Puisi Satu
Cahaya matahari sedang berkemas-kemas
Aku masih menatap aksara liar yang ada di otakku
Riuh gempita suara kokok ayam menggempitakan semesta
Meramaikan otakku yang masih disemuti aksara
Puisi Dua
Matahari sudah diatas kepala
Derap langkah para pejuang kehidupan terdengar riuh di telingaku
Mataku masih manatap aksara dan aksara
Sementara alunan kopi di gelas sudah membangkut
Hitam ampasnya menghias bibir hitamku
Puisi Tiga
Aku masih menatap aksara
Sementara peluh dan keringat membanjiri tubuh para lelaki jantan, pejuang kehidupan
Mencari sesuap nasi untuk anak bini mereka
Diatas kepala mereka,
Cahaya matahari membakar tubuh mereka dengan ganasnya
Aku masih menatap aksara
Puisi Empat
Aksara demi aksara ku jahit
Melahirkan sebuah puisi mini
Tentang hidup dan kehidupan
Sementara gerimis tiba-tiba menghampiri cahaya matahari yang ganas
Menyejukkan ragaku
Puisi Lima
Aku masih menatap aksara dan aksara
Kutatap semesta lewat jendela hatiku
Sepoi derai angin yang menyejukkan menyapaku
Kubasuh sekujur tubuhku dengan air wudhu
Puisi Enam
Aku terdiam
Sehelai daun dari pohon manggis jatuh di hadapanku
Mengotori halaman rumahku yang baru saja ku sapu dengan lidah
Kusikat dengan matahatiÂ
Kubersihkan dengan air wudhu
Puisi Tujuh
Aksara dan aksara masih mengiang dalam otak kananku
Aku kembali menatap aksara itu
Merajutnya dalam satu kalimat
Hingga gelas kopi kedua mulai menipis
Ampas hitam kopi lari entah kemana
Puisi Delapan
Delapan aksara ku tulis
Ku jahit delapan aksara itu dalam satu paragraf mini
Suara piring penjual bakso membuyarkan lamunanku
Ku buka daun jendela
Penjual bakso itu menghilang bersama angin yang datang menghantam ulu hatiku
Puisi Sembilan
Aku mulai terkulai
Angin itu memerahkan jantungku
Sementara aksara-kasara itu menatapku dengan tatapan sedih
Kapankah kami engkau selesaikan?
Apakah engkau membiarkan kami terkatung-katung diudara yang bebas ini?
Puisi sepuluh
Aku menahan sesak di dadaku
Kembali ku rajut aksara demi aksara
Menjahit mereka dalam satu baju puisi
Sementara suara religius Azan dari corong pengeras suara Masjid mengingatkanku
Kembali bersujud memohon ampunanÂ
Puisi Sebelas
Wajahku cerah
Secerah wajah matahari yang mulai menipis di ufuk barat Â
Secerah cahaya purnama yang mulai menghampiri bumi
Secarah aksaraku yang mulai terjahit dengan deretan diksi indah
Puisi Duabelas
Cahaya purnama menerangi malam ketigabelas dengan benderangnya
Sinarnya masuk ke dalam kamar aksaraku
Menerangi mataku yang mulai terkantuk-kantuk
Sementara aksara-aksara indah itu menari-nari diatas kepalaku
Puisi Tigabelas
Cahaya purnama mulai membangkrut
Aksaraku terjahitÂ
Terajut dalam tiga belas bait yang beraksara liar tanpa makna
Sementara,
Dihadapanku tertulis sebuah diksi
Ku eja dengan suara narasi garang bak orator dipanggung kampanye lima tahunan
Tiga belas tahun Kompasiana
Dirgahayu Kompasiana
Orang-orang menatapku
Toboali Jumat Barokah 22 Oktober-sabtu siang 23 Oktober 2021
Salam sehat dari Toboali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H