekam malam

 

hingga bulan terlelap

kau lebur bersama angin

berutang cecap

di secangkir kopi hitam pekat 

 

2/ 

Kerinduan

 ketika hanya tersisa lampu kota

; Yogyakarta

 

hadirkan samar wajahmu

di billboard iklan batik

yang berjajar memenuhi jalan

dan kenangan

 

tiba-tiba meruak

; trotoar Malioboro

 

penuh sesak oleh sepeda motor

pengamen; karya seni; wajah-wajah berseri

yang cemas yang iri memandang awas

kanan-kiri

 

mencari apa yang dicari

menunggu apa yang ditunggu

 

samar wajahmu menjelma bayang

buntuti langkah lelah

keringat pekat

dengus lemas dan malam yang masih pagi

 

menuju kelam

bayangmu semakin memadat

membentuk sosok maya

serupa maneken etalase

yang selalu membujuk

tapi tak pernah merajuk

 

*

Seandainya malam itu

kau tidak langsung pamit sesaat

setelah kereta pertama berangkat

mungkin saat ini kita masih menikmati

hangat wedang ronde 

kerlip sepeda hias alun-alun Selatan

atau sekadar merenungi

sabarnya bulan           

 

3/ 

Barangkali Tentang Kami Saat Ini

 

kami mengadu

terisak di pangkuanmu

di dadamu yang kami reguk hingga susut

habiskan jatah ayah, bu.

 

birahinya yang tak tertahan

memaksanya bersujud memintamu

berserah dalam dekap dan cengkerammu

 

dan kauibu

 

mengular pada tubuhnya

menaklukan keangkuhannya

menenggelamkan keresahannya

 

karena kauibu

 

kami masih mampu bergurau

walau tubuh terasa semakin panas

oleh asa yang runtuh karena kosongnya perut

 

tetapi bu.

 

kenapa kau pergi tanpa kami…?!

 

apakau selalu tersenyum di sana

karena kami tanpamu terlalu sering

menangis di sini

 

bu. 

 

4/

Kisah Terpenjara (Aku) dalam Waktu

 

*

mimpimu mungkin mimpiku

mungkin juga mimpi kalian

mungkin juga mimpi siapa saja

 

anganmu mungkin anganku

mungkin juga angan kalian

mungkin juga angan siapa saja

 

kalau begitu apa arti mimpi

ketika terpejam

 

kalau begitu apa arti angan

ketika mencinta

 

apakah jika seperti ini alurnya

mungkinkah terjadi pertemuan denganmu

sedang saat ini bulan sudah tak lebih

dari sekadar tipuan

matahari ilusi

dan bintang hanya omong kosong

 

 

*

cinta menebarkan bisanya

di pagi buta

merenggut kebebasan yang tersisa

; lelap

 

 

*

cinta senyap ditelan dekap

nurani lenyap dibabat kalap

dan ku hanya sebuah gerutu

yang dijebak rindu

 

untukmu yang berada di suatu tempat

yang tak mungkin dituju

 

apakau semaya waktu

sesamar gerimis yang tertelan asap cerutu

atau sekeras genderang perang

bangsa-bangsa putus asa

pengibar murka

 

sementara kasih yang semakin tak fasih

mendamaikan pasangan kekasih

dalam darahku yang telah surut

kau renggut hingga susut dari balik kulit

yang mulai keriput

 

;hancur dilebur pedih

 

menyisakan serak tak padu

lanskap tak lengkap

tentang kisahmu dan kisahku

yang terlalu muluk berharap

 

Bandung 2014-2015, Jakarta 2016

 

[Semua puisi di atas kerinduan dan sepi. Kerinduan terhadap kenangan yang tak pernah telah luruh oleh waktu, tak lebur oleh ruang. Semacam ekspresi dan emosi personal saya sendiri terhadap situasi yang dialami; LDR dengan kekasih yang jauh di sana (Secangkir Kopi Joss dan Catatan Kerinduan), kerinduan terhadap almarhumah Ibu (Barangkali Tenttang Kami Saat Ini), dan kerinduan akan masa-masa bertamasya dengan mereka berdua–di Yogyakarta. Sekarang, walau saya sudah tidak di Yogyakarta, kenangan-kenangan tersebut masih kuat tertanam di benak. Yogyakarta dalam puisi ini tidak hanya bermakna sebuah kota, tetapi ruang imajinatif yang saya cintai sekaligus ingin saya tinggalkan. Di satu sisi saya ingin mengulang romantika dengan kekasih saya di sana, dan di sisi lain saya juga ingin menyusul ibu saya ke sana. Tapi saya justru selalu berupaya melebur semua rasa itu, demi mengurangi rasa sakit yang akhirnya saya merasa terjebak, di dalam waktu dan ruang yang tak terjabarkan..... ]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun