Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Peron Stasiun Kota

25 Januari 2020   08:01 Diperbarui: 25 Januari 2020   07:59 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.pexels.com

Anisa memeluk erat tas ranselnya. Hawa dingin lumayan menggigit. Mungkin karena dari siang hingga sore Jakarta diguyur hujan lebat. Genangan timbul di mana-mana. Tadi saja dia harus nekat melintasi genangan setinggi lutut saat menuju stasiun ini.

Dia terpaksa pulang agak larut malam ini. Ada beberapa pekerjaan yang sampai pada tenggat waktu. Dia tidak mau akhir pekannya terganggu dengan dering telepon atasannya yang bertubi-tubi. Dia sudah punya rencana menghabiskan libur akhir pekan ini dengan ayah dan ibunya yang rencana datang besok pagi.

Anisa mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak banyak penumpang yang sedang menunggu kereta. Hanya ada beberapa orang saja yang sedang duduk terpekur. Mungkin sedang berdoa atau kedinginan. Susah dibedakan.

Stasiun ini adalah stasiun pemberangkatan kereta commuter arah Bekasi dan Bogor. Jumat malam seperti ini biasanya calon penumpang berjubel tidak karuan. Apa mungkin karena ini sudah malam ya? Sudah lewat pukul 21.00? sehingga penumpang sudah nyaris habis terangkut semua. Anisa mengerutkan keningnya.

Tidak! Bukan! Ini tidak masuk akal. Bahkan hingga kereta terakhir pukul 23.00 pun kereta masih padat sejak dari stasiun ini. Sudah berapa tahun dia menjalani rutinitas ini? 2 tahun? Ya, mungkin lebih.

Anisa menyingkirkan segala kecamuk pikirannya yang mulai mengacau. Kali ini matanya menyusuri setiap sudut stasiun. Stasiun peninggalan zaman kolonial yang sangat besar. Stasiun ini sekarang sangat terawat namun penerangan yang ada tidak cukup kuat untuk menerangi setiap sudut peron.

Suasananya menjadi begitu remang. Seolah panggung pertunjukan yang lampu-lampunya belum dihidupkan. Bahkan tiang-tiang baja yang menyangga bangunan tua itu, seolah jari jemari raksasa yang siap mencengkeram ketakutan. Siapa saja.

Anisa meneguk air mineral untuk menenangkan hatinya yang mulai bergemuruh dicekam rasa cemas. Malam semakin larut dan jadwal keberangkatan kereta sedang terganggu karena hujan badai merusak beberapa titik sinyal elektrik kereta. Terkena sambaran petir dan sekarang dalam perbaikan, begitu pengumuman yang didengarnya sekitar 10 menit yang lalu.

Mata Anisa menatap 2 rangkaian kereta di jalur 2 dan 8. Kereta ke arah Bogor sebenarnya sudah tersedia di jalur 8. Tapi penumpang belum diijinkan untuk naik karena harus menunggu instruksi dari pusat kendali.

Beberapa orang penumpang memilih keluar dari peron setelah mendengar pengumuman tadi. Mungkin mencoba alternatif angkutan lain. Anisa tidak punya tenaga lebih untuk berbuat hal yang sama. Biarlah dia akan menunggu. Toh pengumuman tadi juga menyampaikan bahwa perbaikan tidak akan lebih dari 1 jam lamanya.

Lagipula rumahnya sangat dekat dari stasiun kereta. Seandainya dia memutuskan naik taksi, selain berbahaya bagi perempuan sendirian di larut malam, juga beberapa ruas jalan sekarang sedang tergenang banjir. Bisa-bisa dia terjebak di jalanan.

Kembali Anisa memperhatikan sekitarnya. Barangkali tidak lebih dari 5 orang belum termasuk dirinya yang masih bertahan menunggu kereta.

Seorang ibu setengah baya yang terkantuk-kantuk sambil memangku tas plastik yang menggembung sarat. Seorang bapak yang kacamatanya hampir terjatuh dari hidungnya karena memaksakan diri membaca di layar gawainya yang kecil. Dua orang gadis muda yang sepertinya kakak beradik sedang berbincang-bincang setengah berbisik. Dan seorang pemuda yang begitu asik dengan permainan gamenya.

Eh, ada 2 orang lagi di sudut peron sana. Seorang lelaki yang selalu menunduk sehingga wajahnya sama sekali tak terlihat karena tertutup oleh topinya yang lebar. Juga seorang wanita cantik yang begitu asik dengan buku bacaannya.

Darimana datangnya 2 orang itu ya? Anisa membatin. Bukankah sudut sebelah sana tadi kosong? Dia duduk paling dekat dengan pintu masuk sehingga setiap kali ada orang baru datang dia pasti mengetahuinya. Anisa menggeleng-gelengkan kepala diliputi rasa bingung. Dan tentu saja semakin cemas!

Anisa beberapa kali pernah mendengar cerita menakutkan stasiun ini dari beberapa teman dan juga internet. Meskipun Anisa memutuskan untuk tidak percaya terhadap semua cerita tersebut, namun suasana saat ini di peron paling tidak membuat dirinya kembali teringat semua kisahnya.

Kata temannya, stasiun ini juga adalah stasiun dimensi lain yang mengantar penumpang tak kasat mata bepergian ke mana-mana. Sama, menggunakan kereta juga. Tidak semua orang pernah melihat, lanjut teman Anisa. Hanya orang-orang tertentu dalam kondisi tertentu saja yang beruntung bisa melihat.

Beruntung? Anisa saat itu tertawa terpingkal-pingkal.

Dia bukan gadis penakut. Tapi keremangan dan aura peron stasiun ini akan membuat yang paling pemberani sekalipun akan terjebak dalam situasi horror. Apalagi hujan badai membuat lampu-lampu gantung bergoyang dengan konstan. Menciptakan bayangan-bayangan aneh yang cukup mengerikan.

Anisa merapatkan jaket. Sudah setengah jam berlalu tapi belum terdengar pengumuman bahwa gangguan sinyal sudah bisa diatasi. Sampai kapan dia mendapatkan kepastian? Anisa mencoba mengalihkan perhatian dengan membuka gawainya.

Tiba-tiba Anisa merasakan tengkuknya ditiup angin yang sangat dingin. Duh! Apalagi ini? Ditambah pula sekujur bulu tubuhnya mendadak meremang. Satpam-satpam yang biasanya berjaga di seputaran stasiun juga sama sekali tak terlihat sedari tadi. Gusti, apa yang sedang terjadi?

Anisa sudah nyaris memutuskan keluar dari peron stasiun. Setidaknya di luar tentu masih banyak orang berjualan. Atau dia akan menunggu di warung waralaba yang tentu masih buka jam begini. Di dalam sini, semua toko dan warung sudah tutup sejak jam 21.00 tadi.

Namun Anisa sama sekali tidak bisa menggerakkan kaki untuk melangkah. Seluruh tubuhnya kaku. Bahkan saat mulutnya hendak membuka untuk mengeluarkan jeritan kecil. Tidak sedikit suarapun yang terdengar. Anisa terbelalak. Tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Tapi paham bahwa bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi.

Hanya kepala dan matanya saja yang masih berfungsi normal. Anisa bisa melihat dengan jelas saat ibu setengah baya di depannya mengeluarkan suara ah uh ah uh ketakutan ketika menyaksikan dua orang gadis muda kakak beradik itu bangkit berdiri dari tempat duduknya. Bukan berdiri, tapi melayang! Sambil diiringi ketawa cekikikan yang mendirikan bulu roma. Baju putih mereka yang sebelumnya nampak rapi, sekarang terlihat begitu lusuh dan robek-robek di banyak bagian.

Anisa memucat sepias kertas ketika dengan jelas melihat "sepasang" gadis muda itu "terbang" di hadapannya menuju rel kereta dan akhirnya lenyap tak berbekas.

Belum hilang rasa paniknya, terdengar suara keras saat ibu setengah baya di depannya itu terjatuh, dan menggelosoh pingsan. Anisa seperti tercekik batang lehernya setelah menyaksikan apa yang membuat ibu itu pingsan. Bapak tua yang kacamatanya terlihat lucu itu, juga bangkit berdiri. Kali ini tidak melayang namun tubuhnya berdiri gontai dengan kepala yang sudah copot dan dijinjing di tangannya!

Giliran pemuda yang dari tadi asik main gawai, terjatuh dari tempat duduknya. Pingsan!

Anisa melotot tak percaya melihat tubuh tanpa kepala dan menjinjing kepalanya di tangan itu berjalan terhuyung-huyung seperti orang buta lalu menghilang begitu sampai pada batas rel kereta.

Aaaahhh! Terdengar jeritan kencang memenuhi ruangan peron saat perempuan cantik yang sedari tadi tekun membaca buku, membuka mulut mengeluarkan jerit ketakutan. Lelaki yang acuh dan mukanya tertutup topi lebar itu membuka topi dan memperlihatkan kengerian jenis lain! Wajahnya rata! Astaga!

Anisa yang masih belum bisa menggerakkan tubuh, bisa melihat dengan jelas ketika lelaki bermuka rata itu bangun dari duduknya dan berlari kencang menuju rel. Hilang!

Perempuan cantik itu tidak pingsan. Namun tubuhnya terlihat menggigil, lalu tersandar lemas di punggung kursi.

Entah bagaimana, kali ini Anisa bisa menggerakkan tubuhnya lagi. Berdiri dan menyadari hanya tinggal dirinya, ibu setengah baya, pemuda, dan perempuan cantik yang tersisa di peron ini.

Anisa merasakan airmata sudah menggantung di sudut matanya. Rasa takut dan fragmen kengerian yang baru saja dialaminya membuat dirinya ingin menangis sekeras-kerasnya. Duh Gustiii!

Sebuah suara menggelegarlah yang menuntun kembalinya kesadaran Anisa. Sinyal sudah selesai diperbaiki dan kereta sebentar lagi bisa beroperasi kembali, begitu gelegar pengumuman yang membawa Anisa kembali ke alam nyata.

Karena sudah dipersilakan untuk menaiki kereta, Setengah berlari Anisa menuju rangkaian gerbong di jalur 8. Rasa takut yang mencapai ubun-ubun membuat Anisa tergesa-gesa. Matanya hanya sempat menangkap si ibu setengah baya sudah siuman dan sedang membereskan bawaannya. Juga pemuda itu sudah berdiri sembari mengusap-usap kedua matanya yang masih mengeluarkan sorot tak percaya.

Sedangkan perempuan cantik itu juga sudah terlihat berjalan menuju gerbong kereta. Anisa memilih duduk di gerbong nomor 2 dari belakang. Gerbong campuran dipikirnya akan lebih aman dan ramai nantinya.

Anisa menjatuhkan dirinya duduk di kursi tengah gerbong yang masih sepi. Sambil menata nafasnya yang ngos-ngosan, Anisa melihat perempuan cantik itu naik gerbong yang sama dengan dirinya, disusul oleh pemuda dan ibu setengah baya. Mereka duduk di deretan kursi di hadapan Anisa meski agak berjauhan.

Anisa menghela nafas lega. Setidaknya ada teman penumpang bernasib sama dengan dirinya yang sama-sama disuguhi pemandangan mengerikan di peron stasiun tadi. Hiiihhh! Anisa masih bergidik.

Sampai pintu tertutup dan kereta mulai beringsut meninggalkan stasiun kota, tidak ada lagi penumpang yang naik. Anisa merasakan jantungnya mulai berdegup normal kembali. Paling tidak gerbong ini terang benderang dan Anisa yakin di stasiun berikutnya gerbong ini terisi banyak penumpang.

Anisa berniat membuka percakapan dengan tiga orang di depannya tentang apa yang terjadi di peron tadi. Adrenalinnya masih mengalir kencang. Dia tidak mau menyimpan semua pertanyaan untuk dirinya sendiri. Anisa yakin ketiga orang di depannya yang sekarang juga nampak berkali-kali menarik nafas panjang, ingin juga berbagi cerita.

"Saat Ibu pingsan tak sadarkan diri tadi, saya sebenarnya ingin menolong Bu. Tapi tubuh saya sama sekali tidak bisa digerakkan," Anisa memaksakan sebuah senyum kepada wanita setengah baya itu. Si Ibu tidak menjawab. Hanya membalas dengan anggukan dan senyum tipis.

Anisa ganti memandang pemuda yang dilihatnya mencoba melarikan rasa takut dan traumatik ke game di gawainya," Mas tadi sesungguhnya lihat apa? Sampai pingsan begitu?" Kembali Anisa mencoba beramah-ramah dengan tersenyum getir.

Pemuda itu menatap Anisa lalu mengangkat bahu dan bergidik.

Uh, orang-orang ini rupanya masih trauma dan enggan berbagi cerita, Anisa menggerutu dalam hati. Dialihkan pandangan ke perempuan cantik yang membuka bolak balik halaman buku di tangannya dengan gelisah.

Belum sempat Anisa membuka mulut, perempuan itu memandang ke arah Anisa dan tersenyum manis. Anisa lega. Ada simpati di senyum itu meskipun bibir cantik itu nampak bergetar. Kereta memelan. Mungkin hendak berhenti di stasiun berikutnya.

"Terimakasih Mbak. Kejadian tadi pertama kalinya bagi saya. Dan sungguh, itu terlalu mengerikan!" Anisa memancing percakapan.

Perempuan cantik itu mengangguk. "Saya turun di stasiun ini," suaranya pelan menembus udara dingin disertai senyum kecil. Senyumnya melebar, tambah lebar, semakin lebar. Dilanjutkan dengan tertawa kecil, tambah besar, dan akhirnya tertawa panjang penuh kepedihan.

Anisa terbelalak hebat. Perempuan cantik itu memang turun di stasiun tempat kereta berhenti sekarang. Tapi cara turunnya yang membuat jantung Anisa nyaris copot dari tempatnya. Perempuan itu ngesot di lantai kereta hingga keluar dari pintunya! Ya ampuun! Jadi?

Anisa menoleh ke dua penumpang lainnya untuk melihat reaksi mereka.

Ibu setengah baya itu terlihat memegang lehernya. Seolah sedang tercekik kehabisan nafas. Sedangkan pemuda itu meringkuk di atas bangku sambil menggigil.

Anisa hendak menghampiri mereka ketika si ibu tiba-tiba saja bereaksi aneh dengan melepas sanggul rambutnya. Anisa mendelik saking kagetnya. Rambut si ibu luar biasa panjang hingga menyentuh lantai. Entah mengapa, kereta masih tetap berhenti. Si ibu berjalan terhuyung-huyung sambil menyeret rambut panjangnya yang terhampar di lantai kereta. Keluar dari kereta.

Anisa menutup mulutnya. Menahan jeritan yang hendak keluar sekencang-kencangnya.

Dia merasakan sebuah firasat bahwa ini semua belum berhenti sampai di sini.

Benar saja! Pemuda gila game itu tiba-tiba berdiri. Dengan tubuh yang tidak utuh lagi! Bahkan tubuhnya lenyap! Tersisa kepala yang meringis ke arah Anisa! Sembari tersenyum. Bukan! Itu menyeringai! Di saat Anisa nyaris hilang kesadaran, kepala itu terbang secepat kilat keluar kereta bersamaan dengan pintu kereta yang menutup.

Sambil merasakan guncangan kecil kereta yang berjalan kembali, Anisa merasakan tubuhnya basah kuyup oleh keringat dingin. Ya Tuhan! Ini malam paling mengerikan dalam hidupnya.

Setelah beberapa menit menenangkan diri, Anisa memutuskan untuk turun di stasiun berikutnya. Rupanya di peron stasiun kota tadi dia menunggu kereta bersama-sama dengan makhluk-makhluk mengerikan yang selama ini menghantui stasiun kota. Hiiihhh!

Begitu kereta berhenti di stasiun selanjutnya, Anisa membatalkan niatnya untuk turun. Terlihat banyak sekali penumpang yang hendak naik. Anisa bernafas lega. Membatalkan niatnya turun. Dilihatnya tidak ada yang aneh dari puluhan penumpang itu. Orang-orang kantoran yang terlihat lelah dan sepertinya habis kehujanan.

Kembali Anisa menghela nafas dalam-dalam dengan penuh kelegaan.

Kelegaan yang tidak berlangsung lama. Tepat saat pintu kereta hendak menutup, naiklah 3 orang terakhir yang membuat Anisa serasa tercekik tenggorokannya.

Seorang bapak berkacamata aneh yang hampir terjatuh dari hidungnya, dua orang gadis muda yang sepertinya kakak beradik, dan seorang lelaki yang selalu menunduk sehingga wajahnya sama sekali tak terlihat karena tertutup oleh topinya yang lebar.

Ini keterlaluan! Anisa menjerit sejadi-jadinya. Kali ini benar-benar hilang kesadaran sepenuhnya.

Bogor, 25 Januari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun