Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi: 13 Puisi Mini untuk 13 Tahun Kompasiana

23 Oktober 2021   14:24 Diperbarui: 24 Oktober 2021   22:36 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Puisi Satu

Cahaya matahari sedang berkemas-kemas

Aku masih menatap aksara liar yang ada di otakku

Riuh gempita suara kokok ayam menggempitakan semesta

Meramaikan otakku yang masih disemuti  aksara

Puisi Dua

Matahari sudah diatas kepala

Derap langkah para pejuang kehidupan terdengar riuh di telingaku

Mataku masih manatap aksara dan aksara

Sementara alunan kopi di gelas sudah membangkut

Hitam ampasnya menghias bibir hitamku

Puisi Tiga

Aku masih menatap aksara

Sementara peluh dan keringat membanjiri tubuh para lelaki jantan, pejuang kehidupan

Mencari sesuap nasi untuk anak bini mereka

Diatas kepala mereka,

Cahaya matahari membakar tubuh mereka dengan ganasnya

Aku masih menatap aksara

Puisi Empat

Aksara demi aksara ku jahit

Melahirkan sebuah puisi mini

Tentang hidup dan kehidupan

Sementara gerimis tiba-tiba menghampiri cahaya matahari yang ganas

Menyejukkan ragaku

Puisi Lima

Aku masih menatap aksara dan aksara

Kutatap semesta lewat jendela hatiku

Sepoi derai angin yang menyejukkan menyapaku

Kubasuh sekujur tubuhku dengan air wudhu

Puisi Enam

Aku terdiam

Sehelai daun dari pohon manggis jatuh di hadapanku

Mengotori halaman rumahku yang baru saja ku sapu dengan lidah

Kusikat dengan matahati 

Kubersihkan dengan air wudhu

Puisi Tujuh

Aksara dan aksara masih mengiang dalam otak kananku

Aku kembali menatap aksara itu

Merajutnya dalam satu kalimat

Hingga gelas kopi kedua mulai menipis

Ampas hitam kopi lari entah kemana

Puisi Delapan

Delapan aksara ku tulis

Ku jahit delapan aksara itu dalam satu paragraf mini

Suara piring penjual bakso membuyarkan lamunanku

Ku buka daun jendela

Penjual bakso itu menghilang bersama angin yang datang menghantam ulu hatiku

Puisi Sembilan

Aku mulai terkulai

Angin itu memerahkan jantungku

Sementara aksara-kasara itu menatapku dengan tatapan sedih

Kapankah kami engkau selesaikan?

Apakah engkau membiarkan kami terkatung-katung diudara yang bebas ini?

Puisi sepuluh

Aku menahan sesak di dadaku

Kembali ku rajut aksara demi aksara

Menjahit mereka dalam satu baju puisi

Sementara suara religius Azan dari corong pengeras suara Masjid mengingatkanku

Kembali bersujud memohon ampunan 

Puisi Sebelas

Wajahku cerah

Secerah wajah matahari yang mulai menipis di ufuk barat  

Secerah cahaya purnama yang mulai menghampiri bumi

Secarah aksaraku yang mulai terjahit dengan deretan diksi indah

Puisi Duabelas

Cahaya purnama menerangi malam ketigabelas dengan benderangnya

Sinarnya masuk ke dalam kamar aksaraku

Menerangi mataku yang mulai terkantuk-kantuk

Sementara aksara-aksara indah itu menari-nari diatas kepalaku

Puisi Tigabelas

Cahaya purnama mulai membangkrut

Aksaraku terjahit 

Terajut dalam tiga belas bait yang beraksara liar tanpa makna

Sementara,

Dihadapanku tertulis sebuah diksi

Ku eja dengan suara narasi garang bak orator dipanggung kampanye lima tahunan

Tiga belas tahun Kompasiana

Dirgahayu Kompasiana

Orang-orang menatapku

Toboali Jumat Barokah 22 Oktober-sabtu siang 23 Oktober 2021
Salam sehat dari Toboali

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun